Wednesday, August 18, 2010

Normal itu hanya metakonsep.

Sampai sekarang saya belum tahu definisi "normal". Saya mencarinya kemana-mana. Saya cari di lapangan rumput kosong di depan rumah. Saya cari di sekolah. Saya cari di toilet dan di halte bus. Bakan saya mencari "normal" sampai ke luar negri. Saya tidak juga menemukan arti "normal". Mungkin normal itu hanya ilusi.

Kamus berkata pada saya arti normal adalah "Berada pada standar atau ekspektasi yang biasanya". Lalu saya membalas Kamus, "Bagaimana jika ekspektasi dan standar orang berbeda-beda? Apakah akan ada normal yang sesungguhnya?"

Kamus diam saja dan tidak bisa menjawab lagi. Dari dengan kesunyiannya, saya sudah punya jawaban.

Tapi manusia tetap saja menginginkan sesuatu yang normal. Tapi yang normal itu seperti apa tidak ada yang tahu persis. Tapi satu hal mengapa manusia kerap memaksakan diri untuk mendapatan normal. Normal adalah ekspektasi, standar. Dan dengan serakahnya, mereka ingin standar-standar itu terwujud. Sayangnya standar mereka berbeda-beda dan berbenturan satu sama lain. Sama seperti ego.

Lagi-lagi lahir sebuah konsep dari satu ego.

Dan kadang standar yang sama dijadikan satu ego yang sangat besar dan terbentuklah ilusi bernama normal. Jika ada satu hal yang berbeda dengan standar besar tersebut maka disebut abnormal.

Saya masih ingat waktu itu saya berada di jok belakang, sehabis dari pesta jamuan oleh atasan Ayah. Ayah menyetir, Ibu disampingnya. Lalu Ayah bicara pada saya;
"Kamu itu berbakat sekali, nak. Kami bahkan berpikir untuk mengkolaborasikanmu dengan anak-anak teman-teman Ayah itu dan buat usaha kecil. Alangkah baiknya untuk bakat kalian. Tapi satu hal, mereka berbakat tapi tidak pernah bicara sendiri. Mereka mampu berkhayal tapi tidak bicara pada diri mereka sendiri dengan khayalan mereka. Mengapa kamu tidak bisa?"

Singkatnya, Ayah berkata "Kenapa kamu tidak bisa normal?" pada saya.

Di sekolah saya juga dijauhi karena katanya saya tidak normal. Masih suka kartun, kayaknya. Saya suka budaya lain dan dibilang tidak normal juga. Atau mungkin alasan mereka saja karena melihat badan saya yang harus disangga penyangga tulang belakang. Secara fisik itu sudah tidak normal.

Jadi, apakah berhak mereka memutuskan hal yang "normal" untuk saya? Seabnormal saya, saya juga punya standar dan ekspektasi. Sama seperti mereka. Maka itu saya juga punya batas untuk hal yang dapat saya bilang normal.

Lagi pula saya tidak percaya akan konsep normalitas. Absolut normal itu tidak ada. Saya bahkan bisa bilang kalau normal lah jika seorang pasien rumah sakit jiwa berkelakuan abnormal. Apa Anda merasakan anomali kalimat tersbut? Jadi, apa itu normal?

Sama seperti fetsih dan topik tabu seperti seks. Atau trauma psikologi atas kejadian mengerikan. Atau mungkin pikiran jelimet seorang pembunuh dan kriminal lainnya. Kata mereka yang mengalaminya, itu normal. Kata yang lain, itu abnormal. 

Dan mereka memaksa untuk membuktikan apa itu "normal".

Pada akhirnya kita semua tahu dalam diri masing-masing bahwa benarlah normal itu hanya ilusi. Dia tidak pernah ada, sampai kita menciptakannya. Karena kita tahu bahwa dunia ini semuanya abnormal dan kita punya ekspektasi untuk hal yang sebaliknya.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.