Saturday, March 27, 2010

Jadi hari itu ia menceritakannya pada saya. Lalu berkata, "Entah mengapa Ibu pun tidak mau bercerita jelasnya pada saya dulu. Saya jadi bingung. Saya tidak tahu berbuat apa, terlebih lagi saya jauh dari saudari saya..."

Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Prihatin. Yang kami sama-sama tahu, bagaimana sekarang cara mengurangi beban tersebut sedikit demi sedikit. Lalu saya menepuk pundaknya seraya ia menghela nafas. "Ini bukan yang pertama kalinya ya?" tanya saya dan dia mengangguk pelan tanpa mengubah ekspresinya.

"Ayah saya itu orangnya baik. Begitu pula Kakek dan Nenek saya. Mungkin keduanya agak keras tapi keduanya mau membelakan keadaan mereka demi keberhasilan anak-anak mereka." katanya lagi. "Salah satu Paman saya bercerita kalau Kakek dan Nenek dulu memang sering bertengkar, tetapi saya tidak pernah tahu bagaimana persisnya karena tidak pernah ada yang bercerita. Saya sendiri sungkan. Habis mau bagaimana lagi. Saya ini cucu. Generasi ketiga. Masih muda pula. Mungkin kalau saya bertanya kurang layak saja rasanya."

Lalu dengan dari suaranya ia mulai membawa saya ke bagian permasalahannya, alisnya jadi lebih sigap dan suaranya jadi lebih naik, saya dengan penuh perhatian mendengarkan ceritanya.

"Tetapi dari kelima anaknya itu sepertinya hanya tiga saja yang bersikap sedikit lebih sopan, mungkin diantara ketiganya hanya Ayah sayalah yang paling sopan. Ketika Kakek dan Nenek akhirnya tiba di usia yang tidak produktif, Ayah sayalah yang menanggung beban mereka."

"Mungkin Tuhan tahu seberapa mampu Ayahmu, maka itulah..." kata saya lagi, lalu ia kembali lemas.

"Iya. Kalau iya, saya hanya bisa berdoa Tuhan terus menguatkan Ayah saya. Tapi kadang ibu terus berkeluh kepada saya, 'Kenapa keluarga Ayahmu terus?' katanya. Bukannya Ibu saya bagaimana. Mungkin Ibu iba juga kepada Ayah, harus mengurusi istri-anak, kantor, teman-teman, dan keluarga besarnya yang masalahnya tidak pernah kunjung selesai."

Kali ini saya yang mengangguk-angguk. Yah, siapa yang tahu sih. Kalau saya melihat Ayahnya, Beliau memang seorang bapak yang sangat menyenangkan. Mungkin hampir kepala lima tapi wajahnya masih terlihat cerah. Beliau suka bercanda akrab ke teman-teman anaknya. Mungkin terutama teman-teman putri sulungnya yang satu ini karena menang unik sekali, putrinya ini memiliki teman yang sudah seprti keluarga sendiri. Saya tidak menyangka saja kalau ternyata ayah teman saya itu punya beban yang berat juga. Tapi siapa sih yang tidak punya masalah dalam hidupnya?

"Dan selalu yang paling berat itu ada di Kakak pertama dan adik bungsu Ayah saya." sambungnya. "Nah, kali ini yang datang mengetuk pintu kemarin adalah putri pertama dari adik bungsu Ayah saya."

"Oooh..." Saya mengangguk-angguk, "Apakah itu sepupumu yang orang tuanya bercerai itu?"

"Betul. Bahkan Paman saya itu menceraikan istri keduanya. Terlebih lagi anak-anak paman saya dengan istrinya yang ini masih kecil-kecil. Saya jadi serba salah..." keluhnya. "Mungkin saya belum paham soal hal yang seperti itu. Tetapi saya paham bagaimana rasanya menjadi seorang anak. Mau ditutup-tutupi seperti apa juga, kami sebagai anak pasti akan menyaksikan satu atau dua dari perseteruan mereka. Mau seberapa tua umur kami, pasti kami akan tetap merasa takut dan kecewa. Pasti kami akan mempertanyakan dimana sebenarnya kami berada."

Bijak juga kata-katanya. Saya rasa ia benar. Saya tidak punya keluarga yang berseteru seperti itu. Hah, saya lagi. Keluarga saya semuanya kaku dan taat pada aturan. Pertengkaran kecil seperti rebutan mainan saja diselesaikan di panjang (literal, ya...) dan dituntut dengan kepala dingin. Mungkin orang tua saya itu memang bukan hakim, tetapi sikap pasifis mereka agak terlalu berlebihan. Kadang jatuhnya jadi seperti robot yang tidak berekspresi. Ada sih saatnya mereka menghangat, tapi mungkin pada saat-saat tertentu saja. Tapi sekali lagi, kalau saya ingat-ingat ketika Ayah dan Ibu saya yang stoik itu berdebat... Saya memang takut juga. Apalagi mereka sama-sama dingin begitu.

"Lalu, sepupumu itu datang ke rumah untuk apa?" tanya saya lagi.

Tiba-tiba ia kembali lagi menghela nafas pasrah dahinya terlipat ragu. Lalu ia menggeleng, "Itu dia. Itu yang Ibu saya masih belum mau cerita."

"Tapi kalau ia datang sambil menangis, berarti ada yang salah kan?"

"Benar sekali. Ibu saya bahkan bilang ini ada hubungannya sama adik bungsu Ayah itu. Saya jadi bingung. Apa saya minta adopsi dia saja ya? Saya dari dulu ingin punya saudara perempuan..."

Saya sedikit tersenyum mendengarnya, ia pun demikian. Di sela-sela kerutan dahinya ia tersenyum kecil juga. Namanya juga manusia. Kita senang saja untuk berpikir hal yang manis, untuk sedikit mengimbangkan beban di hati kita bukan?

Lalu ia kembali lagi bercerita tentang si beban, "Waktu itu saya dengar ia sempat terjerumus narkoba, tapi untungnya ketika saya bertemu dengannya lagi ia terlihat sehat dan baik. Sekarang Ibu saya lapor kalau dia tiba-tiba datang menangis. Broken home, kata Ibu. Hal yang pertama kali datang ke kepala saya adalah mengapa keluarga Ayah lagi? Ketika sepupu saya yang dari Ibu datang ke rumah di malam hari, dia bawa berita baik tentang training kerjanya di Jakarta. Kenapa giliran sepupu dari Ayah saya bawa berita buruk. Mungkin saya naif, tapi entah rasanya saya merasa tidak adil."

"Mmm... Manusia memang bisa berkata begitu. Tapi kita belum tentu tahu apa ini adil atau tidak." sambung saya.

"Iya. Tuhan itu memang Maha Adil. Tetapi kami manusia tidak bisa melihat kebaikanNya. Yang datang pada kami rasanya saya selalu salah. Ah, kalau begini rasanya saya jadi ikut-ikutan mempermainkan Tuhan." katanya sambil geleng-geleng kepala. Buru-buru saya membesarkan hatinya daripada ia terus ragu.

"Wah, wah, wah... Jangan berpikir seperti itu dong," berikut usaha saya, "Kan kamu yang bilang sendiri. Kita ini manusia. Kita tidak tahu apa yang menjadi aturanNya. Mungkin tidak kalau kebaikan sepupumu itu jalannya ada pada keluargamu? Bisa jadi kan? Kalau memang iya, kurang adil apa Tuhan?"

Lalu ia terdiam. Tampangnya tenang, tapi ricuh seperti ombak. Seperti lukisan abstrak juga. Pasti dipikirannya bertubrukan antara Tuhan, manusia, psikologi, sosiologi, hubungan keluarga, aturan, dan kenyataan. Semuanya lalu bertubrukan menjadi teori fisika. Setelah itu menimbulkan reaksi kimia di otaknya. Saya memang terdengar melantur, tetapi kalau dipikir-pikir itulah mekanisme ajaib ketika seorang manusia sedang bingung terhadap persoalan dengan manusia lainnya.

Tiba-tiba dari bibirnya yang tadi terkunci itu, dikeluarkannya sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang mungkin semua anak di dunia ini tidak tahu jawabannya. Pertanyaan yang memang mungkin dialami sepupunya tetapi ia mewakilkannya, bahkan mewakilkan pertanyaan yang kadang anak-anak dari para orang tua ini bertanya. Saya jadi teringat, guru les saya pernah bertanya hal yang sama ketika ia bercerita semasa remaja bertengkar dengan orang tuanya. Sebuah pertanyaan yang sama Bibi saya keluarkan ketika ia bercerita tentang sahabat semasa kecilnya yang skizofrenia akibat kebohongan-kebohongan yang ditutup-tutupi Ayah dan Ibunya. Pertanyaan yang tidak pernah berhenti dipertanyakan kami, sambil menunggu Tuhan mengirimkan jawabannya melalui waktu...

"Kalau memang ini semua adalah kesalahan Paman saya, mengapa harus anaknya yang mendapat bebannya? Apa ini pukulan untuk Paman saya agar beliau tahu bahwa beliau telah mengorbakan keadaan psikologis putrinya? Putrinya juga manusia. Seorang individu. Punya hati, punya jiwa, akal budi, dan kalbu. Hanya untuk mengembalikan seseorang ke jalan yang benar harus ada manusia yang sakit? Terlebih-lebih darah dagingnya sendiri... Saya tidak pernah mengerti. Saya tidak akan pernah mengerti. Begitu pula kau dan yang lainnya kalau memang mereka merasakan hal yang sama. Bagaimanapun selalu, kami manusia pada akhirnya hanya akan bisa bertanya dan mengusahakan apa yang ada. Selanjutnya akan terus ada padaNya. Saya rasa begitu pula jawaban pertanyaan saya."

Lalu suasana jadi kembali hening. Sekarang kami berdua sama-sama larut dalam ombak abstrak kimia-fisika tadi. Bertanya kepada masing-masing pribadi. Bertanya kepada Tuhan.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.