Sunday, March 21, 2010

Singapura, 9 Maret 2010

Orang mengakui bahwa melihat air yang bergerrak tenag itu akan menenangkan pikiran, seperti halnya membasuh diri dengan air. Maka itu sunnahnya jika marah ambil wudhu. Logis.

Hari ini saya mendapat sebuah mimpi yang meneriakan keadaan psikis saya, tentu saja membuat saya tidak tenang. Akhirnya setelah makan siang saya memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dulu tetapi berlari ke Sungai Singapura mencari kesejukan batin. Tentu saja tidak secara literal, saya naik bus nomor 851 dari depan kampus lalu berhenti di Boat Quay. Setelah berjalan sedikit sambil melihat makhluk laut besar yang bentuknya sangat unik di restoran seafood yang berjejer sepanjang jalan, akhirnya saya tiba di depan sungai, mencari tempat duduk teduh, lalu berpikir. Di depan saya terbentang sebuah badan air yang cukup luas dengan Singapore Asian Civilization Museum terletak diseberangnya. Sepanjang jalan dari bus sampai sekrang saya berharap seandainya ada saja seseorang dekat yang menemani saya dalam perjalanan saya sekarang.

Rindu. Sebuah manisfestasi emosi yang sangat wajar dalam manusia. Tetapi entah mengapa rasanya kalau merindukan seseorang saya merasa seperti band-band dalam negri yang liriknya terlalu hiperbolik. Tetapi tidak juga. Saya teringat, baru saja kemarin Ibu mengunjungi saya selama tiga hari, membelakan waktunya hanya untuk mengirimkan obat rutin saya, padahal sebenarnya bisa dititipkan. Sangat simpel, Ibu saya rindu sekali pada saya dan ingin melihat wajah putrinya. Seketika saya mengantarkan Ibu ke bandara untuk kembali ke Ibukota, wajahnya terlihat seperti ingin menangis. Wajarlah untuk seorang ibu yang hampir 20 tahun membesarkan anaknya untuk melepaskan anaknya pergi, walau untuk pendidikan. Saya rasa saya juga seperti itu sekarang.

Saya mungkin sekarang rindu juga kepada Ayah dan Ibu, tetapi disaat-saat seperti ini saya sepertinya sedang lebih merindukan sahabat-sahabat saya. Mungkin sesaat terlintas pikiran "Kalau Ibu, okelah. Kalau sahabat? Mereka kan bukan siapa-siapa." Entahlah kalau kata orang, tetapi sahabat saya sudah seperti keluarga saya sendiri juga. Bahkan Ayah dan Ibupun sayang kepada mereka.

Suatu malam di ujung Sungai Singapura yang lainnya, saya duduk-duduk bersama dua sahabat saya, Sarah dan Depe (Putri). Kami bercanda, berbagi makanan bertiga sambil memandang keramaian yang ada disekeliling kami. Clarke Quay selalu aktif tiap malam, sebuah tempat yang selalu menjadi kunjungan turis. Kami bertiga berbicara tentang penyanyi pria yang bisa membuat kami terlena, Saya mengeluh kenapa saya tidak memiliki satu pun -- padahal saya wanita. Akhirnya mereka berkonklusi kalau saya memang tidak bisa terlena tapi mudah sekali kagum kalau memang penyanyinya berbakat. Kami tertawa, lalu, karena kebetulan kami sedang menikmati makanan dari negri Ratu Elizabeth juga, Sarah dan Depe meminta saya untuk berbicara dengan aksen Inggris untuk sekedar bercanda. Disela-sela itu, langit malam kami dihiasi dengan mekarnya kembang api. Tempat dimana kami duduk mendapatkan view yang cukup bagus, barulah setelah itu kami berjalan-jalan disekitar sungai.

Kejadiannya baru saja sebulan yang lalu tapi rindunya sudah terasa.

Sedari tadi saya mendengarkan koleksi lagu mellow yang koleksi syairnya seperti perasaan saya sekarang. Yah, mungkin seperti lagu band dalam negri tadi, hanya saja mereka tidak hiperbolik, tetapi lebih kearah simpel, jujur, dan menyentuh. Tidak gombal. Berkumandang sepanjang perjalanan tadi suara seorang artis muda dari negri Ratu Elizabeth, Paloma Faith dengan lagunya "Stargazer". Menurut interpretasi saya (karena setiap orang bisa saja berbeda) Ms. Faith bercerita tentang seorang gadis yang kehilangan orang yang telah memberikan sebuah hadiah kepada hidupnya, bukan hanya cinta, tetapi juga kebijakan, dan pelajaran hidup dengan diungkapkan sebagai "bintang-bintang". Di bagian refrainnya Ms. Faith mengumandakan bagaimana si gadis tidak akan lagi bersinar tanpa kehadiran orang tersebut. Walau sahabat-sahabat saya tidak sepenuhnya menghilang, tetapi perumpamaan "mencari mereka diantara bintang" itu sangat indah bagi saya.

Saya jadi ingat sebuah cerita lagi tentang sahabat saya. Dulu ketika saya duduk di kelas dua SMP, saya punya empat orang sahabat; Dayat, Unggul, Febby, dan Mirza. Sampai sekrang saya masih terus bersama Dayat, Unggul, dan Febby. Tetapi Mirza sempat menghilang. Dulu kami yang waktu itu masih polos sempat kesal padanya karena ia pada akhirnya bergaul dengan kumpulan anak-anak yang suka mengganggu kami. Kami akhirnya pasrah dan tidak berhubungan dengannya lagi. Suatu hari Febby bercerita pada saya.

"Gue ketemu Mirza!" katanya.

Saya kaget. "Hah!? Kok bisa!?"

Mirza satu kampus dengan Unggul, tapi memang dasar Unggul yang sifatnya yang super gengsi dan "sok-sok tidak sensitif" itu tidak pernah bercerita banyak soal Mirza. Tapi Unggul pernah bilang, Mirza ingin berkumpul dengan kami berempat lagi.

Jadi, Febby yang sedang pergi ke acara kampusnya Unggul tiba-tiba dipertemukan dengan seorang pria tinggi yang diseret-seret oleh Unggul. Unggul dengan luwesnya bilang "Noh. Masi inget ngga?" Mirza tadinya berpikir dulu sedangkan Febby cuma bisa termangu melihat kalau Mirza tetap tinggi, sementara Febby yang kecil tidak tumbuh-tumbuh. Dan dengan terkejut Mirza menyahut "Febby!?"

Dan Febby bilang kalau Mirza ingat semuanya. Ingat kapan terakhir kali kelimanya ada bersama dan berharap berkumpul bersama lagi kalau Dayat pulang dari Akademi Militer nanti. Febby terharu, sekalipun itu melihat Unggul dan Mirza yang kembali akrab dalam menggodai Febby. Saya juga. Mungkin memori baik itu masih melekat padanya dan saya rasa itulah sahabat. Kami berlima dulu termasuk anak-anak yang entah atas dasar apa tidak terlalu disukai oleh anak-anak lainnya sampai mungkin hanya Mirza saja yang berhasil bergabung dengan anak-anak lainnya itu. Tapi karena mungkin itu juga makanya kami jadi sangat dekat sekali.

Suatu hari di masa itu, ketika saya pulang dari Medan di malam hari saya menulis sebuah cerita pendek dengan tokoh "Febby" dan "Mirza" di dalamnya, sebagaimana keduanya adalah yang paling muda dan paling tua diantara kami. Terbukti dari sifat Mirza yang kekakakan dan Febby yang "bocah" dan paling sering diusili. Disitu bercerita bagaimana keduanya duduk-duduk berdua sambil memandang bintang di langit malam liburan mereka bersama tokoh "Dayat", "Unggul", dan "Manzo" yang sudah tertidur pulas hari itu. Keduanya berkhayal seperti apakah mereka nanti di masa depan dan ingin jadi seperti apa, berpikir apakah semuanya akan sebaik saat itu. Saya rasa akan saya bongkar lagi lemari buku saya liburan nanti, mencari apakah buku yang saya tulis tentang itu masih ada atau tidak.

Dan saya jadi teringat. Masa itu, Febby suka sekali dengan film animasi berepisod yang pendek yang berjudul "Twin Spica". Bercerita tentang empat orang anak SMP yang berharap suatu saat nanti bisa pergi ke luar angkasa dan drama tentang persahabatan mereka. Lagu temanya merupakan lagu tembang era 60-70an dari Jepang berjudul "Miageta goran, Yoru no Hoshi o" -- "Coba lihat keatas, kearah Bintang di Langit Malam" yang kurang lebih isinya sama dengan cerita film tersebut. Saya ingat bagaimana lagu itu menjadi lagu kami semua. Lagu yang diputar ketika kami ada bersama, bermain maupun belajar menghadapi ujian.

Mungkin cerita tentang Sarah dan Depe juga Mirza hanyalah contoh kecil. Ketika saya berjalan sendirian di pulau kecil yang suasananya jauh lebih enak dari Jakarta ini, kadang saya teringat mereka. Betapa nikmatnya jika saya bisa membagi pemandangan yang sedang saya lalui ini bersama mereka. Betapa menyenangkannya duduk di bis dan menikmati seluruh kota dari ujung timur ke tengah kota. Kadang saya suka berpikir kalau di Jakarta itu yang kami bisa lihat hanyalah mall. Tapi sekali saya pernah bersama Febby dan Yuli benar-benar menikmati kota Jakarta. Mungkin tidak senyaman Singapura, tetapi mungkin pengalaman itu jauh lebih menyenangkan daripada hanya sekedar berputar-putar di mall. Mungkin ketika saya berjalan sendirian, saya cukup berpikir alangkah baiknya jika kita sama-sama membagi hal yang mungkin tidak dirasakan secara fisik ini. Mungkin ini bentuk rindu saya. Tapi mungkin, jika perasaan rindu ini tidak ada, mungkin hubungan kami tidak terasa seberharga ini. Hanya mungkin, jadi mungkin saja ada arti yang lain dari perasaan saya ini dari sekedar rindu. Rindu orang lain yang mungkin tidak sedarah dengan saya tapi hubungannya saya rasakan erat di dalam benak saya.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.