Tuesday, May 11, 2010

Saya menemukannya diujung kafe itu. Sendirian bersama tumpukan buku, secangkir kopi, dan sebuah buku tulis. Pena ditangannya yang besar dan jemarinya yang panjang dan kuat. Saya memprhatikannya dari seberang meja.

Bau kopi dan roti semilir-semilir di udara. Cocok sekali dengan warna kertas dan penanya. Pelayan kafe itu datang bersama sebuah nampan dan sebuah mug besar. Saya rasa itu pesanannya, harum vanila. Di taruhnya mug itu bersama notanya. Ia mengangguk sopan dan berterima kasih, tanpa basa-basi ia kembali ke pena dan kertasnya.

Buku-buku yang berada disebelahnya bukan tanpa alasan, tetapi sengaja disediakan. Buku yang mungkin penting bagi tesisnya. Seperti orang lain yang mungkin penting mengisi hidup kita. Entah apa yang ditulisnya tetapi sepertinya itu mengalir begitu saja bersama tegukan kopi vanila yang membasuh kerongkongannya. Saya ingin tahu. Saya ingin tahu apa yang ada di jalan pikirannya.

Sedikit-sedikit hati saya tergerak, mengintip dari balik meja bersama mata saya yang saya pasang di sekeliling tembok. Menelusuri kerutan wajahnya yang penuh tanya, "Mengapa saya bahkan hadir disini, sendiri? Apa saya punya tujuan?"

Dengan sedikit keberanian, saya sampaikan balasan saya kepadanya, "Apa Anda sendirian?"

"Iya."

"Saya juga."

Ia tertawa mendengar pertanyaan saya yang begitu gombal dan penuh klise untuk disamparkan oleh saya yang seutuhnya orang asing baginya. Saya tidak tahu harus membalas apa. Saya malu. Tawanya begitu berisi. Wajahnya jadi merah. Saya jadi tambah malu membayangkannya.

"Sepantasnya, sayalah yang berkata begitu kepada Nona." katanya lagi, sopan sekali.

"Yah, jaman sudah berubah ya..."

Lalu ia menawarkan saya sesuatu untuk diminum. Saya menggeleng. Saya bukan haus secara literal, tetapi inspirasi. Saya rasa saya menemukannya di dalam dirinya maka itulah saya datang menghampiri.

"Saya lebih suka sendirian sebenarnya." kata saya lagi tanpa basa-basi. Ia terkejut sedikit, tapi masih tersenyum.

"Lantas, mengapa Anda menghampiri saya?"

"Anda berbeda. Anda seperti sama dengan saya."

"Mengapa Anda merasa begitu?" tanyanya lagi. Kali ini ia menutup ujung penanya, menaruhnya kembali di meja dan matanya ditujukan sepenuhnya untuk saya.

"Dunia ini aneh. Entah mengapa, sejauh apapun saya berlari, saya akan menemukan manusia lain diujung jalan. Lalu saya akan berbicara padanya dan ia akan bebicara pada saya. Kami bertukar informasi. Basa-basi. Itu tidak penting tetapi seperti harus. Disatu saat yang lainnya, saya akan menemukan lagi seorang manusia. Manusia yang benar-benar mengikat saya. Secara lahir-batin dan egonya menjambak-jambak saya. Saya bingung mengapa ia harus sampai melakukan itu pada saya. Menguras saya seperti bukan manusia dari dalam. Saya melihat Anda sendirian di tempat yang penuh manusia ini. Mengisolasikan diri dengan buku dan tulisan Anda. Saya tahu, sikap Anda ini. Sama seperti saya. Berlari. Berlari dari mereka yang memaksakan ego mereka yang sama sekali tidak beretika."

Kalimat saya seperti angin semilir sejuk, keluar begitu saja. Ia tersenyum sambil menikmatinya lalu mengangguk menanggapi saya, "Anda yakin sekali sepertinya. Saya bahkan duduk disini dan tidak berlari."

"Tidak secara harfiah. Anda berlari dengan tulisan Anda, bukan dengan kaki." jawab saya tegas.

Senyumnya semakin lebar. Begitu tenang dan menghanyutkan. Ah, perasaan apa ini? Mengapa saya jadi semakin ingin tahu orang ini dan membuatnya bicara pada saya? Bicara tentang apa yang dipikirkannya terhadap saya dan kalimat-kalimat saya yang memalukan. Mengapa saya jadi semakin penasaran seperti melihat sebuah episode seri yang digantung.

"Saya tidak berlari, Nona." jawabnya, "Saya tidak bisa berlari dari mereka. Mereka adalah bagian dari keseluruhan jagat raya ini, saya seperti saya dan Nona. Jika saya berlari dari mereka, adakah dunia ini mejadi seperti apa yang ada sekarang? Ego mereka penting. Ego merekalah yang membuat dunia ini bergerak. Itu kodrat yang diberikan Tuhan kepada kita, manusia. Baik atau buruk, samua ada maksudnya."

"Jadi... Jika Anda tidak berlari, apakah yang Anda lakukan sekarang?" tanya saya kembali.

"Saya mencari. Saya mencari posisi dimana saya berada. Posisi, peran, dan kehadiran saya di dunia ini atas apa yang Tuhan berikan. Karena kita semua tahu, pada akhirnya kita akan kembali kepadanya dan diminta pertanggung jawaban. Maka itu lah saya mencari mengapa saya disini dan apakah yang saya bisa lakukan agar saya bisa membantu Tuhan menggerakan jagat raya ini menjadi sesuatu yang lebih baik."

"Tuhan? Jadi? Akankah mungkin Tuhan yang terus mempertemukan saya dengan manusia lain?"

"Tentu saja. Kita ini seperti benang yang diujungnya ada pengait. Kita diciptakan untuk saling berkaitan dan ketika benang-benang itu saling terkait makan akan tertulis sebuah sejarah yang merupakan bagian dari seluruh jagat raya ini. Tanpa itu, sejarah tidak bisa ditulis, Nona. Tuhan menciptakan kita sebagai penanya. Alam raya ini adalah bukunya. Tuhan menulis ceritanya dengan kita. Mungkin kita terdengar sebatas boneka Tuhan saja, tetapi tidak. Kita jauh lebih hebat dari itu. Kita adalah tinta-tinta yang mengalir menciptakan sebuah karya seni yang tidak kunjung habis. Karya seni yang menyerupai keagunganNya."

Saya hilang dalam kata-katanya. Ia mengakhirnya dengan sebuah senyuman, lagi. Sebuah senyuman yang mungkin juga adalah karya seniNya. Ah, apa mungkin pertemuan saya dengan Pria ini adalah bagian dari roman yang yang ditulis Tuhan? Tentu saja. Saya butuh inspirasi untuk terus hidup dan sepertinya benar bahwa saya harus menemukannya dari Pria ini. Tuhan pasti sedang membimbing saya. Tuhan pasti sedang memberikan saya sebuah hidayah. Karena hati saya sekarang berteriak, "Carilah! Cari dan kejarlah!".

"Ah, Tuhan. Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." ucap saya, "Segala puji bagiNya, Dialah pencipta Alam Semesta. Benar kata Anda. Terkadang saya berlari dan pergi kabur. Saya lupa soal 'pengait benang' itu."
"Maka itu carilah. Janganlah Anda pergi dari cerita yang Maha menakjubkan ini. Cari dan kejarlah peran Anda. Pasti akan Anda temukan."

Ia menyerukan suara hati saya.

"Apakah itu yang Anda tulis?" tanya saya.

"Iya." jawabnya lagi, "Saya menulis ini bukan sia-sia. Saya menulis ini dengan tujuan agar pikiran manusia lain terbuka seperti Nona. Biaarkanlah tulisan ini menggantikan saya nanti jika ada orang lain yang tersesat seperti Nona. Karena saya tahu, saya nanti pasti akan kembali bersamaNya."

"Ah, perhatian benar sekali Anda. Anda berpikir seperti Ayah saya, dan begitu perhatian seperti Ibu saya. Andai saja Anda..."

Andai saja apa? Mengapa saya berhenti berkata? Apa ini yang tidak sanggup saya katakan ketika saya melihat ia begitu ikhlas memberikan perhatiannya pada saya. Padahal ini baru sekalinya saya bertemu dan berbicara padanya. Kami sama-sama asing. Di tempat yang banyak sekali orang asing datang menciptakan keramaian. Tapi entah mengapa rasanya ia tidak asing bagi saya. Ia seperti selalu ada disebelah saya menjadi teman lama.

Sebuah dambaan saya yang lama sekali saya impikan. Ia pernah hadir, pernah hadir dalam imajinasi saya.

"Andai saja saya apa?"

"Andai saja Anda tidak hanya ada di dalam khayalan saya..."

"Saya benar-benar ada Nona. Jagat raya ini luas. Mereka belapis-lapis. Saya bisa bertemu Nona dengan cara apapun. Mungkin ini caranya saya bertemu dengan Nona. Di tempat ini. Di waktu ini. Dengan keadaan seperti ini."

Lalu dan ia pun meneruskan, "Saya terus hidup di dalam Nona. Benang saya dan benang Nona sudah terkait dan sebuah sejarah sudah tertuliskan. Saya tidak akan bisa melepas kaitan itu. Tidak pula Nona. Demikian pun, Nona akan terus hidup di dalam saya."

Dan hati saya membludak ketika mata birunya menerjang ke seluruh pelosok lapisan dimensi saya. Saya tidak tahu harus berkata apa. Saya jatuh cinta kepadanya. Jatuh cinta seutuh-utuhnya.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.