Friday, August 6, 2010

Kaya pelem aja pake teaser segala. Cerita yang saya buat untuk cinta saya pada mainan dan rumah saya di Bandung.


Mudah-mudahan benar ini kuncinya karena aku yang sudah habis termakan penasaran ini ingin pintunya terbuka.

Pokoknya,

"KREK."

...Harus,

"KLEK-KLEK."

...Kebuka!

"Krieeeeet...."

Ah! Benar terbuka! Dari celah aku bisa mengintip lantai kayu yang sama dengan lantai-lantai kamar lainnya. Catnya seperti putih, krem-krem... pink? Entahlah. Tapi begitu aku buka lebih lebar dari semilir udara ruangan itu aku dapat mencium semacam bau aroma terapi... Baunya semerbak, halus, creamy, seperti sirup...

"Mawar?"

Akhirnya kubuka lebar pintu itu dan dihadapanku tersusun rapi sebuah tampak kamar anak perempuan.

"Aaaah..." Aku ngga bisa bohong untuk berdecak kagum dengan suaraku. Aku melangkah ke dalam kamar, "Cewek banget..." pikirku keluar. Tirainya putih susu berenda-renda, tembok putihnya dikemas wallpaper cantik ke pink-pink-an bergambar peri. Mejanya meja kayu antik berwarna putih. Tempat tidurnya juga putih berenda-renda. Semuanya renda. Tapi yang paling jelas dari isi kamar itu adalah boneka dan mainan.

Ada satu lemari sendiri berisikan mainan dari mulai boneka porselen yang serem wajahnya, barbie, bonekanya Mr. Bean, figur-figur imut, ada juga figur-figur dari kartun Jepang. Hebat sekali yang punya kamar ini. Ini semua sudah seperti toko mainan! Ah, rasanya aku ingin buka lemari antik dengan pintu kaca ini, tetapi hatiku sendiri enggan membukannya karena entah mengapa aku merasa mainan-mainan ini sudah seperti pajangan museum. Di atas meja belajar ada lagi mainan-mainan yang berjejer bersama beberapa pajangan seperti cawan dan tas rotan kecil.

Di tempat tidur banyak sekali plush toy -- boneka-boneka yang empuk dan bisa di peluk. Teddy bear banyak sekali dan aku yakin ini teddy bear yang bisa dibilang cukup mahal. Ada plush toy lain seperti kucing, anjing, boneka karakter lucu, polar bear, panda, ah, aku mungkin bisa menyebutkan satu kebun binatang melihat semua yang berjejer di tempat tidur putih itu.

Di ujung kamar itu juga ada rumah boneka yang cukup besar. Berjejer di dalamnya barbie dengan dress renda-renda digabung dengan koleksi Sylvanian Families. Boleh juga kombinasinya. Perabotannya juga lengkap. Aku meraih dan melihat satu-satu yang ada di sekeliling rumah boneka itu.

Kamar macam apa ini? Milik siapa? Ini mimpi bagi anak perempuan manapun. Mungkin usiaku sudah tidak lagi, tapi jujur, sedari kecil aku ingin sekali, sekali saja memiliki kamar cantik seperti ini. Belum lagi kamar ini wangi. Tapi kenapa dikunci? Kenapa kamar yang jelas-jelas kelihatan tiap hari dibersihkan dibilang gudang!?

Lalu mataku menangkap sesuatu. Diatas meja rias ada sebuah figura keramik bertolehkan ukiran mawar. Di dalamnya ada sebuah foto. Foto seorang gadis. Gadis yang sama dengan foto yang ada dibawah.

Kamar miliknya kah?

Aku menghampiri meja rias dan duduk di depannya. Kuambil figura itu dan memandangi fotonya. Benar. Itu gadis yang fotonya juga ada di bawah. Gadis berambut ikal yang sama. Siapa gadis ini sebenarnya? Apa dia pemilik rumah ini sebelum keluarga Pohan. Tapi masa iya? Kalau iya masa fotonya masih ada di rumah ini. Apa mungkin masih keluarga dengan si pemilik? Ah, mungkin itu. Tapi siapa? Ketika Papa Mama membawaku ke rumah keluarga Pohan untuk menandatangi surat sewa rumah ini tidak ada foto gadis ini di rumah itu. Atau mungkin saja aku tidak memperhatikan, tapi harusnya kelihatan. Lagipula anak keluarga itu cuma satu dan laki-laki. Sudah menikah pula dan istrinya ngga kaya begini. Mungkin anak mereka... Tapi bukannya anaknya masih bayi? Apa mereka punya anak lagi?

Kutaruh lagi figura itu di atas meja setelah puas mengingat-ingat wajah gadis di foto itu. Lalu mataku beralih ke cermin di depan meja rias dengan otomatis. Dan aku bisa melihat ke lemari mainan di belakangku.

Mata mereka melihat ke arahku!

"HAH!"

Aku segera menoleh. Tentu saja! Aku kaget! Ilusi? Ilusi. Tidak mungkin mainan-mainan itu memelototiku seperti yang kulihat sesaat di cermin tadi. Mungkin karena aku termakan penasaranku, tentu saja. Tidak mungkin, Rashel, ngga mungkin.

Sepertinya aku harus segera keluar dan mengunci lagi pintu ini sebelum Pak Asep pulang membawa jalan-jalan Sergei. Aku buru-buru berdiri dan berniat beranjak keluar.

"Neng Rashela!?"

"HAH!"

Aku nyaris melompat. Pak Asep di depan pintu. Astaga! Aku nyaris kaget. Aduh ketahuan! Mudah-mudahan Pak Asep tidak bermasalah aku masuk kesini...

"Eh, Pak Asep. Udah pulang toh?" tanyaku basa-basi dengan senyum yang masih agak canggung.

Tapi... Kuperhatikan wajah Pak Asep. Itu wajah bermasalah. Ia tidak suka aku kesini. Tidak mungkin wajah seperti itu bohong.

"Neng, maaf ya, Neng. Tapi kan saya sudah bilang jangan dekat-dekat kamar ini."

Nadanya serius, aku jadi tak enak. Tapi aku memaksakan diriku untuk ngeles; "A- Aku pikir ini beneran gudang, Pak..."

"KELUAR."

Aku tersentak. Itu jelas sekali. Itu seperti bentakan. Aku takut. Itu bukan amarah seperti ketika Ibu menangkapku basah tidak belajar ujian besok atau mengerjakan PR. Itu seperti... Peringatan. Peringatan akan sesuatu yang tegas... Bukan. Bahaya.

Kakiku mulai bergetar melihat wajah ramah Pak Asep yang biasanya jadi begitu tajam.

"Punten, Neng. Tapi saya minta Neng keluar sekarang dan jangan sekali-kali lagi dekati kamar ini." tutur Pak Asep dengan nada yang mulai menurun.

Aku tidak berani membantah. Aku melangkah keluar. Dari tenggorokanku berhasil keluar sebuah "Maaf" kecil yang samar-samar tapi sepertinya Pak Asep mendengarnya. Aku segera berlari ke bawah, ke ruang keluarga. Aku tidak mau melihat atau mendengar hal semacam itu tadi, entah mengapa. Aku mau mencoba melupakannya saja.

Lalu ketika aku jatuhkan badanku di sofa depan TV, aku mendengar pintu kamar itu ditutup keras dan dikunci rapat-rapat oleh Pak Asep.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.