Thursday, March 4, 2010

Jakarta, 12 Februari 2010

I wonder, what makes authority and money that special. Which leads to the concept of "privilege". Why "privilege" exists? Is "privilege" used to honor the higher?

Begini, anggaplah seorang pemimpin. Pemimpin itu berbeda dengan penguasa. Pemimpin itu "memimpin", sedangkan penguasa "berkuasa". Kalau "privilige" diciptakan untuk menghormati seseorang yang statusnya diatas kita, maka pemimpin dan penguasa adalah salah satu diantaranya yang mendapatkan "privilige" tersebut. Tetapi jika memang pemimpin itu hadir untuk memimpin, maka apakah seharusnya ia tidak butuh "privilge" tersebut? Semua orang tahu, pemimpin hadir untuk mewakili orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin butuh orang untuk dipimpin, kalau tidak, maka ia tidaklah lagi disebut "pemimpin". Semua orang juga tahu kalau pemimpin butuh mendengarkan apa saja yang diucapkan orang-orang yang ia pimpin, jika tidak, maka ia tidak ada bahan untuk dipimpin. Yang pasti, seorang pemimpin harus lebih bijak, sabar, dan berani mengambil keputusan yang terbaik untuk orang banyak. Intinya, kita semua tahu teori dan syarat apakah yang dapat menjadikan seseorang untuk menjadi "pemimpin". Karena itulah, seorang pemimpin hadir untuk orang yang dipimpinnya dan memberika apa yang ia dapat untuk memimpin orang-orangnya. Jadi dimanakah letak "privilege" untuk seorang pemimpin kalau ia kurang lebih sama saja dengan orang-orang yang dipimpinnya?

Masalahnya akhir-akhir ini orang seringkali menyamakan "pemimpin" dan "penguasa". Orang tidak bisa membedakan yang mana "pemimpin" yang mana "penguasa". Ayah saya adalah pemimpin bagi keluarganya, tetapi bapak presiden adalah penguasa. Tapi akhir-akhir ini semua orang menyebut bapak presiden "sang pemimpin", padahal sudah jelas sekali kelihatan bedanya. Okelah kalau soal bapak presiden itu adalah "kaki tangan dari penguasa yang sesungguhnya", tapi intinya ia mewakili para penguasa itu juga kan? Nah maka itu, kembali lagi ke pertanyakan yang diajukan tadi, pemimpin yang tidaklah lagi menggunakan akal budi dan kebijakannya, tetapi malah mengikuti ego dan nafsunya, ia akan mudah sekali berubah jadi seorang penguasa. Mengapa? Karena itulah, ia merasa "priviliged". Ia menganggap dirinya lebih bijak, lebih pintar, dan lebih berani, maka ia pun harus mendapatkan hal yang lebih.

Menurut saya hal ini adalah hal yang sangat mudah sekali dipahami. Saya rasa anak TK pun bisa membedakan yang mana yang disebut pemimpin dan yang mana yang disebut penguasa (yang membuat saya menjadi berpikir, mungkin ada baiknya jika saya menanyai anak-anak TK lokal tentang "pemimpin" dan "penguasa" untuk melengkapi pendapat saya. Jawaban mereka bersih dan jujur, tidak dipengaruhi oleh ilmu, teori, dan imej akan jawaban yang mereka berikan).

Masih soal kekuasaan dan kekayaan, saya jadi teringat tentang pembicaraan saya dengan seorang teman minggu lalu. Kami sedang mempelajari teori konspirasi "New World Order". Kami membaca dari berbagai sumber, menonton video tentang mereka, dan mengupas apa yang kira-kira mereka lakukan dan mereka rencanakan.

Lalu saya bertanya dengan teman saya tersebut; "Kira-kira mereka memperlakukan manusia dengan cara seperti ini tujuannya untuk apa? Ini sama sekali tidak memberi keuntungan apapun terhadap manusia."

Dan teman saya dengan mudah saja menjawab; "Yah, sama seperti yang sudah-sudah. Mereka mengejar kekuasaan dan kekayaan."

Besok guru mengaji kami datang ke rumah. Saya ingin bertanya apakah di Al-Qur'an atau hadis Nabi SAW ada frase yang dengan spesifik menyatakan bahwa kekayaan dan kekuasaan itu adalah salah satu nafsu besar manusia yang merugikan dan sulit sekali dihindari.

Saya rasa, natural sekali untuk manusia mengikuti hawa nafsu mereka. Kalau kebanyakan orang bilang "manusia itu egois", saya lebih suka dengan istilah dari Sigmund Freud. Manusia cenderung kalah dengan Super-Ego mereka. Karena Freud mendefinisikan bahwa super-ego lah yang didasarkan hawa nafsu. Sayang sekali saja rasanya kalau sebenarnya manusia itu punya kemampuan yang jauh lebih berguna ketimbang menyusahkan manusia atau makhluk hidup lainnya karena super-ego tadi.

Dalam hati saya mentertawakan manusia, padahal saya sendiri juga manusia.

Akhir-akhir ini saya juga sering berpikir, "Benarkah hak seseorang untuk bagaimana ia menanggapi sesuatu atas penilaian dirinya sendiri, bukan atas pengaruh orang lain?" dan juga "Benarkah juga hak seseorang untuk mempercayai apa yang ia percayai?"

Dunia dan pikiran manusia ini kadang memang terlalu kompleks. Padahal kami hanyalah sebagian kecil dari jagat raya, yet sudah sangat kompleks.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.