Sunday, November 21, 2010

Seperti ada peraturan tak tertulis kalau seorang wanita itu adalah untuk dicintai, bukan mencintai. Maka dari itu wanita selalu saja menunggu dan menunggu untuk dicintai.

Bagaimana dengan saya yang selalu mencintai orang tapi tidak pernah dicintai?

Kadang saya berdesir betapa beruntungnya pria yang bisa mencintai wanita dan memilih-milih mereka sesuai dengan seleranya lalu memberikan mereka cinta. Mereka cukup menaruh mata pada seorang wanita lalu memutuskan untuk mencintai mereka.

Saya iri pada pria dan kadang saya berharap saya adalah seorang pria juga. Pria baik-baik yang bisa mencintai seorang wanita.

Disekeliling saya banyak orang yang saya cintai, orang-orang yang begitu baik dan pantas dicintai. Dan saya berharap saya bisa jadi ksatrianya dan berdiri disebelahnya ketika ia butuh.

Saya merasa tidak pernah dicintai, saya selalu mencintai, dan ingin mencintai. Maka itu saya ingin mencintai sesorang tanpa pamrih. Tapi karena saya wanita, kadang cinta saya pada mereka itu terasa kasat mata.

Kadang saya ingin jadi lelaki saja, mencintai satu dari wanita yang saya cintai itu lalu berada disebelahnya, seterusnya.

Atau mungkin lebih baik jadi anjing yang pasti akan selalu mencintai tuannya seperti apapun rupanya.

Wednesday, November 17, 2010

Ketika kecil, kita selalu dibacakan dongen yang berakhir dengan kalimat "Pangeran dan Putri hidup bahagia selamanya". Dari kecil, pikiran kita direkamkan konsep bahwa cinta murni itu pasti ada dan suatu saat seorang pangeran akan menemuka putri mereka, menjemputnya, dan jatuh cinta. Tapi apa benar? Ketika kita beranjak dewasa perlahan-lahan logika dan realita mengoposisi dongeng tadi. Kita tersadar bahwa dongeng masa kecil kita itu hanyalah tipuan belaka dan tidak pernah ada.

Buktinya, pria menolak wanita yang tidak secantik putri begitu pula wanita menolak yang tidak segagah pangeran. Sementara tidak ada orang yang secantik putri atau segagah pangeran. Sangat materialis. Pria ingin menikahi wanita dengan syarat tertentu, wanita ingin menikahi syarat tertentu. Sesilia naksir Damien dari kelas sebelah karena Damien gayanya oke. Tidak pernah ada cerita Sesilia naksir Damien karena Damien menemani Sesilia ketika susah maupun senang. Kalau adapun ujung-ujungnya berakhir dengan Damien menolak Sesilia karena Damien naksir Nabila yang lebih cantik dari Sesilia.

Ironis. Cinta itu materialis. Kalau orang bilang "cinta itu harus gombal" maka benarlah ia. Cinta itu gombal. Hanya berisi pujian yang manis di lidah dan akan jadi feses di dalam. Dan secara harfiah gombal berarti bullshit, bukan pick up line. Dan rata-rata, pick up line itu bullshit karena hanya bersifat sementara.

Jadi mengapa masih muncul banyak dongeng yang berakhir dengan Pangeran dan Putri saling jatuh cinta dan bahagia?

Mungkin karena itu harapan manusia yang capek dengan dunia yang sangat materialis. Harapan kalau mereka akan menemukan cinta yang tidak bersyarat, tidak pula perlu diisyaratkan. Mereka muluk tapi positif bahwa cinta semacam ini ada.

Atau itu adalah sebuah sindiran. Sebuah ironi yang dirangkai penulis sebagai pukulan keras kepada realita dengan pertanyaan "kapan kita bisa jadi begini?". Seperti sindirian jurnalis ke politikus. Seperti jeritan rakyat kepada parlemen.

Seperti Jane Austen, imajinasinya pandai merangkai kisah cinta. Elinor dan Marianne akhirnya menemukan cinta mereka masing-masing. Tapi buktinya sampai akhir hayatnya Jane tidak pernah berbahagia dengan seorang kekasih, atau suami. Sama halnya dengan penulis serial cantik yang pada nyatanya adalah seorang wanita lusuh berkacamata dan terkukung di kamarnya karena harus mengejar deadline, tipe cewek yang enggan dinikahi cowok.

Jadi saya ingin bertanya benarkah adanya "putri dan pangeran" di dunia nyata? Atau ksatria dengan gadis yang dilindunginya. Sekarang semua dongeng yang saya baca semakin jauh dari realita dan kadang kita lupa apa yang sebenarnya terjadi dan lupa dengan cara memberikan cinta tulus seperti yang ada di dongeng tersebut.

Monday, November 1, 2010

Blog ini kayanya butuh sampah. Saya sedikit mau protes sama society akhir-akhir ini.

Jadi ada anak baru masuk SMA, namanya Justin Bieber. Suaranya belum pecah, mukanya masih kaya umur 12. Ya ngga papa sih, awet muda. Ditemukan penyanyi RnB tersohor Usher lewat Youtube karena suaranya bagus. Dikasi kontrak buat recording dan dirilis sebagai seorang penyanyi muda.

Suaranya emang bagus kok, tapi mungkin sedikit disturbing sama orang-orang karena suaranya ngga pecah. Sebenernya, ini karena dia kebiasaan nyanyi dari kecil, jadi seolah stuck disitu. Soalnya saya juga punya temen cowok yang sampe usia-usia SMA suaranya masih ngga pecah karena kebiasaan nyanyi dari kecil.

Lagunya sih ya... Cheesy lah ya... Kaya lagu ABG baru pacaran. Standar target audience dan demographic lah. Ya sudah, sampai situlah.

Tapi justru reaksi dari kemunculan Bieber itulah.

Saya ngga ngerti tapi fansnya Bieber yang kebanyakan cewek usia remaja kayanya ngga mau diam soal Bieber. Di twitter, dimana-mana. Saya pikir Twilight fangirls aja udah ngeri, ternyata yang Bieber lebih ngeri lagi. Mereka begitu setia, begitu determin, begitu... Dan fansnya ada diseluruh dunia, ngikutin apa yang lagi Bieber lakukan dan setiap ada sesuatu yang berhubungan sama Bieber mereka publikasikan.

Sebagai pengguna twitter, saya terganggu sekali karena kadang ada trending topic ngga penting seperti #akucintabieber, apa bieber, bieber ini, bieber itu, bahkan sampai #hornyforbieber yang mana ngeri karena Justin Bieber belum legal di beberapa negara dan kemungkinan yang ngetweet hal tersebut juga adalah anak-anak dibawah umur juga. Entahlah ya, para fans ini terlalu bangga mereka adalah fansnya Justin Bieber, itu ngeri banget.

Saya sendiri mikir. Idupnya Justin Bieber gimana? Kayanya dia anak biasa aja sebelum ditemuin Usher, tinggal bareng Ibu tunggalnya di Kanada. Sekarang dia harus deal sama cewek-cewek ngeri itu dari mulai bangun sampai tidur lagi. Bahkan dia sampai harus pergi sama Bodyguard kemana-mana. Walaupun banyakan cewek, berarti fansnya seserem itu kan? (terus kebayang kasusnya John Lennon, oke itu lebay, tapi kepikiran aja).

Tapi satu saat ada berita kalau Bieber malah menggunakan si cewek-cewek itu buat ngegangguin orang yang ngga dia suka. Bieber ngasih sebuah nomor telpon di twitternya dan minta fansnya menghubungi nomor tersebut. Alhasil, si orang yang punya nomor telponnya ngehang--rusak karena jibunan telpon dan sms masuk tadi.

Sebagai fangirl (untuk hal lain) sendiri saya merasa itu bukanlah cara terhormat buat memperlakukan fans.

Kembali lagi, memang tidak ada fans yang tidak ekstrim. Tapi kalau dilihat, banyak fans yang bisa melimit diri mereka supaya tidak ekstrim dan mengganggu publik.

Bikin komunitas misalnya, tapi jangan di serba bebas seperti twitter. LiveJournal akan jauh lebih aman. Banyak fans anime yang saya tau memilih ketentraman dengan LiveJournal community. Pun ada twitter, bukan untuk deklarasi ngga penting, tapi untuk info update apa di komunitas tersebut.

Apa perlukah setiap saat dan setiap waktu ngasih mention ke Justin Bieber? Deklarasikan cinta kalian sama Justin Bieber? Apa-apa soal Justin Bieber kalian taro dan kalian sebar? Mungkin para fans pengguna twitter lupa sama follower lain dan lupa kalau server accountnya Justin Bieber sendiri bisa berat dan lag gara-gara kelakuan mereka.

Kalau emang suka ama Justin Bieber, give him some space. Nah, yang ini nih yang fans suka lupa. Mereka lupa kalau artis/selebriti juga manusia. Kecuali memang bener Bieber feeds from his fangirls, ya saya yakin Bieber butuh lah sedikit privasi dan ketidak-lebay-an. Sebagai contoh belum lama ini, saya menemukan fans K-Pop bereaksi sangat bodoh yang menurut saya ini keterlaluan. Gara-gara Jonghyun, personil SHINee jadian sama seorang cewek... Mereka deklarasi benci, ngga suka, patah hati, marah-marah sampai pake ngancem mo ninggalin fanbase SHINee. YA TINGGALIN AJA SANA, EMANG GUE PEDULI. Saya yakin fans yang berpikir rasional berteriak demikian. Untungnya K-Pop memang memiliki fans yang lebih rasional dan tau yang mereka sukai itu masih bahan entertaiment, bukan hidup. Dan mereka meredam dan mengingatkan fans yang kelewat reaktif tersebut.

Saya punya tiga contoh kasus dari account twitter yang saya follow, fans Bieber, fans K-Pop rasional, fans K-Pop irasional.

Fan Bieber sebagaimana yang kalian duga akan ngetweet "Hari ini Bieber make my day", "Oh, Bieber lagumu enak". Kadang sambil memuji sambil mention Justin Bieber. Malah pake affectionate call kaya "Bieber adeku". Mungkin dia ngga nge-spam, tapi isi tweetnya untuk Bieber adalah kalimat penuh harap + mention.

Fan K-Pop irasional semua isi tweetnya adalah spam, tiap detik bercerita tentang apapun yang dia dengar dan lihat, puja-puji kepada artis K-Pop favoritnya. Timeline Anda penuh dengan tweetnya yang isinya hampir semuanya K-Pop.
Sampai akhrinya dia sendiri sadar ia terlalu banyak ngespam dan membuat account baru untuk hal tersebut yang mungkin hanya di follow teman-teman sesama K-Pop fan.

Fan K-Pop rasional, isi tweetnya adalah berita tentang K-Pop. Sirkulasi komunitas dan apa yang terjadi. Film Korea episod apa, video klip yang mana. Dan saran kepada fan K-Pop tipe irasional untuk jangan memperumit idola K-Pop mereka.

Darisini Anda nilai sendiri yang mana yang menurut Anda harus dicontoh.

Kadang yah, kita harus bisa membedakan entertainment dengan hidup sosial yang sesungguhnya. Terutama remaja, dimana emosi mereka masih sangat bergejolak, begitu pula jalan pikiran mereka, ini masih hal yang sangat bias. Kalau tidak kita jaga, ya jadilah public nuisance seperti kasusnya Bieber ini.

Tadinya saya pikir Bieber itu cuma cowok bersuara cewe yang digemari cewek-cewek puber, korban empuk buat diejek. Tapi lama-lama saya jadi sebel beneran. Habisnya dari pihak Bieber dan si fangirls sendiri ngga mau diam dan mengganggu ketenangan publik.
TANGANMU DICAP TANDA +!
Di jidat mu dicap tanda +
Di telapak kakimu dicap tanda +
Di dada mu ada tanda +
Seluruh tubuhmu dicap tanda +


Kau tidak berbangga seperti anak SD yang dapat A+ Kau tidak bisa berlari, berteriak pada dunia "Saya orang +" 


Kamu malah menerima cacian, makian, dan semakin banyak tanda +
Di mata dan di telinga.


Mereka malah berteriak, "KAMU GAY!"
Mereka malah berteriak, "KAMU SEMBARANGAN!"
Mereka malah berteriak, "KAMU PECANDU!"
Ibumu menangis, Ayahmu marah.
Seorang menteri negri ini malah bilang "Anumu Itu Dipakai Sembarangan"


"Saya tidak ingin jadi +" teriakmu.
"Mana saya tahu!" teriakmu lagi.
"Saya minta bantuan" semakin kau keluarkan suaramu.
Kamu tidak ingin jadi malu, kamu tidak ingin jadi semu.


Tapi mereka menolak mendengarkanmu. Karena tubuhmu banyak tanda +
Mereka jijik sama tanda +
Mereka buta dengan fakta tanda +
Mereka lupa kalau tanda + menyerang siapa saja, tanpa memilih korbannya
Mereka lupa, kalau orang-orang yang ditandai oleh + masih manusia juga


Tersenyumlah, wahai kawan + ku
Tangismu memang duka, tangismu itu pilu
Tapi + mu itu pertanda bahwa kau harus + kan lagi hidupmu
Karena ketika orang lain lupa, kami ingat


Bangkitlah, kawan + ku
Tunjukkan kalau kau berani hidup dengan + mu
Dan untuk itu teruslah berkobar dan berseru, "Saya bisa hidup dengan + ku"

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Bukan mitos lagi kalau setiap menit seorang anak dibelahan dunia ini di diagnosa HIV+. Sebagian besar mereka dapat dari Ibunya, sebagian korban kena dari suaminya yang mungkin jajan, sebagian gara-gara salah prosedur donor darah. Masih banyak lagi kasus tak berdosa, karena HIV/AIDS tidak pernah memilih korbannya.

Mungkin 1 Desember masih sebulan lagi, tapi pesan ini tidak berlaku hanya ketika 1 Desember saja. Saya hadir disini, sekalian menyebarkan misi yang sedang saya perjuangkan bersama teman-teman saya di grup "Le Myuz". Maret nanti, Insya Allah, kami akan membuat sebuah event, berkolaborasi dengan Action for AIDS, menyebarkan pesan "Anti-Diskriminasi" kepada masyarakat muda. Mungkin event kami ini hanya terbatas di Singapura, tapi saya yakin, pesan kami ini tidak terbatas dibelahan dunia manapun.

Bicara topik lokal, belum lama ini saya mendengar para petinggi negri Indonesia melakukan kesalahan yang menurut saya sangat fatal. Seorang menteri mengabaikan pentingnya Sex Education, seorang menteri lagi memprejudis ODHA di sebuah jejaring sosial. Kami butuh sex education, kami tidak butuh prejudis. ODHA butuh dukungan dari pemimpin negrinya. Penderita bukan penderita sama tanggung jawabnya memerangi wabah ini.

Maka itu, saya hanya ingin merefresh orang-orang saja sebelum sebulan ke depan, tepat tanggal 1 Desember. Perang ini belum berakhir. Pesan ini tidak akan habis. Hapus diskriminasi dan ulurkan tangan. Lakukan aksi preventif. Banyak cara kalau kita mau. Selama kita berpikiran positif maka kita bisa meminimalisir korban dengan HIV+

Saturday, October 30, 2010

Tuhan aku jauh dariMu.
Seharusnya aku bahagia, tapi kenapa tidak?
Mungkin karena aku menjauh dariMu.

Saat seperti inilah aku berpikir "kenapa orang menolak untuk mencintaiku".
Padahal kau janjikan aku cintaMu, yang jauh lebih baik dari cinta orang-orang itu.
Bukannya menyebut namaMu, malah ku hina-hina diriku.

Maka itu biarkan aku berdoa malam ini, menyebut namaMu,
dan berilah aku Ridho-Mu, untuk hadapi hidupku.
Hai (:

Mumpung inspirasinya hangat saya sepertinya mau update sedikit.

Happy browsing and keep inspired!
Singapura, 30 Oktober 2010

Pingin bicara...

Saya lagi pusing dan sedikit self-concious, lebih baik yang seperti ini dialihkan ke topik lain. Untuk mengalihkan masalah sendiri memang paling enak bicara masalah orang lain, jadi saya akan membahas sesuatu malam ini. Hal yang sering kali dialami gadis-gadis belia.

Saya kerap kali, lebih dari hitungan jari, mendengar mereka mengeluh; "Lu milih dia ketimbang gue, sahabat lu."

Saya merasa kadang kalimat, atau konsep itu sendiri sudah jadi klise. Coba tanya gadis remaja mana, pasti (kira-kira) dua diantara satu mengalami hal seperti ini. Teman-teman cewek saya pun demikian. Hampir semuanya mengalami si konsep diatas. Saya mengeksplor satu situs tempat dimana orang bisa berbagi rahasia mereka secara misterius, semacam tempat curhat istilahnya. Dan banyak pula gadis-gadis yang mengeluh hal diatas.

Lantas, jika ini adalah hal klise, repetitif, dan sering kali kejadian, mengapa terus-terusan kejadian?

Sebelumnya, saya tahu hal ini bukanlah hal yang bisa diteorikan, tapi saya ingin mencoba. Sekedar, mengungkapkan pikiran saya untuk memberitahu pikiran Anda.

Maka, teori saya adalah:

Mungkin si gadis terlalu fokus dengan sahabatnya. Karena sahabatnya adalah orang yang paling dekat dengan dia. Untuk perempuan yang pada dasarnya memiliki simpati dan emosi yang lebih peka, tentu seorang sahabat, baik pria maupun wanita, adalah figur yang selalu dekat dengan hatinya. Terutama jika pria, kemungkinan untuk jatuh cinta pada si pria ini lebih besar. Pria ini pasti akan jadi orang pertama yang akan dia hubungi dan dia consider karena selalu dekat di hati dia, walaupun pria ini bermasalah atau punya kekurangan. Cowok lain jadi keliatan kaya lobak.

Si sahabat cewek juga cenderung jatuh "narsis" dan berpikir; "ngga akan ada yang nyayangin dan ngertiin dia lebih baik dari gue". Karena sebagai sahabat, si pria pun pasti akan memberitahu si sahabat wanita terlebih dahulu jika ada apa-apa, walau si pria melakukan hal ini karena perannya sebagai sahabat, bukan karena punya rasa. Tapi cewek itu kadang terlalu cepat ge-er, atau lebih tepatnya peka dalam hal-hal kedekatan dan bonding. Terlebih lagi jika didukung oleh kerabat-kerabat si cewek.

Dari sisi cowok, mungkin si cowok berpikir; "gue emang sayang ama ni cewek, tapi dari pada ngadu nasib jadian dan gagal, gue lebih baik ngga karena gue ngga mau nyakitin hati dia". Cuma cowo ngga tau harus menangani masalah ini gimana. Alhasil, dia lebih memilih diam dan nyimpen pikiran itu dibenaknya saja.

Atau mungkin kadang, justru si cowok memang ngga ada interest sama si sahabat ceweknya sama sekali. Mungkin karena dia lebih menganggap si cewek seperti adik/kakaknya, mungkin karena si sahabat ceweknya bukan tipenya (saya tahu ini superfisial, tapi, hey, kita manusia, dan manusia egois dan pilih-pilih), mungkin justru siapa tau dia justru naksir sahabat ceweknya yang lain.

Jadi intinya, cinta bertepuk sebelah tangan saya rasa wajar. Dan manusia kadang terlalu bangga dan terlalu egois untuk mendeklarasikan "saya yang paling baik untuk kamu" atau "lu kurang pantes buat gue" mengetahui bahwa sebenarnya yang paling penting dalam sebuah hubungan itu adalah keikhlasan dan rasa "selfless".

Terutama sebagai remaja, ada masanya mereka harus mengalami konsep klise tersebut. Akan terus ada gadis yang berteriak "kenapa lu pilih cewek itu, ketimbang gue sahabat lu". Pada saat itu mungkin hatinya akan terkoyak, tetapi dari situlah si gadis akan mekar menjadi persona yang sesungguhnya dan dewasa dalam menghadapi suatu hubungan.

Friday, October 22, 2010

Expectations, it kills.
Guilt and pressure, it kills.
Obsession, it kills.
Egotism, it kills.
They kill only one thing; Innocence.

That is why "to be an adult" is a choice. Some may luckily survived, some may consumed.

But some choose to remain innocent. And there is no other choice then to be killed.

Tuesday, September 28, 2010

Latihan Pendeskripsian karakter.
28 September 2010.

Tiga wanita.

Saturday, August 28, 2010

Kelas-kelas baru saja dipakai ujian, meja kelas jadi agak berantakan. Kelas ujian saya ada di lantai dua, kelas saya yang sesungguhnya dijadikan ruangan anak kelas satu dan kelas tiga. Kertas ada dimana-mana. Semua bekas coretan. Hari terakhir kemarin Bahasa Indonesia dan Matematika.

Mungkin bapak pembersih sekolah juga buru-buru membereskannya. Atau mungkin anak-anak kelas satu dan kelas tiga hanya payah saja dalam membersihkan ruangan.

"Huh, sekolah negri..." keluhku dalam hati. Ngga bisa bohong juga. Walau saya akui teman-teman saya banyak yang pintar, tapi bagaimanapun juga ini sekolah negri.

Saya mencari meja saya, di baris kedua ujung sebelah pintu. Saya duduk disitu. Saya masukkan tangan saya ke dalam kolong meja dan perlahan mempertanyakan apakah isinya. Banyak sekali kertas. Coret-coretan matematika dan beberapa prosa, mungkin ditulis untuk bahasa Indonesia. Ada juga coret-coretan syair. Siapapun yang duduk disini pasti senang menulis.

Saya sendiri juga suka menulis, membaca tulisan orang lain. Dan kebetulan coretan itu, walau ditulis dengan pensil, saya masih bisa membacanya. Lalu saya membaca salah satu tulisan disitu yang dapat saya temukan. Ada sebuah curhatan, kayanya sih.

Ujian Bahasa. Agak males. Males wacana. Wacana lebar. Haha.


Uh, masih ga enak rasanya. Hari ketiga. Bocor.


Sebelum nulis yang lain... Mmm... Sebenernya saya mo buat pengakuan (apa sih pengakuan, random amat).


PMS saya minggu ini bikin saya jahat. Kemarin si Tita berantem sama Wilma. Gara-gara Tita mengakui lagu parodian Justin Bieber gue keren. Ngga nyangka Wilma ga sengaja denger. Tita malah dengan pedenya bilang kalau Justin Bieber itu emang suck. Wilma juga gila sih. Lagian naksir ama bocah nanggung gitu.


Tapi gue ngga ngaku ke Wilma kalau itu lagu gue yang bikin. Tita juga ngga ngomong.
Gue ngga sebel sih sama Wilma, cuma kadang jijik kalau udah ngeliat dia flailing sama Justin Bieber. Horor gila. Tita sama Super Junior ngefan-nya kaya gitu aja ngga lebay kaya Wilma. Tau deh, orang beda-beda kali.


Si Desi sama Martin berantem. Gue malah girang. Ada drama. Gue malah manas-manasin dua-duanya. Kok gue bego ya? Abisnya gue kesel dan enek sendiri. Mungkin karena gue melarikan diri dari kasus mereka, gara-gara gue ngga mo disalahin. Walau bukan salah gue juga sih, tapi kadang suka kepikiran ini semua gara-gara gue.


GUE TAU! INI SEMUA GARA-GARA R**N! Hahaha, ngga lah, gue cuma nyari "kaburan" dari guilty gue lagi aja. Tapi gue baca di cracked.com kalau kita putus, orang-orang di deket kita bisa putus juga. Tapi ga tau lah.


Intinya Desi dan Martin panas gue heboh kaya orang nonton sinetron. Abis gue kesel. Sebenernya gue mungkin kesel sama Martin... dan Ua Dito. Abisnya... Padahal Emak gue udah bikin stand point belain Desi, tapi mereka kayanya ngga mau denger. Terus emang dasar cowok kali ya... Kalau salah ngga mau disalahin... Gue tuh bete banget Desi kaya orang bego mencoba mendukung Martin tapi kaya ga dihargain juga. Lama-lama gue yang heboh sendiri kan "PUTUS! PUTUS! PUTUS! 8D"


Tapi Desi juga emo sih, gue jadi sebel. Masa beratnya turun sampe 40 dia bangga. Terus katanya mo nurunin lagi. Jadi ranting aja sana, lu! Bukannya gue ngga mau dukung, tapi justru gue di hororkan dengan kalimat dia yang kaya gitu. Harusnya, ngapain juga ya gue peduli. Tapi gimana dong? Gue sama Desi dan Tita kan udah dari kecil... Payah juga ya gue.


Tapi ngga papa sih. Alhamdulillah, Desi udah baikan.


Tapi gue masih sebel sama Martin. Asli. Terus nanti lebaran mau ketemu. Mo pasang tampang kaya apa dia ketemu gue dan emak gue? Pede aja kali ya ntar dia? Kaya badut as usual. Dia kan ngga ngerasa salah (menurut gue sih).


Tau lah, peduli amat lah gue ama Martin. Paling gue aga sedikit kampret di depan dia. Gue prefer bikin fondant cake ama Wicak deh lebaran nanti.


Abis akhir-akhir ini kejadiannya ngga enak mulu sih. Si Tita ama si cowok berengsek itu lah, yang namanya kaya cewek... Siapa? Tara...? Idih, kasian amat namanya kaya cewek. Terus gue putus lah, barengan ama Yuli pula putusnya, kasusnya mirip-mirip pula. Yuli kayanya lebih parah sih. Tapi kita temen-temennya bodo amat sama tuh cowo. Yang kasian yang gue ini. Ampe Emak gue ilang respek sama dia. Hebat banget ya tuh cowo bisa bikin keluarga+kerabat gue marah. Yah, tapi gue rasa ini emang udah makanan remaja kali ya? Cuma kasian aja temen-temen gue gitu. Ga mungkin ya "udah gue aja sini yang bermasalah". Apa sih gue emo banget hahahaha.


Kata Babe, ya masalah Desi dan Martin sih masalah mereka aja. Kita paling kasih dukungan. Cuma gue masih merasa kan gara-gara gue ketemunya. Kasian si Desi. Uwalah. Bingung ah.


Terus si Lebay kok udah ngga pernah ngetweet ya? Sebenernya gue merasa aga dosa juga sih sama dia. Kelakuan dia semuanya kelakuan yang gue sebel banget dan suka gue sindir di media lain. Tapi abisan dia gitu sih.


Intinya PMS kemaren kerjaan gue mengkritik orang terus. Kemaren gue baru saja bikin sekumpulan alay mengamuk karena gue hina-hina bahasa Inggris dan tulisannya. Jadilah saya Putri Inggris yang dibenci sekumpulan anak-anak sok berambut emo. Dan semakin mereka terpancing, semakin sombong dan senang gue jadinya.


Tau ah. Gue mo bikin fondant cake ajalah, sama chili con carne.


Mbak, kenapa harus disimpan di meja saya? Kenapa ngga beli diari sih? Ah, kuempel-empel kertas curhatan itu lalu saya buang. Sia-sia saja jadinya.

Wednesday, August 18, 2010

Normal itu hanya metakonsep.

Sampai sekarang saya belum tahu definisi "normal". Saya mencarinya kemana-mana. Saya cari di lapangan rumput kosong di depan rumah. Saya cari di sekolah. Saya cari di toilet dan di halte bus. Bakan saya mencari "normal" sampai ke luar negri. Saya tidak juga menemukan arti "normal". Mungkin normal itu hanya ilusi.

Kamus berkata pada saya arti normal adalah "Berada pada standar atau ekspektasi yang biasanya". Lalu saya membalas Kamus, "Bagaimana jika ekspektasi dan standar orang berbeda-beda? Apakah akan ada normal yang sesungguhnya?"

Kamus diam saja dan tidak bisa menjawab lagi. Dari dengan kesunyiannya, saya sudah punya jawaban.

Tapi manusia tetap saja menginginkan sesuatu yang normal. Tapi yang normal itu seperti apa tidak ada yang tahu persis. Tapi satu hal mengapa manusia kerap memaksakan diri untuk mendapatan normal. Normal adalah ekspektasi, standar. Dan dengan serakahnya, mereka ingin standar-standar itu terwujud. Sayangnya standar mereka berbeda-beda dan berbenturan satu sama lain. Sama seperti ego.

Lagi-lagi lahir sebuah konsep dari satu ego.

Dan kadang standar yang sama dijadikan satu ego yang sangat besar dan terbentuklah ilusi bernama normal. Jika ada satu hal yang berbeda dengan standar besar tersebut maka disebut abnormal.

Saya masih ingat waktu itu saya berada di jok belakang, sehabis dari pesta jamuan oleh atasan Ayah. Ayah menyetir, Ibu disampingnya. Lalu Ayah bicara pada saya;
"Kamu itu berbakat sekali, nak. Kami bahkan berpikir untuk mengkolaborasikanmu dengan anak-anak teman-teman Ayah itu dan buat usaha kecil. Alangkah baiknya untuk bakat kalian. Tapi satu hal, mereka berbakat tapi tidak pernah bicara sendiri. Mereka mampu berkhayal tapi tidak bicara pada diri mereka sendiri dengan khayalan mereka. Mengapa kamu tidak bisa?"

Singkatnya, Ayah berkata "Kenapa kamu tidak bisa normal?" pada saya.

Di sekolah saya juga dijauhi karena katanya saya tidak normal. Masih suka kartun, kayaknya. Saya suka budaya lain dan dibilang tidak normal juga. Atau mungkin alasan mereka saja karena melihat badan saya yang harus disangga penyangga tulang belakang. Secara fisik itu sudah tidak normal.

Jadi, apakah berhak mereka memutuskan hal yang "normal" untuk saya? Seabnormal saya, saya juga punya standar dan ekspektasi. Sama seperti mereka. Maka itu saya juga punya batas untuk hal yang dapat saya bilang normal.

Lagi pula saya tidak percaya akan konsep normalitas. Absolut normal itu tidak ada. Saya bahkan bisa bilang kalau normal lah jika seorang pasien rumah sakit jiwa berkelakuan abnormal. Apa Anda merasakan anomali kalimat tersbut? Jadi, apa itu normal?

Sama seperti fetsih dan topik tabu seperti seks. Atau trauma psikologi atas kejadian mengerikan. Atau mungkin pikiran jelimet seorang pembunuh dan kriminal lainnya. Kata mereka yang mengalaminya, itu normal. Kata yang lain, itu abnormal. 

Dan mereka memaksa untuk membuktikan apa itu "normal".

Pada akhirnya kita semua tahu dalam diri masing-masing bahwa benarlah normal itu hanya ilusi. Dia tidak pernah ada, sampai kita menciptakannya. Karena kita tahu bahwa dunia ini semuanya abnormal dan kita punya ekspektasi untuk hal yang sebaliknya.

Monday, August 16, 2010

Kami selalu punya suara. Tiap waktu. Tiap hari, tiap detik. Suara kami tak pernah habis. Kami tidak pernah serak, tidak pernah sesak. Bunyinya merdu sekalipun teriak. Panas hujan kami akan selalu berbunyi berkumandang. Selalu ada yang bisa kami suarakan.

Suara terus. Kapan geraknya?

Kami bergerak kok. Kami bergerak gemulai penuh amarah. Untuk memperjuangkan suara kami, ada satu cara yang yang tidak akan penah bosan kami eksekusi. Cara yang sama sejak tahun 1945. Tapi itu sudah ciri khas kami. Karena kami impulsif. Keras kepala dan tidak dewasa. Cara kami hanya satu. Marah-marah, menutup jalan raya dengan suara-suara kami, lalu mencari sesuatu untuk dibakar. Ada api, ada drama.

Kalau begitu, bagaimana bisa kalian didengar dan dipertimbangkan?

Lah! Tentu bisa dong! Kami akan mengacam mereka untuk duduk manis mendengarkan kami. Kami akan membuat mereka mendengarkan kami sampai tertunduk dan tertidur bosan. Pada akhirnya kami akan memenangkan telinga dan pikiran mereka. Dengan cara kami yang begitu mengikat.

Lalu semua yang kita perjuangkan ini sia-sia pada akhirnya dan terwujud dengan cara yang lagi-lagi terpaksa. Ah, saya capek diombang ambing sejak tahun 1945. Kami tidak pernah merdeka. Kita merdeka karena terpaksa.

Saturday, August 7, 2010

Buat @writingsession malam ini. Temanya: "Intrepertasi Lagu"
http://writingsessionclub.blogspot.com/

"Here, There, and Everywhere" milik The Beatles.
Mungkin standar. Tapi saya lagi mood sentimental dan penuh memoria.
Barbie™ © Mattel
Selamat dinikmati (:


Ah. Ketika itu. Ketika itu aku menyisir rambutmu. Rambutmu keras. Sisir kecil pink itu menyangkut disela-sela tebal rambut pirangmu. Tapi entah kenapa aku bahagia kalau aku menyisir rambutmu. Rambutmu panjang. Aku ingin rambut panjang tapi kata Ibu rambut panjang itu repot. Rambutku harus selalu pendek. Ah, seandainya saja rambutku panjang. Atau mungkin rambutmu saja kali yang kubuat pendek.

Aku selalu memperhatikan tukang salon itu ketika aku dibawa Ibu. Gayanya hebat sekali. Cekras-cekris sana sini. Lalu jadilah rambut yang rapi. Mungkin aku bisa melakukan itu juga. Tentu saja aku bisa. Ketika itu, aku bisa segalanya termasuk potong rambut.

Lalu aku memotong rambut pirangmu yang tebal itu. Jadi pendek dan tidak rata. Mungkin saat itu Ibu marah padaku, aku tidak mengerti kenapa. Tapi katanya, "Astaga! Aku membelikanmu itu bukannya tidak pakai uang! Kenapa rambutnya kau potong?"

Tapi kamu tetap tersenyum. Kau suka rambut barumu kan?

Aku juga ingat ketika itu. Ketika itu kita sedang bermain bersama di halaman belakang rumah. Main piknik-pinikan bersama kain bekas adik waktu bayi dulu. Lalu aku melihat bajumu. Bajumu sudah usang dan cobot-copot. Pengaitnya sudah tak rekat lagi. Tapi baju ungumu itu begitu indah dan cocok untukmu. Aku ingin membelikanmu yang baru. Aku selalu minta ibu untuk beli baju baru tapi Ibu tidak pernah mau membelikannya.

Aku melihat kain bekas itu. Lalu rapihkan piknik kita dan kubisikan ke telingamu.

"Barbie, aku akan membuatkanmu baju baru."

Kuambil kotak jahitan dari dapur. Kulilit kain bekas itu ke badanmu. Kujahit. Disini, dimana, dan dimana-mana sampai akhirnya tubuhmu tertutup sepenuhnya. Jahitan itu asal. Yang penting kainnya menempel. Ayah hanya geleng-geleng kepala melihatku melakukannya padamu. Tapi akhirnya jadilah sebuah baju. Kau punya rambut baru dan baju baru dan aku semakin sayang padamu.

Aku pikir ketika itu aku adalah gadis paling bahagia di dunia. Aku rasa kamu temanku yang paling setia. Kau selalu ada di rumah, menungguku sepulang sekolah.

Mungkin teman-temanku yang lain memililki kamu dalam jumlah yang lebih banyak. Tapi hubungan mereka dengan barbie-barbie itu tidak seperti hubunganmu denganku. Kita sahabat selamanya.

Menyesal sekali tapi apa dayaku, Barbie. Seandainya ketika itu aku tidak telat pulang sekolah karena jemputanku mogok. Ketika seandainya aku bisa menyelamatkanmu, yang masih mengenakan baju buatanku dari gelapnya kresek sampah. Ketika seandainya aku bisa meyakinkan Ibu, kalau kau dan aku bahagia walu mungkin kau tidak secantik ketika ku beli di dalam box. Aku benar-benar kehilanganmu. Aku tidak peduli kamu jelek, tua, dan tidak secantik barbie-barbie temanku. Aku sayang padamu, kau sayang padaku, dan kita berdua sama-sama tahu hal itu.

---

"Kayanya gue bakal beli Barbie deh..." ujarku ketika aku memasuki bagaian mainan di mal itu. Hari ini memang kusiapkan untuk menambah koleksi mainanku.

"Aku ngga ngerti sama lu, Fin. Kok kayanya lu seneng amat koleksi mainan? Lu udah 20 dan mainan itu... Ya... cuma mainan."

Aku cuma tersenyum dengan komentar Arina tadi. Aku juga tidak mengerti. Mungkin aku terlalu sentimental, mungkin aku bodoh. Tapi aku merasa, hanya dengan mereka berada bersamaku, mereka sedang mendukung setiap kegiatanku. Yang baik dan belajar untuk jadi yang lebih baik lagi.

"Tapi... Barbie berbeda."

Bukan karena ia cantik, bukan karena ia role model, atau mungkin tepatnya versi utopis dari imej seorang gadis seharusnya.

Tapi karena dia pernah jadi sahabatku. Dan aku ingin membangun persahabatan dengannya lagi. Persahabatan yang akan awet dan tidak akan pernah termakan dengan keresek sampah. Dari sini ketika kubeli lagi engkau, sampai disana kita akan bermain lagi seperti dulu. Tak peduli berapa jumlah usiaku. Dimana-mana, kau akau bersamaku dan mendukungku. Kurasa itu yang kubutuhkan.

Lalu kuambil box pink itu. Sama seperti ketika aku diajak Ibu membelimu dulu.

Friday, August 6, 2010

Kaya pelem aja pake teaser segala. Cerita yang saya buat untuk cinta saya pada mainan dan rumah saya di Bandung.


Mudah-mudahan benar ini kuncinya karena aku yang sudah habis termakan penasaran ini ingin pintunya terbuka.

Pokoknya,

"KREK."

...Harus,

"KLEK-KLEK."

...Kebuka!

"Krieeeeet...."

Ah! Benar terbuka! Dari celah aku bisa mengintip lantai kayu yang sama dengan lantai-lantai kamar lainnya. Catnya seperti putih, krem-krem... pink? Entahlah. Tapi begitu aku buka lebih lebar dari semilir udara ruangan itu aku dapat mencium semacam bau aroma terapi... Baunya semerbak, halus, creamy, seperti sirup...

"Mawar?"

Akhirnya kubuka lebar pintu itu dan dihadapanku tersusun rapi sebuah tampak kamar anak perempuan.

"Aaaah..." Aku ngga bisa bohong untuk berdecak kagum dengan suaraku. Aku melangkah ke dalam kamar, "Cewek banget..." pikirku keluar. Tirainya putih susu berenda-renda, tembok putihnya dikemas wallpaper cantik ke pink-pink-an bergambar peri. Mejanya meja kayu antik berwarna putih. Tempat tidurnya juga putih berenda-renda. Semuanya renda. Tapi yang paling jelas dari isi kamar itu adalah boneka dan mainan.

Ada satu lemari sendiri berisikan mainan dari mulai boneka porselen yang serem wajahnya, barbie, bonekanya Mr. Bean, figur-figur imut, ada juga figur-figur dari kartun Jepang. Hebat sekali yang punya kamar ini. Ini semua sudah seperti toko mainan! Ah, rasanya aku ingin buka lemari antik dengan pintu kaca ini, tetapi hatiku sendiri enggan membukannya karena entah mengapa aku merasa mainan-mainan ini sudah seperti pajangan museum. Di atas meja belajar ada lagi mainan-mainan yang berjejer bersama beberapa pajangan seperti cawan dan tas rotan kecil.

Di tempat tidur banyak sekali plush toy -- boneka-boneka yang empuk dan bisa di peluk. Teddy bear banyak sekali dan aku yakin ini teddy bear yang bisa dibilang cukup mahal. Ada plush toy lain seperti kucing, anjing, boneka karakter lucu, polar bear, panda, ah, aku mungkin bisa menyebutkan satu kebun binatang melihat semua yang berjejer di tempat tidur putih itu.

Di ujung kamar itu juga ada rumah boneka yang cukup besar. Berjejer di dalamnya barbie dengan dress renda-renda digabung dengan koleksi Sylvanian Families. Boleh juga kombinasinya. Perabotannya juga lengkap. Aku meraih dan melihat satu-satu yang ada di sekeliling rumah boneka itu.

Kamar macam apa ini? Milik siapa? Ini mimpi bagi anak perempuan manapun. Mungkin usiaku sudah tidak lagi, tapi jujur, sedari kecil aku ingin sekali, sekali saja memiliki kamar cantik seperti ini. Belum lagi kamar ini wangi. Tapi kenapa dikunci? Kenapa kamar yang jelas-jelas kelihatan tiap hari dibersihkan dibilang gudang!?

Lalu mataku menangkap sesuatu. Diatas meja rias ada sebuah figura keramik bertolehkan ukiran mawar. Di dalamnya ada sebuah foto. Foto seorang gadis. Gadis yang sama dengan foto yang ada dibawah.

Kamar miliknya kah?

Aku menghampiri meja rias dan duduk di depannya. Kuambil figura itu dan memandangi fotonya. Benar. Itu gadis yang fotonya juga ada di bawah. Gadis berambut ikal yang sama. Siapa gadis ini sebenarnya? Apa dia pemilik rumah ini sebelum keluarga Pohan. Tapi masa iya? Kalau iya masa fotonya masih ada di rumah ini. Apa mungkin masih keluarga dengan si pemilik? Ah, mungkin itu. Tapi siapa? Ketika Papa Mama membawaku ke rumah keluarga Pohan untuk menandatangi surat sewa rumah ini tidak ada foto gadis ini di rumah itu. Atau mungkin saja aku tidak memperhatikan, tapi harusnya kelihatan. Lagipula anak keluarga itu cuma satu dan laki-laki. Sudah menikah pula dan istrinya ngga kaya begini. Mungkin anak mereka... Tapi bukannya anaknya masih bayi? Apa mereka punya anak lagi?

Kutaruh lagi figura itu di atas meja setelah puas mengingat-ingat wajah gadis di foto itu. Lalu mataku beralih ke cermin di depan meja rias dengan otomatis. Dan aku bisa melihat ke lemari mainan di belakangku.

Mata mereka melihat ke arahku!

"HAH!"

Aku segera menoleh. Tentu saja! Aku kaget! Ilusi? Ilusi. Tidak mungkin mainan-mainan itu memelototiku seperti yang kulihat sesaat di cermin tadi. Mungkin karena aku termakan penasaranku, tentu saja. Tidak mungkin, Rashel, ngga mungkin.

Sepertinya aku harus segera keluar dan mengunci lagi pintu ini sebelum Pak Asep pulang membawa jalan-jalan Sergei. Aku buru-buru berdiri dan berniat beranjak keluar.

"Neng Rashela!?"

"HAH!"

Aku nyaris melompat. Pak Asep di depan pintu. Astaga! Aku nyaris kaget. Aduh ketahuan! Mudah-mudahan Pak Asep tidak bermasalah aku masuk kesini...

"Eh, Pak Asep. Udah pulang toh?" tanyaku basa-basi dengan senyum yang masih agak canggung.

Tapi... Kuperhatikan wajah Pak Asep. Itu wajah bermasalah. Ia tidak suka aku kesini. Tidak mungkin wajah seperti itu bohong.

"Neng, maaf ya, Neng. Tapi kan saya sudah bilang jangan dekat-dekat kamar ini."

Nadanya serius, aku jadi tak enak. Tapi aku memaksakan diriku untuk ngeles; "A- Aku pikir ini beneran gudang, Pak..."

"KELUAR."

Aku tersentak. Itu jelas sekali. Itu seperti bentakan. Aku takut. Itu bukan amarah seperti ketika Ibu menangkapku basah tidak belajar ujian besok atau mengerjakan PR. Itu seperti... Peringatan. Peringatan akan sesuatu yang tegas... Bukan. Bahaya.

Kakiku mulai bergetar melihat wajah ramah Pak Asep yang biasanya jadi begitu tajam.

"Punten, Neng. Tapi saya minta Neng keluar sekarang dan jangan sekali-kali lagi dekati kamar ini." tutur Pak Asep dengan nada yang mulai menurun.

Aku tidak berani membantah. Aku melangkah keluar. Dari tenggorokanku berhasil keluar sebuah "Maaf" kecil yang samar-samar tapi sepertinya Pak Asep mendengarnya. Aku segera berlari ke bawah, ke ruang keluarga. Aku tidak mau melihat atau mendengar hal semacam itu tadi, entah mengapa. Aku mau mencoba melupakannya saja.

Lalu ketika aku jatuhkan badanku di sofa depan TV, aku mendengar pintu kamar itu ditutup keras dan dikunci rapat-rapat oleh Pak Asep.

Sunday, July 18, 2010

Saya kemarin datang ke tempat itu lagi. Menguak semua intisarinya kepada saya dan memutar bersih memori saya lagi. Yang baik, maupun yang buruk. Yang baik itu akan selamanya terkenang sangat baik bagi saya, tetapi yang buruk juga begitu.

Saya terbawa mimpi buruk saya lagi ketika saya masih mengenakan seragam putih-biru. Anak-anak itu datang bersama kesombongan mereka yang kokoh bagai bata. Siap memandang rendah saya, siap mempermalukan saya. Dan perasaan itu masih tetap ada. Ketika sudah lima tahun lewat setelah kejadiannya, bekas-bekasnya masih ada.

Mereka duduk di belakang saya, mungkin karena disebelah saya adalah teman baik yang memang disukai semua orang. Mereka tentu saja duduk di dekat teman baik itu karenanya, bukan karena saya. Saya jijik berada di dekat mereka dengan mereka berjumlah lebih banyak dibanding saya yang hanya satu. Saya entah mengapa yakin mereka juga jijik dekat disebelah saya. Saya merasa mereka tidak lama lagi akan menghina-hina saya seperti lima tahun lalu, seperti tiga tahun yang saya habiskan di tempat itu dulu, tetapi tidak. Itu rupanya hanya khayalan jelek saya. Tapi rasa takutnya menggelora. Saya ingin cepat pergi, saya sudah muak berada di sekeliling tempat itu.

Kerap kali ketika kejadian itu berlangsung saya melihat dalam-dalam diri saya. Saya mengakui, saya memang berbeda dari anak yang lainnya. Tapi apakah hanya karena saya berbeda mereka tidak mau menghormati saya sebagai individu? Salahkah jika saya berada diantara mereka? Jika para guru-guru mau menerima saya, kenapa mereka tidak?

Apakah saya salah ketika itu saya sedikit lebih kekanakan dari yang lain?
Apakah saya salah karena saya gemuk?
Apakah salah karena saya suka menggambar sendiri di kelas?
Apakah saya salah karena saya suka baca komik dan mendiskusikan novel berat?
Apakah saya salah karena saya suka mencoba hal baru dan jarang disukai orang banyak?
Apakah saya salah karena berbicara lebih dari dua bahasa?
Apakah saya salah karena saya suka budaya negara lain dan memahaminya?
Apakah saya salah karena saya harus memakai penyangga tulang belakang di sekolah?
Apakah saya salah karena saya suka bernyanyi?
Apakah saya salah karena saya punya ambisi saya sendiri yang tidak sama dengan yang lain?
Apakah saya salah karena saya tidak pernah menggumbar-umbar status sosial saya?
Apakah saya salah karena saya tidak bersikap sok dewasa?
Apakah saya salah karena saya tidak terlalu pandai berbicara dengan orang lain?
Apakah saya salah karena saya bisa bernyanyi?
Apakah saya salah karena non akademis saya lebih baik dari akademis saya?
Saya salah.
Saya salah.
Saya bisa menyebutkan jutaan alasan lain yang membuktikan kalau sayalah yang salah.
Saya yang salah. Mereka yang benar. Kadang saya percaya begitu walau teorinya bilang mereka yang salah.

Katanya orang yang kesulitan menerima perbedaan itu adalah orang yang menyedihkan hidupnya. Tapi sepertinya di mata mereka yang menyedihkan itu saya karena saya berbeda dari mereka. Selalu begitu.

Mereka tidak pernah mau menerima saya, saya takut. Ketakutan itu begitu besar, kadang dihadapan orang selain mereka saya juga jadi begitu. Saya takut sekali. Saya takut tidak dapat pengakuan, saya takut tidak mendapat penghormatan hanya karena sedikit ketidak sempurnaan yang sebenarnya tidak terlalu berpengaruh bagi dunia luar. Ketakutan yang laur biasa dan sulit sekali dihilangkan. Terutama setelah bertemu dengan orang-orang itu lagi. Saya ingin sekali lupa dan membuang semua itu lalu bersikap seperti hal itu tidak pernah terjadi. Tapi saya tidak bisa. Pasti datang lagi dan datang lagi. Saya takut sekali.

Saya jadi teringat ketika saya datang kemarin ke tempat itu, teman saya ada yang menangis. Menangis teringat karena telah difitnah salah satu orang-orang itu. Ia sampai menangis. Saya juga tadinya hampir menangis karena duduk bersebelahan dengan orang-orang itu. Saya pikir saya harus berpura-pura kuat, tetapi saya disadarkan olehnya kalau luka itu tidak hanya ada pada saya saja. Saya jadi malu karena menahan luka saya sendiri. Saya seharusnya jujur kalau saya memang takut.

Sampai sekarang saya belum tahu caranya untuk melarikan diri dari ketakutan saya, masa lalu saya, trauma saya. Saya ingin sekali dihargai sebagaimana mestinya. Sulit mengais harga diri kalau di mata mereka harga saya tidak ada. Lalu kalau kembali ke tempat itu, saya takut tiba-tiba mereka menyergap saya. Menghina saya seperti sedahulu kala. Merusak wajah saya sampai harga diri saya habis lagi.

Sunday, June 20, 2010

Jutaan pria, berhamburan seperti datangnya hujan. Tampan rupanya, berbagai macam sifatnya, dari segala pelosok negara. Tatapan mata mereka begitu menghasut, seolah berbisik kepada setiap wanita-wanita lusuh yang tidak pernah dipuja oleh siapa-siapa. Pria-pria itu mencintai sesamanya. Membelai halus dari ujung rambut keujung kaki. Sangatlah tidak normal, terlarang, dan menegangkan. Otot-otot mereka bertubrukan. Keringat mereka bercucuran. Desahan-desahan yang tidak berhenti sepanjang malam. Para pria itu mencitai mata-mata yang melihat mereka. Betapa indahnya cinta mereka. Membuat iri wanita bersuami ataupun yang hidup sendiri.

Padahal homoseksual dilarang. Dilarang Tuhan dan beberapa negara. Dihina dan dihujat-hujatkan. Yang melihat jijik. Yang melihat mengutuk. Tapi entah mengapa rasanya ada lagi, dan terus ada lagi. Dan para-para pelukis itu tetap menciptakannya lagi. Entah sudah berapa lembar kopi dibeli. Konsep fantasi macam apa itu? Mengingkan lelaki sesama lelaki dalam satu situasi yang sangat bergairah. Tapi tetap saja entah mengapa rasanya ada yang salah.

Jutaan wanita, berserakan seperti sampah jalanan. Dari yang belia sampai yang tua. Rupa mereka cantik semua. Badannya montok dan licin paha mereka. Apapun mereka bentuknya, mereka tetap ada untuk tujuan yang sama. Selangkangan-selangkangan mereka diperlihatkan. Diserang dan diterjang berbagai macam dari mulai pria, wanita, benda mati, dan makhluk-makhluk yang entah apa itu. Diperlakukan macam binatang untuk kepuasan semata. Ada yang menolak, ada yang terima. Tergantung seperti apa wanita itu, sekalipun itu melanggar norma. Membuat para mata sakit melirik mereka dan berimajinasi jika itu benar ada.

Pornografi itu merusak hak wanita, katanya. Para feminis itu berteriak, kurang dihormati katanya. Katanya juga itu adalah zina. Dosa hukumnya. Tidak ada hak untuk seorang wanita memperlakukan dirinya seperti itu kecuali ia telah menikah. Dan ada yang bilang itu sakit. Karena wanita-wanita itu berhubungan dengan hal yang sangat tidak lazim. Dan para-para pelukis itu tetap menciptakannya lagi. Entah sudah berapa lembar kopi dibeli. Konsep fantasi macam apa itu? Memperlakukan wanita seperti alat pemuas semata. Tapi tetap saja entah mengapa rasanya ada yang salah.

Aneh. Saya pun menikmatinya. Aneh. Kami daritadi mengangguk-angguk saja. Aneh. Padahal hidup kami pun normal, tidak seperti apa yang dilakukan pria dan wanita di dalam kertas itu. Kami juga tak mau. Tapi kami tetap menikmatinya, membacanya, mengkajinya perhalaman, dan menginginkannya lagi dan lagi. Aneh. Aneh.

Thursday, June 17, 2010

Jakarta, 18 Juni 2010

Hari ini Manzo sedang tidak menjadi pujangga ataupun seorang gadis yang penuh inspirasi. Hari ini Manzo mo jadi Manzo saja yang bicaranya asal seperti biasanya.

Gara-gara kasus Ariel-Luna stasiun TV bicaranya jadi porno semua. Bulak-balik channel remot dari kemaren Ariel-Luna semua. Oke deh, saya ngga akan bakalan bilang Ariel-Luna. Saya bilangnya kasus "Sex Tape" aja karena konon si video berbintangkan pria ekshibisionis-hypersex-ultra-narsis mirip Ariel-nya Peterpan ini memiliki 23 sex tape dengan pasangan yang berbeda-beda.

(Malah katanya denger-denger ada yang sama Thomas Djorgi juga... --> gini bukan sih nulis namanya?)

Bahkan, kabar yang menurut saya cukup menggugah hati seperti semangat para pelajar ikut saringan masuk perguruan tinggi negri cuma diliput satu channel. Disaat yang berbarengan, channel lainnya masih juga meliput si kasus sex-tape.

Tadinya saya nyaris ga peduli. Di kepala saya cuma ada jadwal pertandingan piala dunia sama suara chorus vuvuzela yang meraung-raung. Tapi karena beritanya di umumkan berulang-ulang, terus di update, dan akhirnya kebaca/kedengeran... Lama-lama saya jadi mikir sendiri soal kasus sex tape ini.

(dan lagi ini opini, dan saya seperti biasanya biacara asal)

Ini yang saya ingin pertanyakan pada rakyat Indonesia sekalian: 

1.) Apa sih yang musti dihebohkan sebenernya?
Ini rasanya bukan pertama kalinya ada kasus video porno yang melibatkan orang termuka di Indonesia. Rasanya pernah ada waktu itu pejabat siapaaaa gitu ada sex tapenya sama seorang cewek gitu. Dan lagi, banyak kali kasus porno buatan yang melibatkan para artis di dunia ini. Ga cuma Ariel-Luna doang.

2.) Punya urusan apa lu pada buat ikut campur? 
Ini kan urusannya Ariel sama Luna (sama Cut Tari dan orang yang replika lainnya di video tersebut). Mendingan kalau cuma nonton, ini pake heboh sana-sini gosip sana-sini, diomongin padahal kitanya ngga tau apa-apa yang sebenernya juga. Kaya idup lu ngga ada urusan lain aja...

3.) Segitu menghiburnya kah?
Maaf-maaf aja tapi halo yang main mirip Ariel. Luna Maya, okelah. Bukannya saya gimana, tapi pada dasarnya mukanya Ariel itu ngga terlalu enak diliat. Jelek banget sih ngga, tapi ngga enak aja ngeliatnya. Mukanya tuh sangat PK (penjahat kelamin). Jangankan cewe, saya yakin yang cowo ngeliatnya aja males. Dan itu jelas-jelas amateur tape. Resolusi ngga jelas, gerak kesana kemari dan sangatlah random. Saya pernah liat video porno yang jauh lebih bagus dari itu. Dan kita masih ngga tau pasti itu Ariel dan Luna Maya beneran apa bukan.

4.) Dan perlukah ampe adanya razia?
Terus kalau udah disita itu barang mo diapain? Buat bukti apa? Kalau isinya Maria Ozawa, bukan Ariel atau Luna emang guna buat penyelidikan kasusnya? Maaf-maaf aja ya, soalnya yang saya tau selama ini razia gunanya hanyalah untuk menggeretak orang dengan menunjukkan "Heh, gue yang megang hukum. Lu cuma ape?" bukannya mendidik atau membuktikan sesuatu yang lebih baik.

Dan saya yakin sebagai faktornya...

1.) Ini pasti gara-gara social networking
Ini sampai jadi trending topic di twitter, sampe dikomentarin sama bintang porno beneran di luar negri sana, twitter jadi over capacity, alhasil saya jadi ngga bisa ngespam orang. Bahkan piala dunia aja kalah hot, saya ngga ngerti gimana ceritanya.

2.) Adalah alami jika manusia schadenfreude terhadap sesamanya
"Untung yang ngalamin Ariel dan Luna, bukan gue. Coba kalau gue, gue ngga tau deh gue jadi apaan abisnya. Tapi berhubung bukan gue ini, mari kita hujat dan gosipin itu si Ariel dan Luna!"

3.) FREUD IS RIGHT
Secara ngga sadar, isi kepala kita memang cuma SEX. Makanya berita ini berita paling hangat yang menyebar luas sekarang. Iya kan?

Dan yang ingin saya sampaikan secara umum:

1.) Undang-undang pornografi dan informatika...
YOU FAIL. YOU JUST FAIL TO EXIST. Really. I mean it.

2.) Para member Law-Enforcement di Indonesia...
Kamu juga heboh, tapi kok dari kemaren yang saya dengar klise lagi, klise lagi? Penyelidikannya jalan ngga sih? Kalau males nanganin, bilang aja males. Atau mungkin kamu cuma interest sama bayarannya aja kan?

3.) Para siswa pake barbekyuan gambarnya Ariel dan Luna di tengah jalan...
Satu, kita ngga tau pasti siapa yang di video itu sebenernya. Dua, ngerusuhin jalan orang. Tiga, ngaku aja, lu sendiri juga nikmatin barang gituan kan?

4.) Kalau pornografi legal...
Kriminalitas sex berkurang. Terbukti secara scientific kok. Just saying. 

5.) Kata Menteri Pendidikan, Sex Education di sekolah itu ngga penting, nanti juga mereka belajar sendiri...
Terus, apa yang dilakukan para warga Afrika untuk prevent rape dan mewabahnya HIV/AIDS? Memberikan sex education ke sekolah-sekolah! Dari mulai SD pula. Oke, mungkin nasib kita ngga senaas disana tapi hey! Buktinya orang-orang jadi terdidik dan start living better disana.

6.) Nilai moralitas bangsa...
Pada dasarnya ngga usah ada kasus video ini pun moral kita masih merayap. Terus sekarang koar-koar si video porno ngerusak nilai moral blablabla... Saya ngga ngerti ini maksudnya moral yang mana sih? Kalau soal porno bisa bikin orang jadi hypersex dan addict... Ngga juga. Itu sih relatif dan kembali ke masing-masing orang. Mo tau banyak keluarga di rumah yang anggotanya masing-masing nyimpen pornografi dan masih jadi keluarga yang bermartabat, jujur, bersosialisasi, terdidik, beragama, berkerja keras, sopan satun, rajin menabung, tidak sombong, dan taat pajak?

7.) Bagaimana dengan agama?
Yang namanya agama ya urusan lu sama Tuhan bukan? Boleh mengingatkan atas dasar agama, tapi saya ngga pernah denger ada yang namanya menuduh dan menghujat atas nama agama. Apalagi para umat Islam sekalian, terutama para-para petinggi yang disana. Cuma Allah lah yang tau niat kalian sebenernya tuh apa...

8.) We all have the kink in us, anyway...
No sex is normal sex. Nobody has the normal sex. We all love the kinks and the fetishes. Ngaku aja lah...

9.) Sex itu ngga tabu...
Sekarang kembali ke kita para manusia mau menjadikannya sebagai apa. Mekanisme biologis untuk mempertahankan keturunan? Persatuan fisik, emosi, jiwa, dan batin pasangan suami-istri? Guilty pleasure? Hal yang murah dan sangat mudah digapai? Jorok karena "itu" dan "itu" harusnya dipakai kencing saja? Sama aja seperti topik lainnya yang mengalami penderitaan toleransi berbeda dari masing-masing individu.

Jadi intinya... Gimana kalau kita biarkan yang bersangkutan mengurus kasus tersebut sesuai jalur hukum dan kebenaran (yang sesungguh-sungguhnya) dan kembali heboh ke piala dunia?

Tuesday, May 11, 2010

Hahaha~ Hari ini posnya banyak karena saya sedang cukup terinspirasi.

Kebetulan nemu yang lama-lama jadi kenapa ngga di pos sekalian aja. Maaf kalau rasa klise karena kebanyakan sketsa-sketsa seperti itu yang saya tulis. Tapi kayanya lain kali bakal lebih fokus kearah yang agak "nyerpen" supaya ada narasi dan unsur fiksinya untuk mengimbangi sketsa-sketsa poetik.

Pokoknya apapun yang Anda temukan disini semoga bisa memberi inspirasi dan happy browsing.
Katanya manusia itu diberi tanda sama Tuhan kalau dia bakal mati 40 hari mendatang.
Yang masa iya. Aku memang setengah mati bergetar malam tanggal 3, merasa aku akan mati paginya. Terus, kalau aku hitung-hitung dan percaya akan pepatah tadi, jadwalku mati ya tanggal 13 atau 14 bulan depannya.
Tapi sungguh, aku sama sekali tidak merasa akan mati dalam keadaan fisik dan akhirnya nyawaku kembali ke pangkuanNya. Tidak. Aku akan mati dengan cara yang lain yang aku belum begitu yakin apa itu caranya. Tapi aku punya teori mengenai caraku mati.

Satu, Aku, yang sama saja berengseknya dengan setan akan mati. Ini teori dengan ending yang bagus. Mengapa begitu? Karena semua sisi-sisi burukku akan menghilang dan aku akan berubah menjadi sebuah persona yang baru, persona yang bisa diharapkan. Tapi sebagai imbasnya, mungkin aku akan semakin sulit bertemu dengan orang-orang yang telah lama aku sayangi karena aku akan mengejar mimpi dan potensiku sejauh mungkin.

Dua, aku yang baiklah yang mati. Berubah menjadi aku “yang itu”. Yang kadang sudah sering muncul kalau kesadaran dan logikaku sedang koma. Aku yang mengerikan dan bisa mencelakai diriku sendiri apalagi orang lain. Dengan begitu aku mungkin akan lebih cepat pulang ke orang-orang yang telah lama kusayangi tapi sebagai imbasnya ya itu. Horor.
Ada satu lagi, kalau nomor satu adalah teori putih dan nomor duanya adalah teori hitam, aku merumuskan yang satu lagi ini adalah teori abu-abu. Aku akan hilang ingatanku, dimana kedua sisiku yang baik dan buruk tadi sama-sama mati. Aku akan benar-benar menjadi seseorang baru dan juga bisa pulang ke orang-orang yang kusayangi tadi. Tapi, aku tidak akan ingat sama sekali, sepatah memori pun tentang mereka ataupun diriku sendiri. Jujur saja, kematian yang inilah yang paling aku takutkan. Seumpamanya aku mati dengan teori hitam, mungkin bisa saja aku sembuh. Karena aku sempat melihat temanku mati dengan cara itu dan akhirnya dapat hidup kembali dengan cara normal walau sedikit butuh perjuangan dari semua orang yang sayang padanya.
Tapi kalau teori abu-abu ini abu-abu betul.

Coba kubayangkan seumpamanya aku benar-benar mati dengan cara itu. Aku pasti akan kehilangan mimpi, hidup yang sebenarnya, bahkan orang-orang yang kucintai. Mungkin saja aku bisa menjadi orang yang lebih baik, seperti yang diinginkan ibu dan yang lainnya, Tapi, kenal dan sayang pada mereka saja tidak. Mungkin aku bisa saja melupakan tanggung jawabku, tapi aku juga melupakan tujuanku dan tidak akan bisa lagi mengejarnya. Sangat menakutkan, lebih menakutkan dari sekedar mati fisik.

Aku semakin bimbang, jika benar aku akan mati dengan diantara tiga cara tadi, apakah benar aku siap? Tapi terus, alam bawah sadarku, perasaan, bahkan tubuhku terus berkata padaku, “Matilah engkau sebentar lagi”. Tentu saja aku belum ingin mati fisik dan menghadap kepadaNya. Aku justru memohon diberi panjang umurku untuk bisa belajar lebih bertakwa lagi kepadaNya dan bisa mengejar mimpi-mimpiku tadi. Tapi kalau aku mati…?

Maka itu aku terus-terusan berdoa kalau aku akan mati dengan cara pertama. Terus-terus berdoa kepadaNya, demi diriku dan orang-orang yang kusayangi. Pasti mereka akan senang padaku kalau aku bisa mati dengan cara pertama. Dan mohon dihindari dari cara kedua dan ketiga. Apalagi ketiga, sulit batinku membayangkannya.

Kuharap saja aku tidak akan sepenuhnya mati, tapi cukup berubah saja menjadi yang aku dan orang lain harapkan.
Engkau yang sangat aku cintai, ketahuilah. Bahwa sakit hatiku mencintaimu. Saki hatiku mengetahui betapa sangat sayang aku kepadamu sehingga hatiku ini kadang melompat jauh dan jatuh. Sadarilah bahwa ketika kau mematikan lampu jiwamu, aku sangat takut meghadapi kegelapan tersebut. Karena aku begitu mencintaimu, kawan. Sakit hatiku mencintaimu yang selembut bunga bakung putih,, ketika engkau terluka, terlukalah pula hatiku terhadapmu. Semua hal yang mengancammu akan mengancamku dan seandainya aku diberi permintaan oleh Yang Kuasa untukmu, aku ingin cintaku tetap melindungimu.

Engkau, engkau yang membelah jiwaku, ketahuilah bahwa aku sangat mencintaimu. Sakit hati ini ketika kau tidak berada disisiku, pergi jauh dengan kesusahanmu. Apa kau tahu, hatiku pun susah karenanya? Entah mengapa, aku diberkahi dengan perasaan ini kepadamu. Jika engkau pergi, menjauh, entah apa yang dapat kulakukan tanpamu, kawan. Dan jika aku punya satu permintaan yang dapat kuminta untukmu, aku ingin kau selalu cerah dan bahagia, dan aku tahu, ketika kau bersinar kau akan berlari memancarkan kebahagiaanmu.

Engkau begitu kucintai, kucintai sehingga hatiku sakit. Sakit berdarah kalau kau sampai mau menghancurkan hidupmu yang sudah kau bangun susah payah. Sakit. Aku tidak mau kau sakit seperti aku dulu, dan janganlah marah kepadaku. Aku mencintaimu. Mencintaimu sampai hatiku sangat sakit dan aku tidak mau kau membuatnya bertambah perih. Dan jika kau mengiris-iris kulitmu, teriris pulalah hatiku. Aku tahu, sudah cukup sakit hatiku merasakan sakit di hatimu. Jika tubuhmu akhirnya jatuh terpuruk hilang arah, akan lebih sakit lagi hatiku. Jika aku bisa meminta satu permintaan untukmu, aku ingin sekali meminta agar kau selalu mengingat bahwa aku mencintaimu.

Engkau, yang sangat aku cintai. Dengarkanlah. Aku mencintaimu, dan cinta ini sangatlah tidak berbentuk. Ketika aku mengingat bahwa kau juga mencintaiku, entah sebatas apakah itu cintamu, menjadi sakitlah hati ini. Dan ketika aku bersyukur kau mau membagi sedikit cintamu, semakin sakitlah hatiku. Merasa bersalah karena bisa-bisanya engkau memberikan kebahagiaan di hatiku. Aku ingin selalu bersyukur, bahwa dengan hanya diberikan sedikit cintamu ini, sudah baiklah hidupku sekarang. Dan aku tidak bisa meminta lebih. Ini semua lebih dari cukup dan aku tidak akan bisa menjadi cintamu yang sebenarnya. Dan aku ingin, membuat satu permintaan untukmu, dimana engkau menyadari aku mencintaimu dan berharap cintaku padamu pun memberikan kebahagiaan di hidupmu.

Engkau, engkau yang aku cintai. Yang sangat aku cintai. Yang hadir di hidupku dengan senyuman dan gurauan. Sakit hatiku, mencintaimu. Sakit hatiku kalau tahu, betapa ikhlas kau mau memberikan senyummu padaku. Ketika hidupku sedang susah, disitulah engkau tertawa. Dan tawamu memelukku erat dan membawaku terbang jauh. Sakit hatiku kadang, ketika aku begitu bersyukur mendapatkan cinta darimu. Dan permintaanku pada mu hanya satu, janganlah hilangkan senyum yang mencintaiku itu.

Sakit hatiku adalah mengapa, mengapa kadang aku bertanya, apakah cukup cintaku membalas cintaimu? Apakah engkau tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, tapi apakah kau sadar betapa aku sangat mencintaimu? Aku tidak pernah berhenti bersyukur, didalam setiap malamku, diberi cinta yang tulus olehmu. Tapi sakit kadang hatiku, mengetahui betapa tumpulnya diriku untuk dicintaimu. Aku terus berdoa, berdoa  akan engkau pun tahu dan bersyukur mengetahui aku mencintaimu.

Ah, doa yang tak henti-hentinya kuucapkan. Syukur yang tak henti-hentinya kututurkan. Dimana engaku datang sebagai hadiah hidup yang paling berharga. Dan disinilah aku, ingin menyampaikannya padamu. Aku mencintaimu.
Why...?

I thought by doing this I could runaway from my tiredness, my boredom, and break free from my restraining norm. It feels warm, and suddenly becomes warmer until it's hot enough to burn my own clothes, my own bed, and I guess, my own tears. I thought it was pleasuring, caressing, and secretly allows me to feel a slightest love I imagine I could never get.

But no.

My tears, they didn't dry. They suddenly burst, along with my guilt, my decaying innocence, and clearing up the ashes that had been burned because of my fake happiness. I realize that I would never be out of this mess that eating my flesh, my bones, and my finally my soul.

It's because I'm so lonely, so lonely that I feel my whole body begin to numb and crying without knowing what to do. So lonely that I have to admit that I'm deserted, I don't have someone I can label "significant". I'm so lonely that I deny it for being actually lonely and put my best gut to socialize with people that don't even care a single bit for my existence.

Inside my burning cocoon of bed and quilt, I finally break down. Crying for someone, I know, and loved me before I used to be lonely. I begin to imagine this blanket, smells like split milk and eucalyptus oil, and its burning hotness gradually turns to warm. I wonder if these hands that wrap me up on the blanket are from someone I know. Mother. I can her singing the song she used to sing before I sail to my journey of dreams. She loved me before I used to be lonely. She loved me.

I feel like I can hear some voices too. Voices that calls me in a name that they gave me when we were getting closer. As best friends. I know they're coming here, randomly running towards me like a flock of jungle birds that surprised a scream of a hunter's shotgun. Running towards me with smile like a warm beach sun. And their figures begin to blur, their voices begin to decrease, and finally gone with the mist. They used to love me. Before I'm lonely.

I wonder if I walked to far until I feel this desperately lonely. No. I just went for a walk. Only a few miles away. I know they are somewhere and still love me but somehow this loneliness eats away their love and burn all the yearning letters they sent to me. Then loneliness blows the ashes towards my heart, dying it all black, black without a spot. Then I start to see myself as a adult, I don't need my Mother's blanket anymore. I can handle myself with my commitment to work, my nagging bosses, my reckless and pricking acquaintances. I see best friends have occupied with their own jobs, problems, and life in general, that they won't have any second left for me anymore. And one of them even starting to deny our friendship, deny how much we cared for each other, deny how sweet it was by being just together, and ridiculously want someone new for a brand new best friend as well.

Then this is what I do. I run away. Run away by burning, looking for fast vessel to carry out my sadness. Yes, I drink that forbidden rum, I inhale that polluted smoke, I thrust a sword to my own heart hoping this thing will finally stop. I did feel happiness. I feel ecstasy! Euphoria! But after all of them gone, I started to cry. Like now. I feel useless and wasted. I just build a dead end into my own future and it would be too hard to fix anything right now. It's all dying. Rusting into mere dusts. And all left in me was just my tears, regret, and loneliness.

Why...?

Why loneliness even feels hurt in the first place!? Why does it hurting me? Why I prefer to be lonely? Why do I enjoy all this?

Why...?

Sun finally rises and I'm already numb. I'm sorry I can't live another day anymore. It killed me already. Loneliness finally wins and take what it wants from me...
Kenapa saya ingin bukti lagi? Bukti-bukri yang berserakan karena sepertinya ini tidak akan mampu memenangkan kasus saya. Terdakwa saya tidak akan bisa saya bela jika kau tidak memberikan saya bukti-bukti yang sayang inginkan! Bagaimana bisa!? Pihak sana akan menang. Kecemburuan akan menang dan memenjarakan terdakwa saya yang telah melanggar hukum dan norma cinta. Saya ingin bukti itu segara datang dan terarsip rapih, dikirim pada saya. Hari ini juga!

Kenapa kuis lagi!? Kuis terus! Apa Ibu guru tahu saya sudah semalaman belajar dan saya tetap diberi kuis perbaikan, remedial. Saya mengikuti apa yang Ibu guru ajarkan tetapi Ibu tetap memberi saya F dalam pelajaran Norma Cinta! Apa lagi yang masih kurang saya berikan, Bu Guru? Apa salah saya menganastesi anjing saya yang sakit-sakitan itu karena saya sudah tidak tega lagi melihat ia menderita? Saya melakukan itu karena saya mencintainya! Mengapa Ibu Guru masih bersikukuh kalau itu harus diberi nilai? Apa cinta itu bisa Bu Guru nilai!?

Saya tidak tahu lagi harus mencari apa ketika saya mencintai seseorang. Entah siapa orangnya. Saya bingung. Apakah saya yang terlalu banyak meminta? Apakah dia yang terlalu banyak meminta? Apakah kami sama-sama tidak bisa memberikan apa yang kami minta kepada satu sama lain? Sesungguhnya Tuhan hanya memberikan apa yang kita butuh. Bukan apa yang kita inginkan. Tapi sekarang saya bingung. Apakah yang saya butuhkan karena permintaan saya semuanya terdengar seperti keinginan.

Saya ingin mencintai siapapun dia karena saya cukup mencintai dia saja. Bukan karena "apa adanya", bukan karena "ganteng atau cantik orangnya", bukan karena "dia orang yang baik dan telah membantu saya". Saya ingin mencintainya karena saya ingin mencintai saja. Tapi entah mengapa sepertinya ada yang berbisik kepada saya untuk mengambil untung dari cinta yang saya tanam itu. Dicabut paksa sebelum ia tumbuh matang dan dijual ke pasar gelap supaya menghasilkan uang. Dari uang itu saya bisa kaya. Saya bisa kaya dari cinta dan berfoya-foya dengannya!

Saya bingung kenapa ini berasa begitu duniawi. Saya tidak suka. Saya benci jika pesawat saya ini tidak bisa terbang sebagaimana harusnya dan tetap meraba di tanah seperti tank baja. Saya ingin mencintai seseorang karena ikhlas tanpa balasan. Tetapi kenapa saya terus meminta lebih, meminta lebih, sampai tidak ada lagi yang cinta bisa tumbuhkan di bumi ini untuk diberikan kepada saya.
Singapura, 11 Mei 2010

Ko gue jadi ngga mood nerusin Project Mage. Terlalu idealisnya Manzo. Jauh dari realita. Gue jadi pupus. Cinta gue ga dibalas oleh idealis gue sendiri.

Sekarang gue ngga tau mau nulis apa karena bingung. Dari tadi pikiran gue maju mundur kaya baru latihan nyetir. Gue pingin nulis sesuatu, tetapi apa gue ngga tau. Mungkin udah kebanyakan ide di kepala gue yang angus dan ngantri keluar. Jadi begitu pintunya dibuka sedikit, semuanya langsung rusuh numpuk kaya orang ngantri sembako.

Gue bilang ke Nyokap, gue mau mulai cari kerja. Tapi gue ngga mau sekedar magang. Gue mo cari duit. Kenapa? Gue sadar gue kebanyakan hobi juga dan hobi gue butuh duit yang sayangnya ngga sedikit. Jadi berhubung gue cukup skillful dalam hobi gue, Nyokap nyaranin gue buat nulis. Satu-satunya hobi gue yang istilahnya tidak terlalu banyak duit yang harus gue keluarkan. Mungkin untuk percetakan. Tapi Nyokap dan sahabat-sahabatnya mau dukung. Gue merasa difasilitasi jadi ya kenapa ngga? Bokap pun bilang hal yang sama. Gue lebih baik jual tulisan gue. Nah sekarang gue dapet full dukungan, apa lagi yang harus gue tunggu?

Sayangnya... Ide gue terlalu banyak, itu tadi. Saking banyaknya dam gue sampai jebol. Lalu seketika gue teringat Belanda. Sayangnya ide gue mungkin lebih besar dari Belanda dan lebih butuh banyak dam supaya itu ngga hanyut dan hilang. Faktor yang membuat gue semakin bingung memanajemen ide gue adalah; Nyokap bilang "Coba kamu nulis cerita yang mulai dewasa. Kaya cerita hidup atau cerpen tentang perjuangan wanita karir dan orang yang sudah mulai kuliah". Sedangkan Bokap bilang, "Coba kamu bikin sesuatu yang epik kaya 'Lord of the Rings'. Kamu ngga cuma ngajarin kehidupan, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang ada di dunia ini. Jangan cuma cerita cinta yang kampungan kaya yang udah kebanyakan."

Terus gue bingung. Dua-duanya beda. Beda dunia. Satu epik, satu kaya melekat sama realita. Gue pingin nyoba nulis dua-duanya tapi gue tapi ga bisa sekaligus begitu dan idenya sekali lagi udah eksis dan saling timbun.

Mungkin Project Mage yang lagi gue telusuri adalah yang Bokap gue maksud karena itu saking epiknya gue ngga tau ingridients apa yang udah gue taro ke itu cerita. Sedangkan... Ada sih beberrapa ide cerita yang sesuai dengan yang Nyokap sarankan. Ada wanita karir yang tiba-tiba dititipin anak kembar sama sahabatnya yang meninggal, ada kisah tentang empat bersaudara yang sama-sama struggle menemukan kebahagiaan hidup dan keharmonisan keluarga. Itu klise sih, cuma menurut gue entah mengapa lebih gampang melekat ke realita. Project Mage hampir sama kayak Kitab. Butuh waktu lama buat bener-bener menerapkannya ke realita.

Dan lagi terlalu idealis. Terlalu imajinasi gue yang berlebihan dan lompat-lompatan. Menyebar, meledak, dan berkilauan kayak kembang api. Yang kalau gue muluk-mulukin mungkin bisa bikin kepala gue meledak sendiri. Tapi mungkin karena gue sendiri lagi patah hati. Hahaha, bahasanya jelek banget. Gue ngga tahu juga gue patah hati kenapa karena alasan gue belum cukup meyakinkan juri sampai Sang hakim memutuskan gue untuk patah hati.

Patah hati emang kadang bikin ngga mood. Lu ngambang dan ngga tau mo ngapain. Dan seperti yang gue bilang tadi, ini ngga bisa dibilang sepenuhnya patah hati juga karena gue masih tetap merasa terinspirasi, bisa menulis, dan menemukan sesuatu yang lain dalam hidup. Oh, dan ingin terus mencarinya. Mungkin bukan patah hati, tetapi semacam transisi. Yang jelas ini membuat gue berpikiran kalau Project Mage hanya akan mengekung gue di obesesi gue sendiri.

Dan ketika gue pikir-pikir lagi, Project Mage terlalu "pikiran lelaki". Apa mungkin sekarang saatnya gue jadi sedikit lebih wanita?

Tapi bukannya yang kayak begitu itu ngga ada batas kelaminnya? Nah, sekarang gue jadi bingung.

Tapi iya sih. Gue sedikit merasa sisi feminin gue lagi memeluk gue erat-erat seperti Ibu ke bayinya. Gue sedang ingin dianggap "wanita", mungkin karena gue terlalu sering jadi lelaki. Gue yakin sepertinya dua sahabat gue; Sarah dan Depe setuju dengan hipotesa gue ini. Gue lagi bosan dengan sikap maskulin gue yang egois dan intelek, gue lagi ingin menjadi seorang yang feminin. Sensitif dan intuitif. Mungkin karena itu gue sedikit berbelot dari Project Mage gue.

Tapi gue ngga tau apa yang bisa mengeluarkan sisi feminin gue ini. Gue ngga kepingin menulis sesuatu yang terlalu klise dan jelas. Gue ingin tetap membuat orang lain mencari dan akhirnya menghargai.

Banyak sebenarnya. Cuma saking acaknya gue ngga tau musti nangkep yang mana dan gimana cara merelasikannya.

Tapi yang jelas malam kemarin gue menemukan sesuatu.

Waktu itu gue inget Pak Ucok, Guru Bahasa dan Sastra gue pernah berkata kepada salah satu teman sekelas gue yang lagi pupus; "Lebih baik dicintai daripada mencintai".

Terus gue pikirin baik-baik kalimat tersebut. Berarti sebagai individu, kita lebih baik dicintai saja karena mencintai itu biasanya bikin sakit hati, muluk-muluk, dan kebanyakan akhirnya pupus. Berarti kita nunggu aja dicintai orang dan menerima cintanya. Tapi kalau gitu, misalnya kita beralih ke posisi orang yang kita cintai, dia berarti kan dicintai?

Kayak misalnya; "Manzo mencintai Febby, berarti Febby dicintai oleh Manzo."

Nah, bukankah prinsip itu seharusnya juga berlaku sama orang yang dicintai kita itu? Kan lebih baik dicintai dari pada mencintai. Jadi ngapain lu dong cape-cape mencintai orang lain kalau lu dicintai sama gue?

Dan gue menemukan sesuatu. Dicintai adalah pasrah. Dicintai tapi milih mencintai adalah lupa bersyukur. Dan gue berkonklusi kalau "Lebih baik dicintai daripada mencintai" adalah sebuah kedok dari "pasrah dan jangan lupa bersyukur". TAWAKAL. Apapun yang kita lakukan, sebaik apa usaha yang kita lakukan, pada akhirnya diserahkan kepada Allah SWT dan sebaiknya kita syukuri apapun yang diputuskaNya. Karena itu pasti berkah, apapun itu untuk menjadikan kita individu yang lebih baik.

Menurut gue itu ajaib. Dari kalimat mudah seperti itu, tercipta sebuah paradoks yang mengembalikan kita kepadaNya. Itu menurut gue hebat.

Dan gue rasa sekarang gue baru saja menulis sesuatu yang bisa membuat kedua orang tua gue bangga. Padahal bukan epik, padahal bukan roman. Mungkin dibaca mungkin juga tidak. Tapi gue ngga berhenti bersyukur karena setiap apa yang gue pikirkan selalu diberi pencerahan dan gue harap manusia-manusia lain pun tidak akan pernah berhenti berpikir dan mencari pencerahan.
 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.