Sunday, March 21, 2010

Singapura, 22 Maret 2010

Akhir-akhir ini kerjaan saya hanya menulis naskah novel saya, browsing internet, membaca, mengulangi pola yang sama setiap harinya saya bangun. Ini semua dikarenakan kelas saya hanya ada dua hari dalam seminggu. Aneh. Bagi orang berkerja tentu waktu saya ini bisa dibilang berharga, tetapi lama-lama saya jadi merasa bosan sendiri dengan apa yang ingin saya lakukan sebenarnya.

Mungkin seharusnya waktu saya ini dapat saya gunakan untuk setidaknya sedikit-sedikit menyusun esai sejarah seni saya (tari, untuk lebih tepatnya). Pak Dosen memberikan sebuah film untuk kami analisa tentang tariannya. Tetapi saya berlari dari tugas saya. Saya merasa enek sendiri ketika saya tonton, filmnya merupakan propaganda Amerika Serikat soal Soviet pada Perang Dingin. Adegan tarinya tergolong sedikit untuk bisa dibilang "film tari". Pada akhirnya film tersebut jadi terlihat seperti film politik dengan tari dibanding film tari dengan politik. Entahlah apa yang akan saya tulis. Mungkin bercerita bagaimana tari di USSR itu sendiri berkembang, bagaimana sang koreographer berkerja dengan baik, dan film itu sendiri terlihat lebih fokus kearah "Soviet dan Komunis itu buruk". Untuk bicara objektif, kalau memang iya bentuk seni itu ada yang dilarang oleh pemerintahan Soviet ya, wajar saja karena memang itulah cara mereka memerintah. Yang saya tidak suka dan berulang kali saya kemukakan ke orang-orang disekitar saya adalah, kenapa harus film propaganda. Terlebih lagi Dosen saya itu orang Amerika, saya jadi tergoda untuk berhipotesa secara konspiratif. Mungkin kalimat saya barusan terdengar hiperbolik. Mungkin lebih tepatnya "Saya jadi merasa Pak Dosen punya pesan yang ingin ia sampaikan lewat film tersebut".

Yak, betul. Saya terdengar rasis. Tapi bukan itu maksud saya. Saya cuma ingin protes karena Amerika Serikat itu sudah sering kali memanipulasi media berkenaan dengan kepentingan politik mereka. Tentu saja. Amerika lah memang pemegang kuat media masa kini. Jujur saja. Kultur internet hampir semuanya kultur Amerika. Pembagian ras dan agama, hampir semuanya cara Amerika. Tapi terkadang jadi banyak orang yang berpikir pendek dan akhirnya mengambil sudut pandang dari sudut pandangnya Amerika saja. Begitu juga dalam film yang didominasi oleh mereka. Film mereka memang bagus dan berkualitas. Tetapi bukan berarti kita harus berpikir kalau informasi dalam film tersebut itu selalu benar.

Begitu juga media yang lain. Kadang memang, manusia itu harus benar-benar bijak dalam memandang informasi. Saya punya satu contoh, masih berhubungan dengan komunis. Ketika saya kecil, kalau saya tidak mau shalat atau mengaji, Ibu atau Ayah saya memarahi saya dengan cara "Kamu mau jadi orang komunis? Ngga punya tuhan?" atau "Kamu agamanya apa? Konfusis ya? Tuhannya apa?". Masalahnya disini orang tua saya sepertinya sudah keliru maknanya Komunis dan Ateis. Negara komunis tidak semuanya tidak beragama. Cina masih punya agama dan apa kabar dengan Buddha? Terlebih lagi, konfusis itu ajaran, dan memang kadang disatukan dengan kepercayaan tradisional cina. Tetapi cara mereka menegur saya itu menciptakan sebuah penilaian yang kesannya buruk.

Lalu kembali lagi soal komunis. Sejak kejadian G30SPKI, sepertinya orang Indonesia punya satu pandangan tersendiri terhadap komunis: brutal, kejam, tidak beragama. Pada akhirnya arti komunis yang sebenarnya jadi bias. Komunis itu sebenarnya pada dasarnya adalah kerataan kesejahteraan rakyat dimana pemerintah mendistribusi kemakmuran secara equal. Tapi sejak G30SPKI itu (dengan berbagai macam hipotesa dan teori yang kalau saya jelaskan bisa sangat panjang) imej komunis di mata Indonesia sedikit, atau mungkin justru berubah total. Mungkin kembali ke natur bangsa Indonesia sebagai bangsa yang hobi meng-alter-kan informasi dan mudah sekali di propaganda, orang-orang yang sepertinya menganut komunisme di Indonesia itu juga demikian (sama kasusnya dengan bangsa Indonesia yang menganut liberalisme sekarang). Yang saya sayangkan ketika saya kecil itu adalah saya tahu persis bahwa Ayah dan Ibu saya adalah orang yang tidak bodoh, bahkan terdidik, dan menurut saya mampu lebih baik mengolah informasi dari saya. Tetapi mereka bahkan menyamakan komunis dengan ateis. Kecenderungan mungkin, tetapi "komunis" dengan "tidak punya tuhan" itu benar-benar subjek yang berbeda.

Satu lagi kekeliruan keluarga saya dalam informasi adalah; Jepang adalah negara ateis. Saya sewaktu remaja sangat tertarik dengan kebudayaan Jepang. Saya belajar bahasa Jepang, menonton animasi Jepang (dan bahkan karenanya saya di label aneh, tapi itu akan saya untuk lain waktu), mempelajari budaya mereka juga. Saya suka dikritik oleh sanak saudara dengan, "Apa bagusnya Jepang? Mereka kan ngga punya tuhan." atau kalau mereka mendengar cerita kesuksesan negara imperial krisantemum itu, "Hebat ya mereka. Padahal mereka kan ngga punya tuhan. Nyembah matahari. Tapi bisa maju begitu."

Saya sekarang ingin tertawa mendengarnya. Tidak punya tuhan katanya. Justru sebaliknya. Ada banyak tuhan di dalam kepercayaan Jepang. Sangat banyak sekali. Hampir sama seperti Hindu, agama mayoritas di Jepang, Shinto memiliki banyak dewa. Memang dewi matahari Amaterasu-Omikami lah yang paling dihormati. Konon para kaisar Jepang adalah keturunan beliau. Mereka memang praktikal dan simpel. Shinto juga adalah agama yang tergolong kuno yang sanggup bertahan sampai sekarang. Kepercayaan kuno, selain juga politeis, berhubungan erat sekali dengan alam dan lingkungan sekitar mereka. Wajarlah jika mereka mendewakan matahari, mendewakan petir, mendewakan ini dan itu, punya mitologi dan kisah dibalik semuanya. Tetapi berpikir kalau mereka itu ateis? Lalu mengapa dewanya sebanyak itu?

Saya belajar dari satu video game, Persona 4 judulnya. Game itu berisi pesan moral bahwa jangan cepat terkonsumsi oleh informasi yang ada disekitar kita. Gosip. Media. Semuanya. Kadang pada akhirnya informasi itu membuat kita membuat suatu perjudis yang pada akhirnya mempengaruhi sudut pandang kita. Bisa saja informasi itu salah, bias, misinterpetasi dan sebagainya. Saya setuju sekali dengan filosofi itu. Tetapi game itu melanjutkan pesannya dengan "Carilah terus kebenaran". Kalau yang itu, saya ragu. Kebenaran itu subjektif. Kadang kebeneran itu bisa jadi adalah peranakan abu-abu dari opini dan fakta. Fakta sendiri hanyalah fakta. Iya tidak bernilai benar atau salah. Opini adalah sebuah pernyataan dari fakta yang telah diproses oleh sudut pandang. Kebenaran hanyalah ilusi dari sudut pandang itu sendiri. Jadi menurut saya cari terus kebenaran adalah hal yang absurd.

Tetapi mungkin akan lebih baik jika kita mengungakapkannya dengan "carilah terus kebijakan". Karena dengan banyaknya informasi, sudut pandang manusia, berita apapun medianya, kita lebih baik cari kebijakannya saja. Menambah ilmu itu tidaklah buruk. Semakin banyak kita tahu, semakin bijak kita jadinya (asal tidak mengikuti hawa nafsu untuk berubah sombong). Sebuah kalimat yang orang tua sering kali berikan kepada anak cucunya tetapi tidak pernah bosan untuk diucapkan. Sudah berapa filsuf, terutama dari Cina, yang mengatakan hal ini? Sudah berapa guru yang berkata "kantong kotoran" ini? Tetapi mereka sepertinya benar. Daripada bersikukuh menganggap sesuatu itu benar dan menjalani hidup dengan hal tersebut, tidakkah lebih baik kalau kita menjalani hidup dengan bijak dan menerima informasi apa adanya?

White Nights © Columbia pictures, 1985
Persona 4 © ATLUS, 2008

2 comments:

Anonymous said...
This comment has been removed by the author.
Anonymous said...

sebelum komentar, i wanna say that I'm impressed with your blog, it's really nice.. i got a blog too and it hasn't much writing yet. I actually want to comment about all things there but you know, as my time is limited and i gotta go sleep soon so i will only comment about the last thing the philosophical thing. but i will do it in Indonesia, the way you write it.

anda mengatakan "Kebenaran hanyalah ilusi dari sudut pandang itu sendiri. Jadi menurut saya cari terus kebenaran adalah hal yang absurd."

menurut saya cari terus kebenaran bukanlah hal yang absurd, itu lagi-lagi tergantung pada penafsiran kita terhadap kalimat itu. bagi saya, mencari kebenaran adalah mencari pengetahuan yang dapat mengkonfirmasi pengetahuan yang sudah tercetak di akal manusia. seperti faham plato yang meyakini manusia lahir dalam keadaan telah mengetahui semua yang perlu mereka ketahui, mereka hanya memerlukan instrumen-instrumen untuk mengekspresikannya seperti kesadaran berpikir dan berbahasa.

saya ingin menjelaskannya dengan beberapa hal berdasarkan opini saya yaitu
1. hubungan pengetahuan dengan kebenaran.
2. perbedaan kebenaran dengan kebijakan

hubungan pengetahuan dengan kebenaran
ketika kita mencari pengetahuan tentang sesuatu tentunya kita menginginkan yang benar. kalaupun kita mencari kebohongan, hal itu sebenarnya hanya untuk memperkuat kebenarannya. saya jadi ingat dengan sebuah kutipan "if there's no truth, why do people lie"
memang hal itu hanya memperkuat bahwa kebenaran itu ada. tapi untuk mencarinya kita perlu mengetahui kepentingan kita. apa kita harus mencari kebenaran.

meskipun memiliki banyak kesamaan kebenaran berbeda dengan kebijakan. kebenaran lawannya kebohongan. kebijakan lawannya kebodohan.sedangkan hubungan kebenaran dengan kebijakan adalah kebenaran itu membawa kepada kebijakan.

anda mengatakan "tidakkah lebih baik kalau kita menjalani hidup dengan bijak dan menerima informasi apa adanya?"

informasi yang apa adanya itu tentu yang anda maksud adalah yang jujur yang sebenarnya. maka dari itu kesimpulannya untuk menjadi orang yang bijak kita perlu mencari kebenaran.

hanya sekian yang bisa saya tuliskan untuk mengomentari tulisan and, maaf apabila agak membingungkan, tapi saya terbuka untuk pertanyaan dan kritik.

terima kasih :)

Post a Comment

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.