Saturday, March 27, 2010

Jadi hari itu ia menceritakannya pada saya. Lalu berkata, "Entah mengapa Ibu pun tidak mau bercerita jelasnya pada saya dulu. Saya jadi bingung. Saya tidak tahu berbuat apa, terlebih lagi saya jauh dari saudari saya..."

Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Prihatin. Yang kami sama-sama tahu, bagaimana sekarang cara mengurangi beban tersebut sedikit demi sedikit. Lalu saya menepuk pundaknya seraya ia menghela nafas. "Ini bukan yang pertama kalinya ya?" tanya saya dan dia mengangguk pelan tanpa mengubah ekspresinya.

"Ayah saya itu orangnya baik. Begitu pula Kakek dan Nenek saya. Mungkin keduanya agak keras tapi keduanya mau membelakan keadaan mereka demi keberhasilan anak-anak mereka." katanya lagi. "Salah satu Paman saya bercerita kalau Kakek dan Nenek dulu memang sering bertengkar, tetapi saya tidak pernah tahu bagaimana persisnya karena tidak pernah ada yang bercerita. Saya sendiri sungkan. Habis mau bagaimana lagi. Saya ini cucu. Generasi ketiga. Masih muda pula. Mungkin kalau saya bertanya kurang layak saja rasanya."

Lalu dengan dari suaranya ia mulai membawa saya ke bagian permasalahannya, alisnya jadi lebih sigap dan suaranya jadi lebih naik, saya dengan penuh perhatian mendengarkan ceritanya.

"Tetapi dari kelima anaknya itu sepertinya hanya tiga saja yang bersikap sedikit lebih sopan, mungkin diantara ketiganya hanya Ayah sayalah yang paling sopan. Ketika Kakek dan Nenek akhirnya tiba di usia yang tidak produktif, Ayah sayalah yang menanggung beban mereka."

"Mungkin Tuhan tahu seberapa mampu Ayahmu, maka itulah..." kata saya lagi, lalu ia kembali lemas.

"Iya. Kalau iya, saya hanya bisa berdoa Tuhan terus menguatkan Ayah saya. Tapi kadang ibu terus berkeluh kepada saya, 'Kenapa keluarga Ayahmu terus?' katanya. Bukannya Ibu saya bagaimana. Mungkin Ibu iba juga kepada Ayah, harus mengurusi istri-anak, kantor, teman-teman, dan keluarga besarnya yang masalahnya tidak pernah kunjung selesai."

Kali ini saya yang mengangguk-angguk. Yah, siapa yang tahu sih. Kalau saya melihat Ayahnya, Beliau memang seorang bapak yang sangat menyenangkan. Mungkin hampir kepala lima tapi wajahnya masih terlihat cerah. Beliau suka bercanda akrab ke teman-teman anaknya. Mungkin terutama teman-teman putri sulungnya yang satu ini karena menang unik sekali, putrinya ini memiliki teman yang sudah seprti keluarga sendiri. Saya tidak menyangka saja kalau ternyata ayah teman saya itu punya beban yang berat juga. Tapi siapa sih yang tidak punya masalah dalam hidupnya?

"Dan selalu yang paling berat itu ada di Kakak pertama dan adik bungsu Ayah saya." sambungnya. "Nah, kali ini yang datang mengetuk pintu kemarin adalah putri pertama dari adik bungsu Ayah saya."

"Oooh..." Saya mengangguk-angguk, "Apakah itu sepupumu yang orang tuanya bercerai itu?"

"Betul. Bahkan Paman saya itu menceraikan istri keduanya. Terlebih lagi anak-anak paman saya dengan istrinya yang ini masih kecil-kecil. Saya jadi serba salah..." keluhnya. "Mungkin saya belum paham soal hal yang seperti itu. Tetapi saya paham bagaimana rasanya menjadi seorang anak. Mau ditutup-tutupi seperti apa juga, kami sebagai anak pasti akan menyaksikan satu atau dua dari perseteruan mereka. Mau seberapa tua umur kami, pasti kami akan tetap merasa takut dan kecewa. Pasti kami akan mempertanyakan dimana sebenarnya kami berada."

Bijak juga kata-katanya. Saya rasa ia benar. Saya tidak punya keluarga yang berseteru seperti itu. Hah, saya lagi. Keluarga saya semuanya kaku dan taat pada aturan. Pertengkaran kecil seperti rebutan mainan saja diselesaikan di panjang (literal, ya...) dan dituntut dengan kepala dingin. Mungkin orang tua saya itu memang bukan hakim, tetapi sikap pasifis mereka agak terlalu berlebihan. Kadang jatuhnya jadi seperti robot yang tidak berekspresi. Ada sih saatnya mereka menghangat, tapi mungkin pada saat-saat tertentu saja. Tapi sekali lagi, kalau saya ingat-ingat ketika Ayah dan Ibu saya yang stoik itu berdebat... Saya memang takut juga. Apalagi mereka sama-sama dingin begitu.

"Lalu, sepupumu itu datang ke rumah untuk apa?" tanya saya lagi.

Tiba-tiba ia kembali lagi menghela nafas pasrah dahinya terlipat ragu. Lalu ia menggeleng, "Itu dia. Itu yang Ibu saya masih belum mau cerita."

"Tapi kalau ia datang sambil menangis, berarti ada yang salah kan?"

"Benar sekali. Ibu saya bahkan bilang ini ada hubungannya sama adik bungsu Ayah itu. Saya jadi bingung. Apa saya minta adopsi dia saja ya? Saya dari dulu ingin punya saudara perempuan..."

Saya sedikit tersenyum mendengarnya, ia pun demikian. Di sela-sela kerutan dahinya ia tersenyum kecil juga. Namanya juga manusia. Kita senang saja untuk berpikir hal yang manis, untuk sedikit mengimbangkan beban di hati kita bukan?

Lalu ia kembali lagi bercerita tentang si beban, "Waktu itu saya dengar ia sempat terjerumus narkoba, tapi untungnya ketika saya bertemu dengannya lagi ia terlihat sehat dan baik. Sekarang Ibu saya lapor kalau dia tiba-tiba datang menangis. Broken home, kata Ibu. Hal yang pertama kali datang ke kepala saya adalah mengapa keluarga Ayah lagi? Ketika sepupu saya yang dari Ibu datang ke rumah di malam hari, dia bawa berita baik tentang training kerjanya di Jakarta. Kenapa giliran sepupu dari Ayah saya bawa berita buruk. Mungkin saya naif, tapi entah rasanya saya merasa tidak adil."

"Mmm... Manusia memang bisa berkata begitu. Tapi kita belum tentu tahu apa ini adil atau tidak." sambung saya.

"Iya. Tuhan itu memang Maha Adil. Tetapi kami manusia tidak bisa melihat kebaikanNya. Yang datang pada kami rasanya saya selalu salah. Ah, kalau begini rasanya saya jadi ikut-ikutan mempermainkan Tuhan." katanya sambil geleng-geleng kepala. Buru-buru saya membesarkan hatinya daripada ia terus ragu.

"Wah, wah, wah... Jangan berpikir seperti itu dong," berikut usaha saya, "Kan kamu yang bilang sendiri. Kita ini manusia. Kita tidak tahu apa yang menjadi aturanNya. Mungkin tidak kalau kebaikan sepupumu itu jalannya ada pada keluargamu? Bisa jadi kan? Kalau memang iya, kurang adil apa Tuhan?"

Lalu ia terdiam. Tampangnya tenang, tapi ricuh seperti ombak. Seperti lukisan abstrak juga. Pasti dipikirannya bertubrukan antara Tuhan, manusia, psikologi, sosiologi, hubungan keluarga, aturan, dan kenyataan. Semuanya lalu bertubrukan menjadi teori fisika. Setelah itu menimbulkan reaksi kimia di otaknya. Saya memang terdengar melantur, tetapi kalau dipikir-pikir itulah mekanisme ajaib ketika seorang manusia sedang bingung terhadap persoalan dengan manusia lainnya.

Tiba-tiba dari bibirnya yang tadi terkunci itu, dikeluarkannya sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang mungkin semua anak di dunia ini tidak tahu jawabannya. Pertanyaan yang memang mungkin dialami sepupunya tetapi ia mewakilkannya, bahkan mewakilkan pertanyaan yang kadang anak-anak dari para orang tua ini bertanya. Saya jadi teringat, guru les saya pernah bertanya hal yang sama ketika ia bercerita semasa remaja bertengkar dengan orang tuanya. Sebuah pertanyaan yang sama Bibi saya keluarkan ketika ia bercerita tentang sahabat semasa kecilnya yang skizofrenia akibat kebohongan-kebohongan yang ditutup-tutupi Ayah dan Ibunya. Pertanyaan yang tidak pernah berhenti dipertanyakan kami, sambil menunggu Tuhan mengirimkan jawabannya melalui waktu...

"Kalau memang ini semua adalah kesalahan Paman saya, mengapa harus anaknya yang mendapat bebannya? Apa ini pukulan untuk Paman saya agar beliau tahu bahwa beliau telah mengorbakan keadaan psikologis putrinya? Putrinya juga manusia. Seorang individu. Punya hati, punya jiwa, akal budi, dan kalbu. Hanya untuk mengembalikan seseorang ke jalan yang benar harus ada manusia yang sakit? Terlebih-lebih darah dagingnya sendiri... Saya tidak pernah mengerti. Saya tidak akan pernah mengerti. Begitu pula kau dan yang lainnya kalau memang mereka merasakan hal yang sama. Bagaimanapun selalu, kami manusia pada akhirnya hanya akan bisa bertanya dan mengusahakan apa yang ada. Selanjutnya akan terus ada padaNya. Saya rasa begitu pula jawaban pertanyaan saya."

Lalu suasana jadi kembali hening. Sekarang kami berdua sama-sama larut dalam ombak abstrak kimia-fisika tadi. Bertanya kepada masing-masing pribadi. Bertanya kepada Tuhan.

Sunday, March 21, 2010

Singapura, 22 Maret 2010

Akhir-akhir ini kerjaan saya hanya menulis naskah novel saya, browsing internet, membaca, mengulangi pola yang sama setiap harinya saya bangun. Ini semua dikarenakan kelas saya hanya ada dua hari dalam seminggu. Aneh. Bagi orang berkerja tentu waktu saya ini bisa dibilang berharga, tetapi lama-lama saya jadi merasa bosan sendiri dengan apa yang ingin saya lakukan sebenarnya.

Mungkin seharusnya waktu saya ini dapat saya gunakan untuk setidaknya sedikit-sedikit menyusun esai sejarah seni saya (tari, untuk lebih tepatnya). Pak Dosen memberikan sebuah film untuk kami analisa tentang tariannya. Tetapi saya berlari dari tugas saya. Saya merasa enek sendiri ketika saya tonton, filmnya merupakan propaganda Amerika Serikat soal Soviet pada Perang Dingin. Adegan tarinya tergolong sedikit untuk bisa dibilang "film tari". Pada akhirnya film tersebut jadi terlihat seperti film politik dengan tari dibanding film tari dengan politik. Entahlah apa yang akan saya tulis. Mungkin bercerita bagaimana tari di USSR itu sendiri berkembang, bagaimana sang koreographer berkerja dengan baik, dan film itu sendiri terlihat lebih fokus kearah "Soviet dan Komunis itu buruk". Untuk bicara objektif, kalau memang iya bentuk seni itu ada yang dilarang oleh pemerintahan Soviet ya, wajar saja karena memang itulah cara mereka memerintah. Yang saya tidak suka dan berulang kali saya kemukakan ke orang-orang disekitar saya adalah, kenapa harus film propaganda. Terlebih lagi Dosen saya itu orang Amerika, saya jadi tergoda untuk berhipotesa secara konspiratif. Mungkin kalimat saya barusan terdengar hiperbolik. Mungkin lebih tepatnya "Saya jadi merasa Pak Dosen punya pesan yang ingin ia sampaikan lewat film tersebut".

Yak, betul. Saya terdengar rasis. Tapi bukan itu maksud saya. Saya cuma ingin protes karena Amerika Serikat itu sudah sering kali memanipulasi media berkenaan dengan kepentingan politik mereka. Tentu saja. Amerika lah memang pemegang kuat media masa kini. Jujur saja. Kultur internet hampir semuanya kultur Amerika. Pembagian ras dan agama, hampir semuanya cara Amerika. Tapi terkadang jadi banyak orang yang berpikir pendek dan akhirnya mengambil sudut pandang dari sudut pandangnya Amerika saja. Begitu juga dalam film yang didominasi oleh mereka. Film mereka memang bagus dan berkualitas. Tetapi bukan berarti kita harus berpikir kalau informasi dalam film tersebut itu selalu benar.

Begitu juga media yang lain. Kadang memang, manusia itu harus benar-benar bijak dalam memandang informasi. Saya punya satu contoh, masih berhubungan dengan komunis. Ketika saya kecil, kalau saya tidak mau shalat atau mengaji, Ibu atau Ayah saya memarahi saya dengan cara "Kamu mau jadi orang komunis? Ngga punya tuhan?" atau "Kamu agamanya apa? Konfusis ya? Tuhannya apa?". Masalahnya disini orang tua saya sepertinya sudah keliru maknanya Komunis dan Ateis. Negara komunis tidak semuanya tidak beragama. Cina masih punya agama dan apa kabar dengan Buddha? Terlebih lagi, konfusis itu ajaran, dan memang kadang disatukan dengan kepercayaan tradisional cina. Tetapi cara mereka menegur saya itu menciptakan sebuah penilaian yang kesannya buruk.

Lalu kembali lagi soal komunis. Sejak kejadian G30SPKI, sepertinya orang Indonesia punya satu pandangan tersendiri terhadap komunis: brutal, kejam, tidak beragama. Pada akhirnya arti komunis yang sebenarnya jadi bias. Komunis itu sebenarnya pada dasarnya adalah kerataan kesejahteraan rakyat dimana pemerintah mendistribusi kemakmuran secara equal. Tapi sejak G30SPKI itu (dengan berbagai macam hipotesa dan teori yang kalau saya jelaskan bisa sangat panjang) imej komunis di mata Indonesia sedikit, atau mungkin justru berubah total. Mungkin kembali ke natur bangsa Indonesia sebagai bangsa yang hobi meng-alter-kan informasi dan mudah sekali di propaganda, orang-orang yang sepertinya menganut komunisme di Indonesia itu juga demikian (sama kasusnya dengan bangsa Indonesia yang menganut liberalisme sekarang). Yang saya sayangkan ketika saya kecil itu adalah saya tahu persis bahwa Ayah dan Ibu saya adalah orang yang tidak bodoh, bahkan terdidik, dan menurut saya mampu lebih baik mengolah informasi dari saya. Tetapi mereka bahkan menyamakan komunis dengan ateis. Kecenderungan mungkin, tetapi "komunis" dengan "tidak punya tuhan" itu benar-benar subjek yang berbeda.

Satu lagi kekeliruan keluarga saya dalam informasi adalah; Jepang adalah negara ateis. Saya sewaktu remaja sangat tertarik dengan kebudayaan Jepang. Saya belajar bahasa Jepang, menonton animasi Jepang (dan bahkan karenanya saya di label aneh, tapi itu akan saya untuk lain waktu), mempelajari budaya mereka juga. Saya suka dikritik oleh sanak saudara dengan, "Apa bagusnya Jepang? Mereka kan ngga punya tuhan." atau kalau mereka mendengar cerita kesuksesan negara imperial krisantemum itu, "Hebat ya mereka. Padahal mereka kan ngga punya tuhan. Nyembah matahari. Tapi bisa maju begitu."

Saya sekarang ingin tertawa mendengarnya. Tidak punya tuhan katanya. Justru sebaliknya. Ada banyak tuhan di dalam kepercayaan Jepang. Sangat banyak sekali. Hampir sama seperti Hindu, agama mayoritas di Jepang, Shinto memiliki banyak dewa. Memang dewi matahari Amaterasu-Omikami lah yang paling dihormati. Konon para kaisar Jepang adalah keturunan beliau. Mereka memang praktikal dan simpel. Shinto juga adalah agama yang tergolong kuno yang sanggup bertahan sampai sekarang. Kepercayaan kuno, selain juga politeis, berhubungan erat sekali dengan alam dan lingkungan sekitar mereka. Wajarlah jika mereka mendewakan matahari, mendewakan petir, mendewakan ini dan itu, punya mitologi dan kisah dibalik semuanya. Tetapi berpikir kalau mereka itu ateis? Lalu mengapa dewanya sebanyak itu?

Saya belajar dari satu video game, Persona 4 judulnya. Game itu berisi pesan moral bahwa jangan cepat terkonsumsi oleh informasi yang ada disekitar kita. Gosip. Media. Semuanya. Kadang pada akhirnya informasi itu membuat kita membuat suatu perjudis yang pada akhirnya mempengaruhi sudut pandang kita. Bisa saja informasi itu salah, bias, misinterpetasi dan sebagainya. Saya setuju sekali dengan filosofi itu. Tetapi game itu melanjutkan pesannya dengan "Carilah terus kebenaran". Kalau yang itu, saya ragu. Kebenaran itu subjektif. Kadang kebeneran itu bisa jadi adalah peranakan abu-abu dari opini dan fakta. Fakta sendiri hanyalah fakta. Iya tidak bernilai benar atau salah. Opini adalah sebuah pernyataan dari fakta yang telah diproses oleh sudut pandang. Kebenaran hanyalah ilusi dari sudut pandang itu sendiri. Jadi menurut saya cari terus kebenaran adalah hal yang absurd.

Tetapi mungkin akan lebih baik jika kita mengungakapkannya dengan "carilah terus kebijakan". Karena dengan banyaknya informasi, sudut pandang manusia, berita apapun medianya, kita lebih baik cari kebijakannya saja. Menambah ilmu itu tidaklah buruk. Semakin banyak kita tahu, semakin bijak kita jadinya (asal tidak mengikuti hawa nafsu untuk berubah sombong). Sebuah kalimat yang orang tua sering kali berikan kepada anak cucunya tetapi tidak pernah bosan untuk diucapkan. Sudah berapa filsuf, terutama dari Cina, yang mengatakan hal ini? Sudah berapa guru yang berkata "kantong kotoran" ini? Tetapi mereka sepertinya benar. Daripada bersikukuh menganggap sesuatu itu benar dan menjalani hidup dengan hal tersebut, tidakkah lebih baik kalau kita menjalani hidup dengan bijak dan menerima informasi apa adanya?

White Nights © Columbia pictures, 1985
Persona 4 © ATLUS, 2008
Singapura, 9 Maret 2010

Orang mengakui bahwa melihat air yang bergerrak tenag itu akan menenangkan pikiran, seperti halnya membasuh diri dengan air. Maka itu sunnahnya jika marah ambil wudhu. Logis.

Hari ini saya mendapat sebuah mimpi yang meneriakan keadaan psikis saya, tentu saja membuat saya tidak tenang. Akhirnya setelah makan siang saya memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dulu tetapi berlari ke Sungai Singapura mencari kesejukan batin. Tentu saja tidak secara literal, saya naik bus nomor 851 dari depan kampus lalu berhenti di Boat Quay. Setelah berjalan sedikit sambil melihat makhluk laut besar yang bentuknya sangat unik di restoran seafood yang berjejer sepanjang jalan, akhirnya saya tiba di depan sungai, mencari tempat duduk teduh, lalu berpikir. Di depan saya terbentang sebuah badan air yang cukup luas dengan Singapore Asian Civilization Museum terletak diseberangnya. Sepanjang jalan dari bus sampai sekrang saya berharap seandainya ada saja seseorang dekat yang menemani saya dalam perjalanan saya sekarang.

Rindu. Sebuah manisfestasi emosi yang sangat wajar dalam manusia. Tetapi entah mengapa rasanya kalau merindukan seseorang saya merasa seperti band-band dalam negri yang liriknya terlalu hiperbolik. Tetapi tidak juga. Saya teringat, baru saja kemarin Ibu mengunjungi saya selama tiga hari, membelakan waktunya hanya untuk mengirimkan obat rutin saya, padahal sebenarnya bisa dititipkan. Sangat simpel, Ibu saya rindu sekali pada saya dan ingin melihat wajah putrinya. Seketika saya mengantarkan Ibu ke bandara untuk kembali ke Ibukota, wajahnya terlihat seperti ingin menangis. Wajarlah untuk seorang ibu yang hampir 20 tahun membesarkan anaknya untuk melepaskan anaknya pergi, walau untuk pendidikan. Saya rasa saya juga seperti itu sekarang.

Saya mungkin sekarang rindu juga kepada Ayah dan Ibu, tetapi disaat-saat seperti ini saya sepertinya sedang lebih merindukan sahabat-sahabat saya. Mungkin sesaat terlintas pikiran "Kalau Ibu, okelah. Kalau sahabat? Mereka kan bukan siapa-siapa." Entahlah kalau kata orang, tetapi sahabat saya sudah seperti keluarga saya sendiri juga. Bahkan Ayah dan Ibupun sayang kepada mereka.

Suatu malam di ujung Sungai Singapura yang lainnya, saya duduk-duduk bersama dua sahabat saya, Sarah dan Depe (Putri). Kami bercanda, berbagi makanan bertiga sambil memandang keramaian yang ada disekeliling kami. Clarke Quay selalu aktif tiap malam, sebuah tempat yang selalu menjadi kunjungan turis. Kami bertiga berbicara tentang penyanyi pria yang bisa membuat kami terlena, Saya mengeluh kenapa saya tidak memiliki satu pun -- padahal saya wanita. Akhirnya mereka berkonklusi kalau saya memang tidak bisa terlena tapi mudah sekali kagum kalau memang penyanyinya berbakat. Kami tertawa, lalu, karena kebetulan kami sedang menikmati makanan dari negri Ratu Elizabeth juga, Sarah dan Depe meminta saya untuk berbicara dengan aksen Inggris untuk sekedar bercanda. Disela-sela itu, langit malam kami dihiasi dengan mekarnya kembang api. Tempat dimana kami duduk mendapatkan view yang cukup bagus, barulah setelah itu kami berjalan-jalan disekitar sungai.

Kejadiannya baru saja sebulan yang lalu tapi rindunya sudah terasa.

Sedari tadi saya mendengarkan koleksi lagu mellow yang koleksi syairnya seperti perasaan saya sekarang. Yah, mungkin seperti lagu band dalam negri tadi, hanya saja mereka tidak hiperbolik, tetapi lebih kearah simpel, jujur, dan menyentuh. Tidak gombal. Berkumandang sepanjang perjalanan tadi suara seorang artis muda dari negri Ratu Elizabeth, Paloma Faith dengan lagunya "Stargazer". Menurut interpretasi saya (karena setiap orang bisa saja berbeda) Ms. Faith bercerita tentang seorang gadis yang kehilangan orang yang telah memberikan sebuah hadiah kepada hidupnya, bukan hanya cinta, tetapi juga kebijakan, dan pelajaran hidup dengan diungkapkan sebagai "bintang-bintang". Di bagian refrainnya Ms. Faith mengumandakan bagaimana si gadis tidak akan lagi bersinar tanpa kehadiran orang tersebut. Walau sahabat-sahabat saya tidak sepenuhnya menghilang, tetapi perumpamaan "mencari mereka diantara bintang" itu sangat indah bagi saya.

Saya jadi ingat sebuah cerita lagi tentang sahabat saya. Dulu ketika saya duduk di kelas dua SMP, saya punya empat orang sahabat; Dayat, Unggul, Febby, dan Mirza. Sampai sekrang saya masih terus bersama Dayat, Unggul, dan Febby. Tetapi Mirza sempat menghilang. Dulu kami yang waktu itu masih polos sempat kesal padanya karena ia pada akhirnya bergaul dengan kumpulan anak-anak yang suka mengganggu kami. Kami akhirnya pasrah dan tidak berhubungan dengannya lagi. Suatu hari Febby bercerita pada saya.

"Gue ketemu Mirza!" katanya.

Saya kaget. "Hah!? Kok bisa!?"

Mirza satu kampus dengan Unggul, tapi memang dasar Unggul yang sifatnya yang super gengsi dan "sok-sok tidak sensitif" itu tidak pernah bercerita banyak soal Mirza. Tapi Unggul pernah bilang, Mirza ingin berkumpul dengan kami berempat lagi.

Jadi, Febby yang sedang pergi ke acara kampusnya Unggul tiba-tiba dipertemukan dengan seorang pria tinggi yang diseret-seret oleh Unggul. Unggul dengan luwesnya bilang "Noh. Masi inget ngga?" Mirza tadinya berpikir dulu sedangkan Febby cuma bisa termangu melihat kalau Mirza tetap tinggi, sementara Febby yang kecil tidak tumbuh-tumbuh. Dan dengan terkejut Mirza menyahut "Febby!?"

Dan Febby bilang kalau Mirza ingat semuanya. Ingat kapan terakhir kali kelimanya ada bersama dan berharap berkumpul bersama lagi kalau Dayat pulang dari Akademi Militer nanti. Febby terharu, sekalipun itu melihat Unggul dan Mirza yang kembali akrab dalam menggodai Febby. Saya juga. Mungkin memori baik itu masih melekat padanya dan saya rasa itulah sahabat. Kami berlima dulu termasuk anak-anak yang entah atas dasar apa tidak terlalu disukai oleh anak-anak lainnya sampai mungkin hanya Mirza saja yang berhasil bergabung dengan anak-anak lainnya itu. Tapi karena mungkin itu juga makanya kami jadi sangat dekat sekali.

Suatu hari di masa itu, ketika saya pulang dari Medan di malam hari saya menulis sebuah cerita pendek dengan tokoh "Febby" dan "Mirza" di dalamnya, sebagaimana keduanya adalah yang paling muda dan paling tua diantara kami. Terbukti dari sifat Mirza yang kekakakan dan Febby yang "bocah" dan paling sering diusili. Disitu bercerita bagaimana keduanya duduk-duduk berdua sambil memandang bintang di langit malam liburan mereka bersama tokoh "Dayat", "Unggul", dan "Manzo" yang sudah tertidur pulas hari itu. Keduanya berkhayal seperti apakah mereka nanti di masa depan dan ingin jadi seperti apa, berpikir apakah semuanya akan sebaik saat itu. Saya rasa akan saya bongkar lagi lemari buku saya liburan nanti, mencari apakah buku yang saya tulis tentang itu masih ada atau tidak.

Dan saya jadi teringat. Masa itu, Febby suka sekali dengan film animasi berepisod yang pendek yang berjudul "Twin Spica". Bercerita tentang empat orang anak SMP yang berharap suatu saat nanti bisa pergi ke luar angkasa dan drama tentang persahabatan mereka. Lagu temanya merupakan lagu tembang era 60-70an dari Jepang berjudul "Miageta goran, Yoru no Hoshi o" -- "Coba lihat keatas, kearah Bintang di Langit Malam" yang kurang lebih isinya sama dengan cerita film tersebut. Saya ingat bagaimana lagu itu menjadi lagu kami semua. Lagu yang diputar ketika kami ada bersama, bermain maupun belajar menghadapi ujian.

Mungkin cerita tentang Sarah dan Depe juga Mirza hanyalah contoh kecil. Ketika saya berjalan sendirian di pulau kecil yang suasananya jauh lebih enak dari Jakarta ini, kadang saya teringat mereka. Betapa nikmatnya jika saya bisa membagi pemandangan yang sedang saya lalui ini bersama mereka. Betapa menyenangkannya duduk di bis dan menikmati seluruh kota dari ujung timur ke tengah kota. Kadang saya suka berpikir kalau di Jakarta itu yang kami bisa lihat hanyalah mall. Tapi sekali saya pernah bersama Febby dan Yuli benar-benar menikmati kota Jakarta. Mungkin tidak senyaman Singapura, tetapi mungkin pengalaman itu jauh lebih menyenangkan daripada hanya sekedar berputar-putar di mall. Mungkin ketika saya berjalan sendirian, saya cukup berpikir alangkah baiknya jika kita sama-sama membagi hal yang mungkin tidak dirasakan secara fisik ini. Mungkin ini bentuk rindu saya. Tapi mungkin, jika perasaan rindu ini tidak ada, mungkin hubungan kami tidak terasa seberharga ini. Hanya mungkin, jadi mungkin saja ada arti yang lain dari perasaan saya ini dari sekedar rindu. Rindu orang lain yang mungkin tidak sedarah dengan saya tapi hubungannya saya rasakan erat di dalam benak saya.

Thursday, March 4, 2010

Singapore, 2 March 2010

Is it okay if I hope if things will go better on Obama's reign? I dunno, is it me who was still really young at the time so I don't really understand anything, or the world really began to screwed since Bush took the charge? I notice, aside the sexual scandal thing, nothing much is happening during Clinton's regiment. Things really began to screwed up on Bush's. Terrorism, big-frontal-eye-opening war, economic breakdown, and everything. I thought we had enough with antisemitism, now we're creating Islamophobia. Yet perverted Shinto and Hindu never bug those extremist. Not religiously speaking, it's just weird. It's not 'not fair' either, it's just weird.

I may not jumped on problems like this but the thing is USA is the most (or probably obsessed to be the most) influential nation that ever existed. They put their asses to almost any problem in every single part of world. I remember once I read about this article, but there is this concept that the Americans created that their government will save the other nations. That would be a missionary concept thing to motivate them to excel and created what they have become now. US has great hold of the UN, US buddies other large countries on Europe, they have this "secret societies" going on, and whatever mystery that CIA beholds. (Let's just say that US is a) He pretty much holds everything in the world so if they tell to cut the world in a half most people would likely do it, even if most people opposes, Americans always have the way to prevent opposition to happen. So if another extremist person rules dear brother USA, you can guess what will happen.

Come to think of it, things are quite good enough in Suharto's reign. Until for whatever--wait, Suharto was accused for doing in-authority corruption wasn't it? Somehow I feel that this might have some connection to the raise of SBY and that shadowy organization who controls him. They let Indonesia suffer a little bit until they finally get their hands on the government then start to build Indonesia the way that they thing would be best...

But of course, that was just my work of fanfiction. I don't know what's happening either and the fanfiction I just created on previous paragraph has too many plot holes, perhaps you can use it to oppose me or fill the holes instead. Or perhaps I just miss the 90s. 90s was the nicest.

While were on the 90s, I still remember about the 98 riot. I hid under my bed and my dad was quite a figure in his job, made us having one of the latest BMW as our family vehicle. Then there was this gossip about how the wealthy will have their house burnt by the masses, it definitely scared me. Not that I superficially enjoy my dad's wealth (I'm not even aware of it, they never gave me much toys as my friends does so I think we were pretty ordinary), but I just didn't want a simple stupid reason like having a BMW in our garage allows strangers to burn your house and family down. Hell, I didn't even knew what was the market of BMW at the time. All I know that that car is super cozy and homely and no one lay hands on my family. What more can a 8 year old little girl could think at the time? So I found that experience was rather abusive than traumatic. Do you imagine how many children suffered the same fear at the time? Ruthless adults, I thought. But perhaps this is just the way the world goes.

Oh, I kinda have a question as well. Is it me or is it like there was this kind of magic that lets Noordin M. Top (my dear sworn enemy since high school, yea, he made my life hell back then *lol*) captured only a month after the second Mariott bombing on 2009. Weirdly enough, it was done by the special force team that was built 7 years prior (just a year after the first Bali 2002 bombing) to the raid and trained by the US National Services. I remember my brother who is as just as freakishly into social science as I am jumped at me telling Noordin M. Top has just been captured. He said, "You have to see this special force! They trained by the CIA!". While he opened wiki and other articles, I sat down and made my own rebus bubble: (Terrorist+relatively new special force+relatively fast investigation+US Government=????).

You might wanna help me find the answers. Algebra alone cannot define the answer and nothing justifies the right or wrong. In the end of the day, we just believe want we want to believe after all.

Generally, US is not entirely bad. They created things I adore and like for years. But sometimes, growing up as an adult makes you sees the point of view you don't want to see and it rapes you, in a sense. Not that I changed my point of view, but sometimes they persuades you through and through. That sucks. Sometimes they judge you such things like "if you're using US products that means you pro to their tyranny" or "we will banish you if you like what US had created and such". But I guess, it's not just US. This world created with dark and white sides and we're basically taking only the grays, so there must be a conspiracy or I would prefer it to be called "propaganda" behind every single thing. If you're saying McDonalds is created to make profit for the US to do another invasion, then what about the other things that the other country created? Don't you think anime is mindraping so many people, preferably the youngs, not to mention how it turns so many adults into lolicons, but you never justify anything to Japan? So everyone creates their bias, it spreads and it become a theory, the theory gets wild, thus creating paranoia. It has that kind of mechanism and I think is natural because we're humans, we're created to think better and seek for what is defined by "right". Since we also have emotions, what we think affect how the way we feel. What we feel sometimes creating the urges on our desires that makes us act based only on what we feel instead of rethink about it again. Once I also wrote a note how point of view can be controlled by our ego and how our ego pushes us to persuade people to see in the same point of view as we are.

Perhaps the whole universe is God's conspiracy to select what's the worths of humans and what's not.
Singapura, 25 Februari 2010

Dari kecil saya terlahir objektif. Terlahir kritis dan skeptis. Saya tidak mudah percaya, tidak mudah juga terhasut, dan tidak mudah menentukan sudut pandang. Mengapa? Karena saya tahu bahwa setiap manusia akan mempengaruhi manusia-manusia lain untuk mendukung sudut pandang yang mereka ciptakan. Sama seperti saya yang menuturkan apa yang saya tuturkan disini, tanpa sadar, di dalam ego saya yang terkubur, saya mengininkan Anda untuk setidaknya setuju dengan apa yang saya tuturkan.

Manusia memiliki sistem yang mereka kenal sebagai "opini". Opini memfasilitasi manusia untuk mengutarakan apa yang mereka pikirkan dan rasakan terhada suatu subjek. Opini memilliki kesan yang jauh lebih pribadi daripada komentar. Komentar bisa meraup apa saja, sedangkan opini datangnya dari dalam diri kita manusia, sebagai makhluk yang dapat berpikir dan punya nilai dasar moral.

Opini-opini yang diciptakan oleh seseorang akan membentuk sebuah sudut pandang. Sudut pandang seseorang adalah bagaimana orang tersebut secara general menanggapi sesuatu di dunia ini dan juga di dalam dirinya. Kembali kepada natur manusia yang egosentris, manusia akan menkankan sudut pandangnya kepada orang lain. Sama halnya akan keinginan akan opininya di dengar oleh orang lain. Karena sudut pandang halnya sudah lebih besar daripada sebuah opini, maka ego yang ditekankan di dalam sudut pandang otomatis akan lebih besar daripada opini.

Tentu saja sudut pandang setiap manusia di dunia ini berbeda, sama seperti sidik jari, tidak ada satupun yang sama. Mungkin mirip, tetapi tidak sama. Jika kita bayangkan, menghitung jumlah manusia di dunia ini, dengan sudut pandang yang saling dipaksakan di dunia ini, bisa Anda bayangkan betapa hebatnya gesekan-gesekan yang timbul dari satu sudut pandang ke sudut pandang yang lainnya? Tentu saja mengerikan bukan? Hal tersebut dapat kita lihat dari perdebatan kecil antara satu individu ke individu lainnya sampai kearah penyerbuan satu ras/agama ke yang lainnya. Semata karena perbedaan sudut pandang dan kpercayaan.
Kepercayaan, bukan berarti terbatas akan sudut pandang religi, tetapi apa pun yang berupa informasi, pengalaman, memori, yang pernah kita alami dan kita anggap secara keseluruhan. Sama seperti seorang anak percaya kalau ia baru saja melihat figur Kakeknya yang telah meninggal sedangkan orang tuanya tidak percaya karena menurut orang dewasa tidak mungkin seorang yang telah meninggal kembali lagi ke dunia orang hidup. Anak itu tidak memiliki informasi sains menyangkut kematian seperti yang orang tuanya punya, tetapi ia memiliki pengalaman akan melihat sendiri figur Kakeknya tersebut. Sama seperti pandangan politik dan agama. Para anggota partai mendukung kandidat mereka karena mereka percaya atas kandidat mereka. Atau bagaimana fans dari dua klub sepak bolah yang bertanding membuat kerusuhan besar semata-mata karena hanya ingin memaksakan kepercayaan mereka atas tim yang mereka anggap paling baik.

Dalam hal keagamaan, kepercayaan tentu saja adalah hal yang sangat dasar. Seorang umat beragama percaya atas agama mereka karena ia telah memenuhi syarat untuk percaya seperti menerima informasi, mengalami, dan membuktikan. Disinilah sudut pandang mulai berperan dan bergesekan. Bahkan kedua orang yang berbeda agama bisa saja memiliki sudut pandang yang berbeda. Perang antar konsep agama ini bisa dibilang fenomena menarik untuk mempelajari ego manusia karena peluangnya sangat tidak terbatas dan kita bisa melihat seberapa kuat manusia mengeluarkan naluri bertahan mereka untuk membela sudut pandang masing-masing.

Teknis defensif manusia dalam membela sudut pandang mereka sangat bervariatif. Manusia akan membagikan pengalaman yang memberikan bukti dari hal yang dipertanyakan dari sudut pandang mereka, mengutip informasi bahkan memanipulasinya, termasuk juga mengancam dan mengeluarkan kekerasaan jika super-ego mereka sudah mengontrol mereka secara berlebih. Saya ingat beberapa minggu lalu ketika saya sekeluarga sedang bicara tentang mengapa umat Muslim dilarang mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat kristiani. Menurut saya, hanya sekedar memberi ucapan selamat adalah hal yang sangat dasar bahkan kadang tidak dilakukan sepenuh hati. Saya berargumen, "apakah kalau begitu memberi ucapan selamat ulang tahun tidak diperbolehkan juga?". Mereka memberitahu secara teknik informatif, dengan memberikan ucapan "selamat natal" kepada umat kristiani berarti kita menganggap kebenaran bahwa Yesus lahir pada tanggal 25 Desember. Itu adalah salah satu metode mereka memaksakan sudut pandang mereka terhadap topik yang sedang dipertanyakan tadi. Tentu saja saya menggugah bahwa saya tidak percaya Yesus dilahirkan pada tanggal tersebut karena 25 Desember adalah tanggal penyesuaian dari kultur daerah setempat yang menganut ajaran Kristiani pada awal penyebarannya. Dilanjutkan dengan teknik manipulasi pembicaraan, orang tua saya berkonklusi; kalau Anda tidak percaya bahawa Yesus dilahirkan pada hari tersebut, maka jangan ucapkan selamat hari natal. Itu tanda bahwa Anda mengakui bahawa Yesus dilahirkan pada hari tersebut. Kecuali Anda mengucapkan dengan metode "Selamat Hari Natal kepada yang merayakannya" atau "Selamat untuk Anda yang sedang merayakan hari Natal" dimana itu ditujukan untuk si peraya bukan kita yang tidak merayakan.

Bingung bukan? Itu masih tergolong perdebatan dasar atas pembelaan sudut pandang dalam manusia. Sampai sekarang saya tidak menganggap Natal sebagai hari perayaan agamis untuk lahirnya Yesus, tetapi juga tidak mempraktekan ajaran Islam yang terlalu mengekang. Karena saya punya sudut pandangan sendiri juga.

Manipulasi dan persuasi adalah salah satu bentuk yang paling sering digunakan untuk menekankan sudut pandang. Mekanismenya hampir sama dengan pencucian otak. Pencucian otak terjadi ketika basis dan fondasi sudut pandang seseorang atas hidupnya sudah berhasil diubah secara absolut oleh orang lain dimana hal tersebut menciptakan sebuah sudut pandang baru yang sama sekali berbeda dengan sudut pandang sebelumnya. Dalam hal agama, contoh yang saya tahu akan pemaksaan sudut pandang semacam ini adalah proses Kristenisasi dan ajaran Radikal Islam. Saya akan bahas lebih mengenai bagaimana pencucian otak dilakukan di Islam karena saya lebih kenal agama ini dan dibesarkan dengan nilai-nilai ajaran tersebut.

Yang paling jelas adalah bagaimana mereka menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur'an. Menurut saya sendiri, Al-Qur'an bukanlah hanya untuk dibaca dan ditelan mentah-mentah. Maka itulah ada istilah "tafsir" dan membaca Al-Qur'an dalam bahasa Indonesia disebut "mengaji" yang diambil dari kata dasar "kaji". Sayangnya kebanyakan dari para pemimpin gerakan Radikal Islam dan sebagainya itu cenderung menelan mentah-mentah susunan ayatnya ketimbang memikirkan baik-baik maknanya. Contoh paling mudah adalah "jihad". Entah umat Muslim yang mana yang menafsirkan bahwa jihad berarti perang, membasmi, membantai, dan membunuh. Hal ini memberi pengaruh besar karena sistem manipulasi, persuasi, dan pemberian sugestinya yang hebat, ia berhasil membuat hampir semua umat muslim percaya dan mengakui bahwa itulah arti jihad yang sesungguhnya. Bahkan ia membuat para umat non muslim percaya juga bahwa arti jihad yang sebenarnya adalah demikian. Ia membuktikan bahwa adanya umat Muslim yang disiksa dan dibasmi entah di belahan dunia yang mana dan sebagai umat Muslim lainnya, ia percaya dan mengajak untuk "berjihad" demi membela agama tersebut. Maka dari hal tadi terciptalah sebuah pengubahan sudut pandang secara masal atas konsep "jihad" dari arti dan makna dalam yang sebenarnya dengan datangnya umat Muslim yang berbondong-bondong dan berbuat barbar atas alasan "jihad" dan meyakinkan orang yang dibantai mereka (berikut juga orang yang menyaksikannya) kalau mereka melakukan hal tersebut karena "jihad" dan "atas nama Allah". Dari hal ini kita bisa melihat bahwa prosesnya mencakup pemanipulasian informasi, pengkoleksian bukti, berikut penanaman sugesti/persuasi yang intens. Untuk dalam kasus jihad, para manusia tersebut juga mempraktekannya karena mereka menganggap "jihad" adalah kata kerja. Hal ini menciptakan suatu pandangan baru dimana akhirnya orang non Muslim menganggap bahwa Islam adalah agama yang kurang ajar dan tidak berkeprimanusiaan. Jika kita pikir-pikir lagi sebagai manusia, tidakkah hal ini justru ditimbulkan dari ego dan keinginan sesorang untuk mempaksakan sudut pandangnya atas apa yang ia percaya? Agama hanyalah sebuah konsep dan ilmu, yang bersikap dan mengaplikasikannya adalah manusia. Bagaimana manusia yang menganut agama tersebut mengaplikasikan apa yang telah ia proses dari pemahaman agamanya lah yang menciptakan imej bagaimana agama itu di mata orang yang menganutnya. Menurut saya semua agama, termasuk Islam, mengajarkan untuk mencari ketenangan di dalam jiwa dan diri masing-masing begitu juga sekitarnya. Saya menilai ini secara objektif, bukan karena kartu identitas kenegaraan saya mencantumkan "Islam" dalam kolom agama saya. Karena sebagai perbandingan, ayah saya dan para radikal itu sama-sama beragama Islam. Tetapi ayah saya boro-boro membunuh manusia, memukul anaknya saja tidak pernah. Hal-hal seperti itulah yang saya rasa menimbulkan presepsi tentang sudut pandang suatu subjek secara keseluruhan.

Begitu juga agama Yahudi di mata umat Islam. Umat Islam menganggap Yahudi itu kejam dan tidak berkeprimanusiaan juga, karena membantai banyak sekali umat mereka, untuk kasus yang paling konkrit, di Palestina. Tetapi kalau kita telusuri kembali, agama Yahudi yang autentik justru adalah ajaran yang nantinya akan melahirkan Islam.

Orang-orang terus saja diberikan informasi yang berupa dan berbagai macam. Apalagi sekarang informasi adalah hal yang sangat mudah sekali didapatkan dan kadang integritas dan harganya kerap kali dipertanyakan. Informasi, adalah hal yang paling halus dalam pembentukan suatu sudut pandang. Ia mudah sekali dimanipulasi dan diinterpretasikan sesuai dengan kehendak dan nafsu si manusia yang menangkapnya. Manusia memiliki naluri untuk ingin tahu dan belajar. Semakin banyak informasi yang ia terima, akan semakin menentukan sudut pandang yang akan ia ciptakan. Ego dan keyakinan atas sudut pandangnya akan membuat ia lebih defensif dan memperjuangkan sudut pandangnya tersebut. Kembali lagi dalam konteks agama, umat Islam kerap kali diperintahkan untuk "berjihad" atas agamanya. Hal ini menurut saya berpengaruh terhadap kekuatan ego para umat Islam untuk mempaksakan sudut pandang mereka (dengan cara yang sangat tidak efisien tentunya) dan meng-alter-kan arti sesungguhnya dari "jihad atas agama" mereka tersebut. Hal ini semua dipengaruhi akan kondisi kejiwaan manusia pada dasarnya dan bagaimana manusia punya nafsu untuk mengikuti hal yang cenderung memaksakan kemanusiaan mereka terhadap manusia lain.

Sekarang, bicara subjektif, saya menulis hal ini bukan karena saya mengakui bahwa umat Islam itu brutal dan tidak berperasaan. Apalagi karena saya mau menyebarkan agama baru dan mencuci otak "umat Islam yang mengikuti nafsu mereka itu" untuk tidak berperang di agama Allah. Yang saya katakan tadi, setiap manusia punya sudut pandang mereka sendiri. Saya percaya terhadap sudut pandang saya sendiri dan saya tidak akan terpengaruh dengan apa yang menurut saya tidak berjalan dengan logika atau norma manusia pada umumnya. Kembali lagi, saya merasa hal ini bukan dikarenakan atas ajaran agama tetapi bagaimana individu memproses dan memberi sugesti terhadap dirinya sendiri terhadap ajaran agama tersebut. Jika satu individu pada dasarnya berpikir negatif dan mengikuti nafsunya saja, maka ajaran agama yang seharusnya benar pun akan jadi salah. Sebagai manusia tentunya kita lebih baik merenung dan berpikir matang-matang daripada hanya sekedar memikirkan sisi negatif dari suatu hal. Saya sendiri bangga atas ajaran agama Islam, tetapi tidak bangga kepada manusia-manusia yang merusak ajarannya. Begitu juga bagaimana agama Yahudi dan Nasrani sudah banyak berubah sekarang. Rasanya sayang, dari arti ayat surat perintah berjihad di Al-Qur'an yang menurut saya begitu dalam dan membangun kepercayaan diri diinterpretasikan menjadi suruhan manusia untuk saling membantai satu sama lain dan dengan asalnya mengatas namakan Tuhan. Tidakkah Allah berkata bahwa "dianjurkan atas engkau untuk berjihad, tetapi Allah tidak suka kalau kau melampui batas"?

Ini adalah cara saya untuk memaksakan sudut pandang saya terhadap Anda sekalian, tidak hanya umat Islam, tetapi semua manusia pada umumnya, sadarkah Anda kalau sudut pandang Anda selama ini dikontrol terhadap reaksi ego Anda sendiri dari apa yang ada pelajari, alami, dan pahami? Saya rasa ini waktunya untuk kita semua sebagai manusia untuk berpikir jauh lebih dalam, paling tidak terhadap diri kita sendiri, demi mencegah interpretasi pikir pendek yang menjerumuskan kita untuk cenderung menekankan ego kita dan menciptakan benci terhadap umat manusia lainnya.
Jakarta, 12 Februari 2010

I wonder, what makes authority and money that special. Which leads to the concept of "privilege". Why "privilege" exists? Is "privilege" used to honor the higher?

Begini, anggaplah seorang pemimpin. Pemimpin itu berbeda dengan penguasa. Pemimpin itu "memimpin", sedangkan penguasa "berkuasa". Kalau "privilige" diciptakan untuk menghormati seseorang yang statusnya diatas kita, maka pemimpin dan penguasa adalah salah satu diantaranya yang mendapatkan "privilige" tersebut. Tetapi jika memang pemimpin itu hadir untuk memimpin, maka apakah seharusnya ia tidak butuh "privilge" tersebut? Semua orang tahu, pemimpin hadir untuk mewakili orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin butuh orang untuk dipimpin, kalau tidak, maka ia tidaklah lagi disebut "pemimpin". Semua orang juga tahu kalau pemimpin butuh mendengarkan apa saja yang diucapkan orang-orang yang ia pimpin, jika tidak, maka ia tidak ada bahan untuk dipimpin. Yang pasti, seorang pemimpin harus lebih bijak, sabar, dan berani mengambil keputusan yang terbaik untuk orang banyak. Intinya, kita semua tahu teori dan syarat apakah yang dapat menjadikan seseorang untuk menjadi "pemimpin". Karena itulah, seorang pemimpin hadir untuk orang yang dipimpinnya dan memberika apa yang ia dapat untuk memimpin orang-orangnya. Jadi dimanakah letak "privilege" untuk seorang pemimpin kalau ia kurang lebih sama saja dengan orang-orang yang dipimpinnya?

Masalahnya akhir-akhir ini orang seringkali menyamakan "pemimpin" dan "penguasa". Orang tidak bisa membedakan yang mana "pemimpin" yang mana "penguasa". Ayah saya adalah pemimpin bagi keluarganya, tetapi bapak presiden adalah penguasa. Tapi akhir-akhir ini semua orang menyebut bapak presiden "sang pemimpin", padahal sudah jelas sekali kelihatan bedanya. Okelah kalau soal bapak presiden itu adalah "kaki tangan dari penguasa yang sesungguhnya", tapi intinya ia mewakili para penguasa itu juga kan? Nah maka itu, kembali lagi ke pertanyakan yang diajukan tadi, pemimpin yang tidaklah lagi menggunakan akal budi dan kebijakannya, tetapi malah mengikuti ego dan nafsunya, ia akan mudah sekali berubah jadi seorang penguasa. Mengapa? Karena itulah, ia merasa "priviliged". Ia menganggap dirinya lebih bijak, lebih pintar, dan lebih berani, maka ia pun harus mendapatkan hal yang lebih.

Menurut saya hal ini adalah hal yang sangat mudah sekali dipahami. Saya rasa anak TK pun bisa membedakan yang mana yang disebut pemimpin dan yang mana yang disebut penguasa (yang membuat saya menjadi berpikir, mungkin ada baiknya jika saya menanyai anak-anak TK lokal tentang "pemimpin" dan "penguasa" untuk melengkapi pendapat saya. Jawaban mereka bersih dan jujur, tidak dipengaruhi oleh ilmu, teori, dan imej akan jawaban yang mereka berikan).

Masih soal kekuasaan dan kekayaan, saya jadi teringat tentang pembicaraan saya dengan seorang teman minggu lalu. Kami sedang mempelajari teori konspirasi "New World Order". Kami membaca dari berbagai sumber, menonton video tentang mereka, dan mengupas apa yang kira-kira mereka lakukan dan mereka rencanakan.

Lalu saya bertanya dengan teman saya tersebut; "Kira-kira mereka memperlakukan manusia dengan cara seperti ini tujuannya untuk apa? Ini sama sekali tidak memberi keuntungan apapun terhadap manusia."

Dan teman saya dengan mudah saja menjawab; "Yah, sama seperti yang sudah-sudah. Mereka mengejar kekuasaan dan kekayaan."

Besok guru mengaji kami datang ke rumah. Saya ingin bertanya apakah di Al-Qur'an atau hadis Nabi SAW ada frase yang dengan spesifik menyatakan bahwa kekayaan dan kekuasaan itu adalah salah satu nafsu besar manusia yang merugikan dan sulit sekali dihindari.

Saya rasa, natural sekali untuk manusia mengikuti hawa nafsu mereka. Kalau kebanyakan orang bilang "manusia itu egois", saya lebih suka dengan istilah dari Sigmund Freud. Manusia cenderung kalah dengan Super-Ego mereka. Karena Freud mendefinisikan bahwa super-ego lah yang didasarkan hawa nafsu. Sayang sekali saja rasanya kalau sebenarnya manusia itu punya kemampuan yang jauh lebih berguna ketimbang menyusahkan manusia atau makhluk hidup lainnya karena super-ego tadi.

Dalam hati saya mentertawakan manusia, padahal saya sendiri juga manusia.

Akhir-akhir ini saya juga sering berpikir, "Benarkah hak seseorang untuk bagaimana ia menanggapi sesuatu atas penilaian dirinya sendiri, bukan atas pengaruh orang lain?" dan juga "Benarkah juga hak seseorang untuk mempercayai apa yang ia percayai?"

Dunia dan pikiran manusia ini kadang memang terlalu kompleks. Padahal kami hanyalah sebagian kecil dari jagat raya, yet sudah sangat kompleks.
*Via Yahoo Messenger, dengan sedikit editan*

Depe:
njooo
Depe: maaf njo lagi nonton metro
Depe: parah ini lagi parah banget kasusnya
Depe: masa depan Indonesia lagi di sini
Manzo: oh sori ganggu
Manzo: wah wah
Manzo: masih soal paripurna?
Depe: yaa
Depe: lo tau kan?
Depe: akhirnya C yang menang
Depe: opsi C!
Depe: ALHAMDULILAAAAH
Depe: tapi yah biasalah lagi pada heboh aja daritadi makanya gw manteng di tv sampe
Manzo: emang gimana sih?
Manzo: gue ngga terlalu follow
Depe: iyaa kan pansus udh selesia tuh rapat2nyaa
Depe: naah ada 3 opsi yang di kasih pansus yang harus dipilih nih sama fraksi paripurna
Manzo: opsinya apa aja? (ngga nonton dari episode pertama ceritanya)
Depe: naaah kan kalo A itu opsinya kasarnya kasus ini di closed lah, gak ada apa-apaan, kalo B itu abstain dan daritadi di bilang yg milih abstain itu banci, haha kalo C jelas pada mau ngebahas dan memproses secara hukum orang2 yang jelas apada salah seperti boediono n sri mulyani beserta komplotannya~
Depe: GILAAAAA! PARAH ABIS~
Depe: Terus PKB 25 orang milih A, tapi anaknya gusdur sendirian milih C!
Depe: SISANYA paada C semuaaa, tapi vote ulang kan gw gak terlalu ngikutin kenapa
Depe: naaaah pas vote kedua masih sama
Manzo: wah seru!!! O,o
Depe: tapi sialannya tau tau PAN pindah ke A! najis banget kan? tau deh, di pengaruhin kali ma demokrat!
Depe: naaaaaaaaaaaaaaaaaaaah sekarang udah kepilih deh jo pilihannya c!
Depe: hehehe makanya gw sama sarah lagi seneng banget
Manzo: *udah males juga bisa jadi lol*
Manzo: pasti C nih?
Depe: iya mudah2an sih beneran c, kalo sampe di tunda lagi gw rasa bakalan ada demo yang lenih parah dari ini
Manzo: buka metro ah
Depe: iyaa jo, buka lah buka. lo tonton deh mantep abis nih sumpaaaah!

*Manzo pun menonton metro TV via streaming*

Manzo: bener kata lu
Manzo: 98 kedua kali iya
Depe: iya makanyaa, gw sama sarah udah khawatir banget bakalan ada 98 kedua seharian in i
Depe: masalahnya td udh ada mahasiswa luka luka
Depe: dan setau gw sihhh sampe malem ini masih banyak manahsiswa n pendemo depan gedung dpr mpr
Manzo: iya gue baca di kompas kemaren O.o
Depe: udah gitu td pas nonton gak pentingnya ada om gw gitu wkwkwkwkkwkw
Depe: untuuuuuung aja dia milih C! dari hanura sih
Depe: hebat loh hanura gerindra pada c
Depe: ga heran, saingannya SBY kan, pas demokrat anjlok pada kesenengan dah
Manzo: wahahahahhaa
Depe: hahah sumpah yah tadi kan itu acarnya live, tapi dr breaking news kan. Nah ada salah satu fraksinya PAN di acara breaking news lagi sama Najwa. nah kan si PAN pindah2 nih, si Najwa enak banget gitu ngomong; "Pak, gimana nih, td kalo abstain katanya banci, terus kalo pindah2 banci juga dong?" Terus si bapak menjawab; "Wah mbak, kalo di katain banci bisa ada yang tersinggung. Yah namanya juga politik kan bisa dong berubah pandanagn dan blaaaa blaaa ~~" sejuta deh alesan ngelessnya!!!! Terus si Najwa bilang "Oh bukan banci, kalo gitu apa dong namanya kalo bukan banci??" (Depe ketawa ngga keruan)
Depe: paraaaah! gila banget Najwa, udah deh si fraksi ngelessssssss aja bisanya! tai bener
Depe: hahahahahahaha
Manzo: wahahahahahahahaha
Manzo: opsi AC apa nih pe?
Depe: AC itu gak jelas!!!
Depe: tadi gw sama sarah juga bingung! ac itu gabungan dari a sama c
Depe: GIMANA COBA CARANYA???
Depe: pada gila, itu mah usulnya demokrat (yang pada milih A deh pokokny)
Manzo: bukan opsi air conditioner gitu?
Manzo: jadi yang ketuduh2 itu pada suru beli AC
Depe: gw mikir juga td air conditioner
Depe: atau gak mungkin ACFC
Depe: AC MILAN
Manzo: ACi molen!
Manzo: ACapedeeeeeee~~!!!!!
Depe: ACiiiiiiimnmmmm!!!

*Lalu Manzo dan Depe tertawa puas atas terusulkannya opsi AC yang super maksa tersebut*

Depe: manjoooo
Depe: duh lo udah teler belum?
Manzo: ngga jadi teler gara2 buka metro!
Depe: soalnya gw mau manteng depan TV
Depe: HAHAHAHHAHAHA MASA DEPAN GW NIH!
Manzo: ggyah! (melihat para fraksi bernyanyi lagu perjuangan di dalam gedung)
Manzo: pada nyanyi2 dah
Depe: emang
Depe: kacau tadi

*The Show goes on sampai akhirnya ditetapkan opsi C lah yang diambil di sidang tersebut. Acara berubah ke Nona reporter Najwa Sihab mewawancarai dua orang dari fraksi yang ikut sidang*

Manzo: si bapak batik abu-abu ini ngomongnya ka iklan A mild lol
Manzo: talk less do more!
Depe: Hauahahahaha bapak-bapak batik
Depe: Nah ini sih
Depe: Si fraksi pan tadi
Depe: Yg gw ceritain
Manzo: bwahahahahahahahaha
Depe: Anjrit Najwa
Depe: Nanyanyaaaaa
Depe: Kacau ahhahahahaha
Depe: Gw harus banyak belajar sm dia
Manzo: menunjukkan bahwa lady announcer ini bukan cuma beauty aja lol
Depe: Iya gila dia berani begitu, terus frontal gila
Depe: Buset deh gada takut-takutnya
Depe: Suaminya ntar gimana o.O
Manzo: gue rasa mungkin dia udah fed up juga ama orang2 kaya gitu lol = (Mbak Najwa sudah bosan menanggapi politikus yang seperti itu)
Depe: Hahahaha iya tiap hari dia ketemu gitu, Jo
Depe: Tapi bsk rapat paripurna lagi jam 9
Manzo: pagi?
Manzo: berarti sini jam 10
Depe: Iyaa
Manzo: bangun pagi lagi kita wahahahaha
Depe: Bsk juga pasti rame lah
Depe: Haaahh
Manzo: eniwei
Manzo: bener juga kata Najwa tadi
Manzo: kebenaran ada dua sisi
Manzo: terus gue jadi mikir
Manzo: di point kan kalau kesannya opsi C ini heroik
Manzo: sedangkan A tuh pecundang
Manzo: terus gue jadi mikir
Manzo: para fraksi yang membela opsi c kaya menggunakan kesempatan tsb buat main politiknya
Manzo: terus nanti tau-tau ada konspriasi lagi lol dalam penyelesian century
Manzo: lingkaran setan deh jadinya
Manzo: *absurd abis ya pikiran gue =__=*
Depe: Nah itu ngeri juga, emang aga setan sish tu pikiran tp bisa jadi aja jo add yg kaya gt.yah namanya juga politik ga stabil n brantakan gini kan wajar ya kl jd pd ngambil ksmpatan buat nyapai tujuan masing2
Manzo: yup

*Lalu direview ulanglah kejadian ricuh di luar gedung DPR kemarin*

Depe: Kenapa sih hrs bakar2an
Depe: Heran dah gw
Manzo: biasalah
Manzo: pada pyromaniac semua
Manzo: kali ada nyamuk dirumahnya, rumahnya dibakar juga kali
Depe: Kalo ngerusak pada jago
Manzo: makanya harus ada bakar2an
Manzo: ini nih yang gue ngga suka
Manzo: kalau iya mau bangsanya bener, kenapa masih pake gini-ginian
Depe: Makanya itu jo
Manzo: kaya anak kecil
Manzo: anak kecil aja masih bisa pull proper manner PLIS
Depe: Bukan anak kecil lagi
Depe: Kaya binantang
Depe: Binatang aja ga gitu
Depe: Astaga
Depe: Sumpah
Depe: Anarkis! Brutal, serampangan, ga brmoral (bangga lagi, hohoho)
Depe: Ngeliat ini gw pgn pindh warga negara
Manzo: tapi pe kalau orang kaya kita ini pindah WN
Manzo: mo nyisain orang kaya gini doang disini?
Manzo: yah either lu harus punya nasionalisme yang bener-bener tinggi dan mau idup ngga dihargai orang demi bangsa lu memang
Depe: Ahahahahahaitu dia jo
Depe: Yang slalu gw pikirin, gimana juga gw sayang Indonesia
Depe: Gw gamau ni negara terus-terusan isinya bgini...

Lalu setelah itu Depe dan Manzo sama-sama memutuskan untuk tidur. Berhubung besok Depe sekolah dan Manzo udah ngga tidur bener hampir seminggu gara-gara habis ujian.

Tapi yah, bagaimana juga kami ini hanyalah mahasiswa. Rakyat kecil, masih kecil, jangankan didengar wakil rakyat, sama orang tua saja kadang kami masih suka diacuhkan. Tapi setidaknya satu hal yang kami bangga. Kami berani berorasi, tetapi tidak bikin Ibu kami di rumah khawatir karena kami lempar-lemparan batu dan bakar-bakaran di jalanan. Kecuali mungkin kami tukang sate. Wajar untuk itu bakar-bakar di jalanan...

Wednesday, March 3, 2010

Selamat siang, Waktu Indonesia Tengah. Salam dari saya wanita yang senang berkata.

Adakalanya sebuah bunga pikiran ditaburkan di halaman luas. Yang menanam tentu berharap jika bunga ini dapat bermanfaat dan menambah indah halaman pikiran. Diperkenankan juga jika ada yang mau menukar dan membagi benih-benih dan menitipkannya kepada saya. Niscaya akan saya tanam baik-baik.

Ini semata hanyalah halaman untuk saya berkarya disela kebosanan saya menghadapi hari-hari saya. Sebagai mana "halaman" memiliki dua arti; lahan terbuka serba guna di sebuah teritori, atau satu sisi lembar dalam sebuah buku.

Selamat di-scroll-through.
 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.