Tuesday, May 11, 2010

Hahaha~ Hari ini posnya banyak karena saya sedang cukup terinspirasi.

Kebetulan nemu yang lama-lama jadi kenapa ngga di pos sekalian aja. Maaf kalau rasa klise karena kebanyakan sketsa-sketsa seperti itu yang saya tulis. Tapi kayanya lain kali bakal lebih fokus kearah yang agak "nyerpen" supaya ada narasi dan unsur fiksinya untuk mengimbangi sketsa-sketsa poetik.

Pokoknya apapun yang Anda temukan disini semoga bisa memberi inspirasi dan happy browsing.
Katanya manusia itu diberi tanda sama Tuhan kalau dia bakal mati 40 hari mendatang.
Yang masa iya. Aku memang setengah mati bergetar malam tanggal 3, merasa aku akan mati paginya. Terus, kalau aku hitung-hitung dan percaya akan pepatah tadi, jadwalku mati ya tanggal 13 atau 14 bulan depannya.
Tapi sungguh, aku sama sekali tidak merasa akan mati dalam keadaan fisik dan akhirnya nyawaku kembali ke pangkuanNya. Tidak. Aku akan mati dengan cara yang lain yang aku belum begitu yakin apa itu caranya. Tapi aku punya teori mengenai caraku mati.

Satu, Aku, yang sama saja berengseknya dengan setan akan mati. Ini teori dengan ending yang bagus. Mengapa begitu? Karena semua sisi-sisi burukku akan menghilang dan aku akan berubah menjadi sebuah persona yang baru, persona yang bisa diharapkan. Tapi sebagai imbasnya, mungkin aku akan semakin sulit bertemu dengan orang-orang yang telah lama aku sayangi karena aku akan mengejar mimpi dan potensiku sejauh mungkin.

Dua, aku yang baiklah yang mati. Berubah menjadi aku “yang itu”. Yang kadang sudah sering muncul kalau kesadaran dan logikaku sedang koma. Aku yang mengerikan dan bisa mencelakai diriku sendiri apalagi orang lain. Dengan begitu aku mungkin akan lebih cepat pulang ke orang-orang yang telah lama kusayangi tapi sebagai imbasnya ya itu. Horor.
Ada satu lagi, kalau nomor satu adalah teori putih dan nomor duanya adalah teori hitam, aku merumuskan yang satu lagi ini adalah teori abu-abu. Aku akan hilang ingatanku, dimana kedua sisiku yang baik dan buruk tadi sama-sama mati. Aku akan benar-benar menjadi seseorang baru dan juga bisa pulang ke orang-orang yang kusayangi tadi. Tapi, aku tidak akan ingat sama sekali, sepatah memori pun tentang mereka ataupun diriku sendiri. Jujur saja, kematian yang inilah yang paling aku takutkan. Seumpamanya aku mati dengan teori hitam, mungkin bisa saja aku sembuh. Karena aku sempat melihat temanku mati dengan cara itu dan akhirnya dapat hidup kembali dengan cara normal walau sedikit butuh perjuangan dari semua orang yang sayang padanya.
Tapi kalau teori abu-abu ini abu-abu betul.

Coba kubayangkan seumpamanya aku benar-benar mati dengan cara itu. Aku pasti akan kehilangan mimpi, hidup yang sebenarnya, bahkan orang-orang yang kucintai. Mungkin saja aku bisa menjadi orang yang lebih baik, seperti yang diinginkan ibu dan yang lainnya, Tapi, kenal dan sayang pada mereka saja tidak. Mungkin aku bisa saja melupakan tanggung jawabku, tapi aku juga melupakan tujuanku dan tidak akan bisa lagi mengejarnya. Sangat menakutkan, lebih menakutkan dari sekedar mati fisik.

Aku semakin bimbang, jika benar aku akan mati dengan diantara tiga cara tadi, apakah benar aku siap? Tapi terus, alam bawah sadarku, perasaan, bahkan tubuhku terus berkata padaku, “Matilah engkau sebentar lagi”. Tentu saja aku belum ingin mati fisik dan menghadap kepadaNya. Aku justru memohon diberi panjang umurku untuk bisa belajar lebih bertakwa lagi kepadaNya dan bisa mengejar mimpi-mimpiku tadi. Tapi kalau aku mati…?

Maka itu aku terus-terusan berdoa kalau aku akan mati dengan cara pertama. Terus-terus berdoa kepadaNya, demi diriku dan orang-orang yang kusayangi. Pasti mereka akan senang padaku kalau aku bisa mati dengan cara pertama. Dan mohon dihindari dari cara kedua dan ketiga. Apalagi ketiga, sulit batinku membayangkannya.

Kuharap saja aku tidak akan sepenuhnya mati, tapi cukup berubah saja menjadi yang aku dan orang lain harapkan.
Engkau yang sangat aku cintai, ketahuilah. Bahwa sakit hatiku mencintaimu. Saki hatiku mengetahui betapa sangat sayang aku kepadamu sehingga hatiku ini kadang melompat jauh dan jatuh. Sadarilah bahwa ketika kau mematikan lampu jiwamu, aku sangat takut meghadapi kegelapan tersebut. Karena aku begitu mencintaimu, kawan. Sakit hatiku mencintaimu yang selembut bunga bakung putih,, ketika engkau terluka, terlukalah pula hatiku terhadapmu. Semua hal yang mengancammu akan mengancamku dan seandainya aku diberi permintaan oleh Yang Kuasa untukmu, aku ingin cintaku tetap melindungimu.

Engkau, engkau yang membelah jiwaku, ketahuilah bahwa aku sangat mencintaimu. Sakit hati ini ketika kau tidak berada disisiku, pergi jauh dengan kesusahanmu. Apa kau tahu, hatiku pun susah karenanya? Entah mengapa, aku diberkahi dengan perasaan ini kepadamu. Jika engkau pergi, menjauh, entah apa yang dapat kulakukan tanpamu, kawan. Dan jika aku punya satu permintaan yang dapat kuminta untukmu, aku ingin kau selalu cerah dan bahagia, dan aku tahu, ketika kau bersinar kau akan berlari memancarkan kebahagiaanmu.

Engkau begitu kucintai, kucintai sehingga hatiku sakit. Sakit berdarah kalau kau sampai mau menghancurkan hidupmu yang sudah kau bangun susah payah. Sakit. Aku tidak mau kau sakit seperti aku dulu, dan janganlah marah kepadaku. Aku mencintaimu. Mencintaimu sampai hatiku sangat sakit dan aku tidak mau kau membuatnya bertambah perih. Dan jika kau mengiris-iris kulitmu, teriris pulalah hatiku. Aku tahu, sudah cukup sakit hatiku merasakan sakit di hatimu. Jika tubuhmu akhirnya jatuh terpuruk hilang arah, akan lebih sakit lagi hatiku. Jika aku bisa meminta satu permintaan untukmu, aku ingin sekali meminta agar kau selalu mengingat bahwa aku mencintaimu.

Engkau, yang sangat aku cintai. Dengarkanlah. Aku mencintaimu, dan cinta ini sangatlah tidak berbentuk. Ketika aku mengingat bahwa kau juga mencintaiku, entah sebatas apakah itu cintamu, menjadi sakitlah hati ini. Dan ketika aku bersyukur kau mau membagi sedikit cintamu, semakin sakitlah hatiku. Merasa bersalah karena bisa-bisanya engkau memberikan kebahagiaan di hatiku. Aku ingin selalu bersyukur, bahwa dengan hanya diberikan sedikit cintamu ini, sudah baiklah hidupku sekarang. Dan aku tidak bisa meminta lebih. Ini semua lebih dari cukup dan aku tidak akan bisa menjadi cintamu yang sebenarnya. Dan aku ingin, membuat satu permintaan untukmu, dimana engkau menyadari aku mencintaimu dan berharap cintaku padamu pun memberikan kebahagiaan di hidupmu.

Engkau, engkau yang aku cintai. Yang sangat aku cintai. Yang hadir di hidupku dengan senyuman dan gurauan. Sakit hatiku, mencintaimu. Sakit hatiku kalau tahu, betapa ikhlas kau mau memberikan senyummu padaku. Ketika hidupku sedang susah, disitulah engkau tertawa. Dan tawamu memelukku erat dan membawaku terbang jauh. Sakit hatiku kadang, ketika aku begitu bersyukur mendapatkan cinta darimu. Dan permintaanku pada mu hanya satu, janganlah hilangkan senyum yang mencintaiku itu.

Sakit hatiku adalah mengapa, mengapa kadang aku bertanya, apakah cukup cintaku membalas cintaimu? Apakah engkau tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, tapi apakah kau sadar betapa aku sangat mencintaimu? Aku tidak pernah berhenti bersyukur, didalam setiap malamku, diberi cinta yang tulus olehmu. Tapi sakit kadang hatiku, mengetahui betapa tumpulnya diriku untuk dicintaimu. Aku terus berdoa, berdoa  akan engkau pun tahu dan bersyukur mengetahui aku mencintaimu.

Ah, doa yang tak henti-hentinya kuucapkan. Syukur yang tak henti-hentinya kututurkan. Dimana engaku datang sebagai hadiah hidup yang paling berharga. Dan disinilah aku, ingin menyampaikannya padamu. Aku mencintaimu.
Why...?

I thought by doing this I could runaway from my tiredness, my boredom, and break free from my restraining norm. It feels warm, and suddenly becomes warmer until it's hot enough to burn my own clothes, my own bed, and I guess, my own tears. I thought it was pleasuring, caressing, and secretly allows me to feel a slightest love I imagine I could never get.

But no.

My tears, they didn't dry. They suddenly burst, along with my guilt, my decaying innocence, and clearing up the ashes that had been burned because of my fake happiness. I realize that I would never be out of this mess that eating my flesh, my bones, and my finally my soul.

It's because I'm so lonely, so lonely that I feel my whole body begin to numb and crying without knowing what to do. So lonely that I have to admit that I'm deserted, I don't have someone I can label "significant". I'm so lonely that I deny it for being actually lonely and put my best gut to socialize with people that don't even care a single bit for my existence.

Inside my burning cocoon of bed and quilt, I finally break down. Crying for someone, I know, and loved me before I used to be lonely. I begin to imagine this blanket, smells like split milk and eucalyptus oil, and its burning hotness gradually turns to warm. I wonder if these hands that wrap me up on the blanket are from someone I know. Mother. I can her singing the song she used to sing before I sail to my journey of dreams. She loved me before I used to be lonely. She loved me.

I feel like I can hear some voices too. Voices that calls me in a name that they gave me when we were getting closer. As best friends. I know they're coming here, randomly running towards me like a flock of jungle birds that surprised a scream of a hunter's shotgun. Running towards me with smile like a warm beach sun. And their figures begin to blur, their voices begin to decrease, and finally gone with the mist. They used to love me. Before I'm lonely.

I wonder if I walked to far until I feel this desperately lonely. No. I just went for a walk. Only a few miles away. I know they are somewhere and still love me but somehow this loneliness eats away their love and burn all the yearning letters they sent to me. Then loneliness blows the ashes towards my heart, dying it all black, black without a spot. Then I start to see myself as a adult, I don't need my Mother's blanket anymore. I can handle myself with my commitment to work, my nagging bosses, my reckless and pricking acquaintances. I see best friends have occupied with their own jobs, problems, and life in general, that they won't have any second left for me anymore. And one of them even starting to deny our friendship, deny how much we cared for each other, deny how sweet it was by being just together, and ridiculously want someone new for a brand new best friend as well.

Then this is what I do. I run away. Run away by burning, looking for fast vessel to carry out my sadness. Yes, I drink that forbidden rum, I inhale that polluted smoke, I thrust a sword to my own heart hoping this thing will finally stop. I did feel happiness. I feel ecstasy! Euphoria! But after all of them gone, I started to cry. Like now. I feel useless and wasted. I just build a dead end into my own future and it would be too hard to fix anything right now. It's all dying. Rusting into mere dusts. And all left in me was just my tears, regret, and loneliness.

Why...?

Why loneliness even feels hurt in the first place!? Why does it hurting me? Why I prefer to be lonely? Why do I enjoy all this?

Why...?

Sun finally rises and I'm already numb. I'm sorry I can't live another day anymore. It killed me already. Loneliness finally wins and take what it wants from me...
Kenapa saya ingin bukti lagi? Bukti-bukri yang berserakan karena sepertinya ini tidak akan mampu memenangkan kasus saya. Terdakwa saya tidak akan bisa saya bela jika kau tidak memberikan saya bukti-bukti yang sayang inginkan! Bagaimana bisa!? Pihak sana akan menang. Kecemburuan akan menang dan memenjarakan terdakwa saya yang telah melanggar hukum dan norma cinta. Saya ingin bukti itu segara datang dan terarsip rapih, dikirim pada saya. Hari ini juga!

Kenapa kuis lagi!? Kuis terus! Apa Ibu guru tahu saya sudah semalaman belajar dan saya tetap diberi kuis perbaikan, remedial. Saya mengikuti apa yang Ibu guru ajarkan tetapi Ibu tetap memberi saya F dalam pelajaran Norma Cinta! Apa lagi yang masih kurang saya berikan, Bu Guru? Apa salah saya menganastesi anjing saya yang sakit-sakitan itu karena saya sudah tidak tega lagi melihat ia menderita? Saya melakukan itu karena saya mencintainya! Mengapa Ibu Guru masih bersikukuh kalau itu harus diberi nilai? Apa cinta itu bisa Bu Guru nilai!?

Saya tidak tahu lagi harus mencari apa ketika saya mencintai seseorang. Entah siapa orangnya. Saya bingung. Apakah saya yang terlalu banyak meminta? Apakah dia yang terlalu banyak meminta? Apakah kami sama-sama tidak bisa memberikan apa yang kami minta kepada satu sama lain? Sesungguhnya Tuhan hanya memberikan apa yang kita butuh. Bukan apa yang kita inginkan. Tapi sekarang saya bingung. Apakah yang saya butuhkan karena permintaan saya semuanya terdengar seperti keinginan.

Saya ingin mencintai siapapun dia karena saya cukup mencintai dia saja. Bukan karena "apa adanya", bukan karena "ganteng atau cantik orangnya", bukan karena "dia orang yang baik dan telah membantu saya". Saya ingin mencintainya karena saya ingin mencintai saja. Tapi entah mengapa sepertinya ada yang berbisik kepada saya untuk mengambil untung dari cinta yang saya tanam itu. Dicabut paksa sebelum ia tumbuh matang dan dijual ke pasar gelap supaya menghasilkan uang. Dari uang itu saya bisa kaya. Saya bisa kaya dari cinta dan berfoya-foya dengannya!

Saya bingung kenapa ini berasa begitu duniawi. Saya tidak suka. Saya benci jika pesawat saya ini tidak bisa terbang sebagaimana harusnya dan tetap meraba di tanah seperti tank baja. Saya ingin mencintai seseorang karena ikhlas tanpa balasan. Tetapi kenapa saya terus meminta lebih, meminta lebih, sampai tidak ada lagi yang cinta bisa tumbuhkan di bumi ini untuk diberikan kepada saya.
Singapura, 11 Mei 2010

Ko gue jadi ngga mood nerusin Project Mage. Terlalu idealisnya Manzo. Jauh dari realita. Gue jadi pupus. Cinta gue ga dibalas oleh idealis gue sendiri.

Sekarang gue ngga tau mau nulis apa karena bingung. Dari tadi pikiran gue maju mundur kaya baru latihan nyetir. Gue pingin nulis sesuatu, tetapi apa gue ngga tau. Mungkin udah kebanyakan ide di kepala gue yang angus dan ngantri keluar. Jadi begitu pintunya dibuka sedikit, semuanya langsung rusuh numpuk kaya orang ngantri sembako.

Gue bilang ke Nyokap, gue mau mulai cari kerja. Tapi gue ngga mau sekedar magang. Gue mo cari duit. Kenapa? Gue sadar gue kebanyakan hobi juga dan hobi gue butuh duit yang sayangnya ngga sedikit. Jadi berhubung gue cukup skillful dalam hobi gue, Nyokap nyaranin gue buat nulis. Satu-satunya hobi gue yang istilahnya tidak terlalu banyak duit yang harus gue keluarkan. Mungkin untuk percetakan. Tapi Nyokap dan sahabat-sahabatnya mau dukung. Gue merasa difasilitasi jadi ya kenapa ngga? Bokap pun bilang hal yang sama. Gue lebih baik jual tulisan gue. Nah sekarang gue dapet full dukungan, apa lagi yang harus gue tunggu?

Sayangnya... Ide gue terlalu banyak, itu tadi. Saking banyaknya dam gue sampai jebol. Lalu seketika gue teringat Belanda. Sayangnya ide gue mungkin lebih besar dari Belanda dan lebih butuh banyak dam supaya itu ngga hanyut dan hilang. Faktor yang membuat gue semakin bingung memanajemen ide gue adalah; Nyokap bilang "Coba kamu nulis cerita yang mulai dewasa. Kaya cerita hidup atau cerpen tentang perjuangan wanita karir dan orang yang sudah mulai kuliah". Sedangkan Bokap bilang, "Coba kamu bikin sesuatu yang epik kaya 'Lord of the Rings'. Kamu ngga cuma ngajarin kehidupan, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang ada di dunia ini. Jangan cuma cerita cinta yang kampungan kaya yang udah kebanyakan."

Terus gue bingung. Dua-duanya beda. Beda dunia. Satu epik, satu kaya melekat sama realita. Gue pingin nyoba nulis dua-duanya tapi gue tapi ga bisa sekaligus begitu dan idenya sekali lagi udah eksis dan saling timbun.

Mungkin Project Mage yang lagi gue telusuri adalah yang Bokap gue maksud karena itu saking epiknya gue ngga tau ingridients apa yang udah gue taro ke itu cerita. Sedangkan... Ada sih beberrapa ide cerita yang sesuai dengan yang Nyokap sarankan. Ada wanita karir yang tiba-tiba dititipin anak kembar sama sahabatnya yang meninggal, ada kisah tentang empat bersaudara yang sama-sama struggle menemukan kebahagiaan hidup dan keharmonisan keluarga. Itu klise sih, cuma menurut gue entah mengapa lebih gampang melekat ke realita. Project Mage hampir sama kayak Kitab. Butuh waktu lama buat bener-bener menerapkannya ke realita.

Dan lagi terlalu idealis. Terlalu imajinasi gue yang berlebihan dan lompat-lompatan. Menyebar, meledak, dan berkilauan kayak kembang api. Yang kalau gue muluk-mulukin mungkin bisa bikin kepala gue meledak sendiri. Tapi mungkin karena gue sendiri lagi patah hati. Hahaha, bahasanya jelek banget. Gue ngga tahu juga gue patah hati kenapa karena alasan gue belum cukup meyakinkan juri sampai Sang hakim memutuskan gue untuk patah hati.

Patah hati emang kadang bikin ngga mood. Lu ngambang dan ngga tau mo ngapain. Dan seperti yang gue bilang tadi, ini ngga bisa dibilang sepenuhnya patah hati juga karena gue masih tetap merasa terinspirasi, bisa menulis, dan menemukan sesuatu yang lain dalam hidup. Oh, dan ingin terus mencarinya. Mungkin bukan patah hati, tetapi semacam transisi. Yang jelas ini membuat gue berpikiran kalau Project Mage hanya akan mengekung gue di obesesi gue sendiri.

Dan ketika gue pikir-pikir lagi, Project Mage terlalu "pikiran lelaki". Apa mungkin sekarang saatnya gue jadi sedikit lebih wanita?

Tapi bukannya yang kayak begitu itu ngga ada batas kelaminnya? Nah, sekarang gue jadi bingung.

Tapi iya sih. Gue sedikit merasa sisi feminin gue lagi memeluk gue erat-erat seperti Ibu ke bayinya. Gue sedang ingin dianggap "wanita", mungkin karena gue terlalu sering jadi lelaki. Gue yakin sepertinya dua sahabat gue; Sarah dan Depe setuju dengan hipotesa gue ini. Gue lagi bosan dengan sikap maskulin gue yang egois dan intelek, gue lagi ingin menjadi seorang yang feminin. Sensitif dan intuitif. Mungkin karena itu gue sedikit berbelot dari Project Mage gue.

Tapi gue ngga tau apa yang bisa mengeluarkan sisi feminin gue ini. Gue ngga kepingin menulis sesuatu yang terlalu klise dan jelas. Gue ingin tetap membuat orang lain mencari dan akhirnya menghargai.

Banyak sebenarnya. Cuma saking acaknya gue ngga tau musti nangkep yang mana dan gimana cara merelasikannya.

Tapi yang jelas malam kemarin gue menemukan sesuatu.

Waktu itu gue inget Pak Ucok, Guru Bahasa dan Sastra gue pernah berkata kepada salah satu teman sekelas gue yang lagi pupus; "Lebih baik dicintai daripada mencintai".

Terus gue pikirin baik-baik kalimat tersebut. Berarti sebagai individu, kita lebih baik dicintai saja karena mencintai itu biasanya bikin sakit hati, muluk-muluk, dan kebanyakan akhirnya pupus. Berarti kita nunggu aja dicintai orang dan menerima cintanya. Tapi kalau gitu, misalnya kita beralih ke posisi orang yang kita cintai, dia berarti kan dicintai?

Kayak misalnya; "Manzo mencintai Febby, berarti Febby dicintai oleh Manzo."

Nah, bukankah prinsip itu seharusnya juga berlaku sama orang yang dicintai kita itu? Kan lebih baik dicintai dari pada mencintai. Jadi ngapain lu dong cape-cape mencintai orang lain kalau lu dicintai sama gue?

Dan gue menemukan sesuatu. Dicintai adalah pasrah. Dicintai tapi milih mencintai adalah lupa bersyukur. Dan gue berkonklusi kalau "Lebih baik dicintai daripada mencintai" adalah sebuah kedok dari "pasrah dan jangan lupa bersyukur". TAWAKAL. Apapun yang kita lakukan, sebaik apa usaha yang kita lakukan, pada akhirnya diserahkan kepada Allah SWT dan sebaiknya kita syukuri apapun yang diputuskaNya. Karena itu pasti berkah, apapun itu untuk menjadikan kita individu yang lebih baik.

Menurut gue itu ajaib. Dari kalimat mudah seperti itu, tercipta sebuah paradoks yang mengembalikan kita kepadaNya. Itu menurut gue hebat.

Dan gue rasa sekarang gue baru saja menulis sesuatu yang bisa membuat kedua orang tua gue bangga. Padahal bukan epik, padahal bukan roman. Mungkin dibaca mungkin juga tidak. Tapi gue ngga berhenti bersyukur karena setiap apa yang gue pikirkan selalu diberi pencerahan dan gue harap manusia-manusia lain pun tidak akan pernah berhenti berpikir dan mencari pencerahan.
Saya menemukannya diujung kafe itu. Sendirian bersama tumpukan buku, secangkir kopi, dan sebuah buku tulis. Pena ditangannya yang besar dan jemarinya yang panjang dan kuat. Saya memprhatikannya dari seberang meja.

Bau kopi dan roti semilir-semilir di udara. Cocok sekali dengan warna kertas dan penanya. Pelayan kafe itu datang bersama sebuah nampan dan sebuah mug besar. Saya rasa itu pesanannya, harum vanila. Di taruhnya mug itu bersama notanya. Ia mengangguk sopan dan berterima kasih, tanpa basa-basi ia kembali ke pena dan kertasnya.

Buku-buku yang berada disebelahnya bukan tanpa alasan, tetapi sengaja disediakan. Buku yang mungkin penting bagi tesisnya. Seperti orang lain yang mungkin penting mengisi hidup kita. Entah apa yang ditulisnya tetapi sepertinya itu mengalir begitu saja bersama tegukan kopi vanila yang membasuh kerongkongannya. Saya ingin tahu. Saya ingin tahu apa yang ada di jalan pikirannya.

Sedikit-sedikit hati saya tergerak, mengintip dari balik meja bersama mata saya yang saya pasang di sekeliling tembok. Menelusuri kerutan wajahnya yang penuh tanya, "Mengapa saya bahkan hadir disini, sendiri? Apa saya punya tujuan?"

Dengan sedikit keberanian, saya sampaikan balasan saya kepadanya, "Apa Anda sendirian?"

"Iya."

"Saya juga."

Ia tertawa mendengar pertanyaan saya yang begitu gombal dan penuh klise untuk disamparkan oleh saya yang seutuhnya orang asing baginya. Saya tidak tahu harus membalas apa. Saya malu. Tawanya begitu berisi. Wajahnya jadi merah. Saya jadi tambah malu membayangkannya.

"Sepantasnya, sayalah yang berkata begitu kepada Nona." katanya lagi, sopan sekali.

"Yah, jaman sudah berubah ya..."

Lalu ia menawarkan saya sesuatu untuk diminum. Saya menggeleng. Saya bukan haus secara literal, tetapi inspirasi. Saya rasa saya menemukannya di dalam dirinya maka itulah saya datang menghampiri.

"Saya lebih suka sendirian sebenarnya." kata saya lagi tanpa basa-basi. Ia terkejut sedikit, tapi masih tersenyum.

"Lantas, mengapa Anda menghampiri saya?"

"Anda berbeda. Anda seperti sama dengan saya."

"Mengapa Anda merasa begitu?" tanyanya lagi. Kali ini ia menutup ujung penanya, menaruhnya kembali di meja dan matanya ditujukan sepenuhnya untuk saya.

"Dunia ini aneh. Entah mengapa, sejauh apapun saya berlari, saya akan menemukan manusia lain diujung jalan. Lalu saya akan berbicara padanya dan ia akan bebicara pada saya. Kami bertukar informasi. Basa-basi. Itu tidak penting tetapi seperti harus. Disatu saat yang lainnya, saya akan menemukan lagi seorang manusia. Manusia yang benar-benar mengikat saya. Secara lahir-batin dan egonya menjambak-jambak saya. Saya bingung mengapa ia harus sampai melakukan itu pada saya. Menguras saya seperti bukan manusia dari dalam. Saya melihat Anda sendirian di tempat yang penuh manusia ini. Mengisolasikan diri dengan buku dan tulisan Anda. Saya tahu, sikap Anda ini. Sama seperti saya. Berlari. Berlari dari mereka yang memaksakan ego mereka yang sama sekali tidak beretika."

Kalimat saya seperti angin semilir sejuk, keluar begitu saja. Ia tersenyum sambil menikmatinya lalu mengangguk menanggapi saya, "Anda yakin sekali sepertinya. Saya bahkan duduk disini dan tidak berlari."

"Tidak secara harfiah. Anda berlari dengan tulisan Anda, bukan dengan kaki." jawab saya tegas.

Senyumnya semakin lebar. Begitu tenang dan menghanyutkan. Ah, perasaan apa ini? Mengapa saya jadi semakin ingin tahu orang ini dan membuatnya bicara pada saya? Bicara tentang apa yang dipikirkannya terhadap saya dan kalimat-kalimat saya yang memalukan. Mengapa saya jadi semakin penasaran seperti melihat sebuah episode seri yang digantung.

"Saya tidak berlari, Nona." jawabnya, "Saya tidak bisa berlari dari mereka. Mereka adalah bagian dari keseluruhan jagat raya ini, saya seperti saya dan Nona. Jika saya berlari dari mereka, adakah dunia ini mejadi seperti apa yang ada sekarang? Ego mereka penting. Ego merekalah yang membuat dunia ini bergerak. Itu kodrat yang diberikan Tuhan kepada kita, manusia. Baik atau buruk, samua ada maksudnya."

"Jadi... Jika Anda tidak berlari, apakah yang Anda lakukan sekarang?" tanya saya kembali.

"Saya mencari. Saya mencari posisi dimana saya berada. Posisi, peran, dan kehadiran saya di dunia ini atas apa yang Tuhan berikan. Karena kita semua tahu, pada akhirnya kita akan kembali kepadanya dan diminta pertanggung jawaban. Maka itu lah saya mencari mengapa saya disini dan apakah yang saya bisa lakukan agar saya bisa membantu Tuhan menggerakan jagat raya ini menjadi sesuatu yang lebih baik."

"Tuhan? Jadi? Akankah mungkin Tuhan yang terus mempertemukan saya dengan manusia lain?"

"Tentu saja. Kita ini seperti benang yang diujungnya ada pengait. Kita diciptakan untuk saling berkaitan dan ketika benang-benang itu saling terkait makan akan tertulis sebuah sejarah yang merupakan bagian dari seluruh jagat raya ini. Tanpa itu, sejarah tidak bisa ditulis, Nona. Tuhan menciptakan kita sebagai penanya. Alam raya ini adalah bukunya. Tuhan menulis ceritanya dengan kita. Mungkin kita terdengar sebatas boneka Tuhan saja, tetapi tidak. Kita jauh lebih hebat dari itu. Kita adalah tinta-tinta yang mengalir menciptakan sebuah karya seni yang tidak kunjung habis. Karya seni yang menyerupai keagunganNya."

Saya hilang dalam kata-katanya. Ia mengakhirnya dengan sebuah senyuman, lagi. Sebuah senyuman yang mungkin juga adalah karya seniNya. Ah, apa mungkin pertemuan saya dengan Pria ini adalah bagian dari roman yang yang ditulis Tuhan? Tentu saja. Saya butuh inspirasi untuk terus hidup dan sepertinya benar bahwa saya harus menemukannya dari Pria ini. Tuhan pasti sedang membimbing saya. Tuhan pasti sedang memberikan saya sebuah hidayah. Karena hati saya sekarang berteriak, "Carilah! Cari dan kejarlah!".

"Ah, Tuhan. Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." ucap saya, "Segala puji bagiNya, Dialah pencipta Alam Semesta. Benar kata Anda. Terkadang saya berlari dan pergi kabur. Saya lupa soal 'pengait benang' itu."
"Maka itu carilah. Janganlah Anda pergi dari cerita yang Maha menakjubkan ini. Cari dan kejarlah peran Anda. Pasti akan Anda temukan."

Ia menyerukan suara hati saya.

"Apakah itu yang Anda tulis?" tanya saya.

"Iya." jawabnya lagi, "Saya menulis ini bukan sia-sia. Saya menulis ini dengan tujuan agar pikiran manusia lain terbuka seperti Nona. Biaarkanlah tulisan ini menggantikan saya nanti jika ada orang lain yang tersesat seperti Nona. Karena saya tahu, saya nanti pasti akan kembali bersamaNya."

"Ah, perhatian benar sekali Anda. Anda berpikir seperti Ayah saya, dan begitu perhatian seperti Ibu saya. Andai saja Anda..."

Andai saja apa? Mengapa saya berhenti berkata? Apa ini yang tidak sanggup saya katakan ketika saya melihat ia begitu ikhlas memberikan perhatiannya pada saya. Padahal ini baru sekalinya saya bertemu dan berbicara padanya. Kami sama-sama asing. Di tempat yang banyak sekali orang asing datang menciptakan keramaian. Tapi entah mengapa rasanya ia tidak asing bagi saya. Ia seperti selalu ada disebelah saya menjadi teman lama.

Sebuah dambaan saya yang lama sekali saya impikan. Ia pernah hadir, pernah hadir dalam imajinasi saya.

"Andai saja saya apa?"

"Andai saja Anda tidak hanya ada di dalam khayalan saya..."

"Saya benar-benar ada Nona. Jagat raya ini luas. Mereka belapis-lapis. Saya bisa bertemu Nona dengan cara apapun. Mungkin ini caranya saya bertemu dengan Nona. Di tempat ini. Di waktu ini. Dengan keadaan seperti ini."

Lalu dan ia pun meneruskan, "Saya terus hidup di dalam Nona. Benang saya dan benang Nona sudah terkait dan sebuah sejarah sudah tertuliskan. Saya tidak akan bisa melepas kaitan itu. Tidak pula Nona. Demikian pun, Nona akan terus hidup di dalam saya."

Dan hati saya membludak ketika mata birunya menerjang ke seluruh pelosok lapisan dimensi saya. Saya tidak tahu harus berkata apa. Saya jatuh cinta kepadanya. Jatuh cinta seutuh-utuhnya.

Friday, May 7, 2010

Wahai Adam.
Ragukah Engkau pada Hawa yang Tuhan ciptakan?
Tuhan mengambilnya dari rusukmu sendiri
Agar bisa kau kagumi dan kau kasihi
Tuhan memberikannya hanya kepadamu, Adam.

Wahai Adam.
Dari Hawa lah keturunanmu akan datang
Dari Hawa lah mereka hidup dan belajar
Maka Adam, cintailah Hawa
Seperti kau mencintai dirimu,
seperti kau mencintai Tuhan.

Mata Hawa Tuhan ciptakan melihatmu
Senyum Hawa adalah senyum pertama yang Tuhan beri padamu
Jadi apalagi yang kau takutkan Adam?
Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Wahai Adam
Masih ragukah engkau pada Hawa?
Ketika dengan ikhlasnya ia mengemban,
sebuah cinta yang Tuhan titipkan.

Thursday, May 6, 2010

Pernah Anda bayangkan, seandainya sahabat baik Anda, yang sangat sayang pada Anda suatu hari Anda sakiti.
Dan ia adalah penulis dan pujangga. Seorang kekasih dari filsafat.
Maka akan ada sebuah buku tentang perasaan sakitnya karena Anda.

Pernah Anda bayangkan, seandainya sahabat baik Anda, yang sangat sayang pada Anda suatu hari Anda sakiti.
Dan ia adalah musisi dan penyair. Personifikasi dari mantra dan lagu.
Maka akan ada sebuah rekaman tentang perasaan sakitnya karena Anda.

Dan bagaimana jika buku dan rekaman itu,
pada akhirnya pergi ke tangan pembeli, berjuta-juta kopi.
Dibaca dan didengarkannya, syair-syair dan tulisan yang ia tulis.
Tentang Anda.

Apakah Anda malu?
Atau malah Anda bangga?

Kalau malu, pikirkan kembalilah apa yang telah Anda lakukan padanya.
Jika Anda bangga, teruslah sakiti hatinya.
Disini saya termangu tidak tahu mau menulis apa karena lalu-lintas imajinasi dan emosi saya bertemu macet di pusaran otak saya. Saya terus memandang monitor, mengisi twitter dengan kalimat-kalimat kosong, karena saya benar-benar tidak tahu yang mana dulu yang harus saya tulis dan saya jabarkan. Lalu tulisan-tulisan saya mulai tidak beraturan, menari-nari di tengah jalan dan membuat kerusuhan. Saya dapat mendengar bunyi klakson, knalpot kotor, dan suara teriakan. Di dalam imajinasi saya panas terik membakar dan tidak ada satupun tukang minuman di kemacetan untuk menahan dahaga ide saya yang haus ingin keluar.

Ke telinga saya, satu lagi sebuah kreasi masuk menulusuri syaraf-syaraf saya dan sampat ke kemacetan tadi. Dentingan piano dan suara dari Stefani Germanotta. Lady Gaga, nama kerennya, berdengung dan meraung mendendangkan lagu berjudul "Speechless". Tidak dapat berbicara, hilang kata-kata. Ah, mungkin ini dia. Seluruh isi lagunya adalah bauran dari kekecewaan, kesedihan, dan tidak percaya. Ancaman "speechless" diucapkan berkali-kali. Pertanyaan "menagapa kau begitu kehilangan kata?" ditanyakan berkali-kali. Lady Gaga menuliskan ini untuk Sang Ayah. "Ayah saya menyerah dengan penyakitnya. Ia tidak mau di operasi. Saya tidak tahu seandainya saya kehilangan dia ketika saya tidak ada disebelahnya." Katanya menurut sebuah wawancara. Perasaan macam apa itu, saya tidak berani membayangkannya. Mendekuk perih di dalam hati sehingga banyak sekali imajinasi dan kata-kata yang ingin dijabarkan lebih dari lagu ini. Sayangnya saya terpaksa merasakannya, sampai tangan saya bahkan tak dapat menampungnya. Arus lalu-lintas jadi semakin hiruk-pikuk, ditambah dengan musik rock ala Queen dari Lady Gaga ini.

Lalu apa hubungan saya dengan lagu ini? Tidak ada. Tidak ada menurut saya. Saya kecamkan dalam hati dan otak saya benar-benar tidak ada. Tetapi entah mengapa telinga saya harus terus mendengarkannya. Dan imajinasi narasi saya membludak-bludak, menggedur-gedur otak saya. Emosi saya melakukan hal yang sama pada dinding otot hati saya. Ah, bingung saya jadinya. Saya jadi ikut kehilangan kata-kata. Saya juga kecewa. Saya juga tidak percaya. Tapi entah bagaimana harus saya mengatakannya. Karena pun saya menulis ledakan narasi saya yang keluar tumpah seperti abu vulkanik dari Islandia, sekeras apa saya bernyanyi lagunya Lady Gaga, sepertinya tidak akan sampai kepada orang yang ingin saya tujukan. Saya tidak tahu harus menyampaikan kekesalan saya ke hatinya. Hatinya ditutupi oleh baja abu-abu dari cairan otaknya yang peluru bunker pun tak bisa tembus. Jika peluru saja tidak, bagaimana dengan huruf? Kata? Kalimat? Ah, tidak dapat bicara lagi saya jadinya.

Biar saja saya tidak kenal lagi dengan paragraf dan kerangka. Mungkin lebih baik saya buang saja. Biar jadi lagu saja wacana ini. Seperti syair lagu Lady Gaga ini. Mengiri saya yang duduk termenung di depan monitor, kamar kusam, dan lampu remang-remang. Tanpa kata-kata. Tanpa suara.
Uncertainty

I could write thousand lines without getting tired
I could run a whole mile without getting exhausted
I could tell you million reasons why do I get hurt
Still, things are too late to change

Because I might loose the script when I meet you on the stage
I might loose the tie that keep us in this whole package
I might dry on water to drench the flowers on the empty bottle
I might loose all the strings that keep us in sync

I might be wrong
The truth came after so long
I'm not that strong
I don't know where to carry this on

Why don't you just spoil it out in the first place?
What was the purpose of creating this whole mess
Because I except no lies from you
Don't you know how much faith I believe in you?

Don't you ever love me?
Like a newborn baby in the hands of her Mommy
Don't you ever feel happy?
Just to have someone sincere for company

Maybe it could have been me
It was my mistake to begin with
Maybe I demanded too big
It counterattacked me without mercy

It could have been you
You are not sure what you want to
You never knew how much I gave you
Regardless of physics that may have blind you

In the end lessons will be gained
In the end, would we still be friends?

---------------------------------------------------------

cintaNya

Nabi mencintai Sahabatnya
Nabi mencintai Istrinya
Nabi mencintai Umatnya
Nabi mencintai segenap Dunia
Maka Tuhan memberi Nabi cintaNya

Ibu mencintai Anaknya
Ibu mencintai Ibunya
Ibu mencintai Saya
Tanpa harap balasan Jasa
Maka Tuhan memberi Ibu cintaNya

Saya mencintai Anda
Saya mencintai Sahabat saya
Saya ikhlas memberi cinta pada Anda
Keikhlasan Anda penuh tanda tanya
Semoga Tuhan tetap memberi cintaNya pada Anda

---------------------------------------------------------
Saya menangis.
Saya menangis karena saya kesal.
Saya menangis karena saya kesal kepada saya.
Saya menangis karena saya kesal kepada diri saya sendiri.

Saya kesal.
Saya kesal kepada Anda.
Saya kesal kepada Anda karena membuat saya menangis.
Saya kesal kepada Anda karena sampai hati membuat saya menangis.

Saya menangis.
Saya menangis karena saya kesal.
Saya menangis karena saya kesal sendiri.
Saya menangis dan saya kesal.
Saya kesal karena terlalu menyayangi Anda.

Bukan karena Anda seorang lelaki.
Bukan karena Saya seorang wanita.
Wanita Pria saya tidak peduli.
Karena saya buta kelamin.
Cinta saya buta kelamin. Kasih sayang saya buta kelamin.
Saya tidak peduli.

Sama seperti Ibu saya ketika melarang saya main ke sungai selagi hujan deras.
Saya pikir itu mengasikkan.
Tapi entah mengapa Ibu berteriak dan melarang saya.
Tetapi saya membangkang.
Ibu tetap berteriak melarang saya, lebih kencang lagi.
Lebih kencang dari halilintar.
Sebelum akhirnya apa yang Ibu khawatirkan menelan saya, Ibu menarik saya dari sungai.
Lalu menampar saya.
Dan berteriak lebih kencang dari halilintar,
Menangis lebih deras dari hujan.
Ibu bilang "Apa-apaan yang kau lakukan barusan!?"
Saya melihat airmatanya mengalir lebih deras dari hujan.

Mungkin saat itu saya jadi marah kepada Ibu.
Mungkin saat itu saya jadi kesal kepada Ibu.
Mungkin saat itu saya tidak mengerti.
Mungkin saya saat itu masih mementingkan diri sendiri.
Tapi kiranya apa yang Ibu saat itu lakukan, mungkin karena ini.
Apa yang Ibu tangiskan, mungkin karena ini.

Mungkin karena saya terlalu mencintai Anda.
Mencintai Anda tanpa peduli embel-embel sisanya.
Mencintai ada karena Anda dihidupkan Tuhan dan ada di hidup saya.
 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.