Saturday, August 28, 2010

Kelas-kelas baru saja dipakai ujian, meja kelas jadi agak berantakan. Kelas ujian saya ada di lantai dua, kelas saya yang sesungguhnya dijadikan ruangan anak kelas satu dan kelas tiga. Kertas ada dimana-mana. Semua bekas coretan. Hari terakhir kemarin Bahasa Indonesia dan Matematika.

Mungkin bapak pembersih sekolah juga buru-buru membereskannya. Atau mungkin anak-anak kelas satu dan kelas tiga hanya payah saja dalam membersihkan ruangan.

"Huh, sekolah negri..." keluhku dalam hati. Ngga bisa bohong juga. Walau saya akui teman-teman saya banyak yang pintar, tapi bagaimanapun juga ini sekolah negri.

Saya mencari meja saya, di baris kedua ujung sebelah pintu. Saya duduk disitu. Saya masukkan tangan saya ke dalam kolong meja dan perlahan mempertanyakan apakah isinya. Banyak sekali kertas. Coret-coretan matematika dan beberapa prosa, mungkin ditulis untuk bahasa Indonesia. Ada juga coret-coretan syair. Siapapun yang duduk disini pasti senang menulis.

Saya sendiri juga suka menulis, membaca tulisan orang lain. Dan kebetulan coretan itu, walau ditulis dengan pensil, saya masih bisa membacanya. Lalu saya membaca salah satu tulisan disitu yang dapat saya temukan. Ada sebuah curhatan, kayanya sih.

Ujian Bahasa. Agak males. Males wacana. Wacana lebar. Haha.


Uh, masih ga enak rasanya. Hari ketiga. Bocor.


Sebelum nulis yang lain... Mmm... Sebenernya saya mo buat pengakuan (apa sih pengakuan, random amat).


PMS saya minggu ini bikin saya jahat. Kemarin si Tita berantem sama Wilma. Gara-gara Tita mengakui lagu parodian Justin Bieber gue keren. Ngga nyangka Wilma ga sengaja denger. Tita malah dengan pedenya bilang kalau Justin Bieber itu emang suck. Wilma juga gila sih. Lagian naksir ama bocah nanggung gitu.


Tapi gue ngga ngaku ke Wilma kalau itu lagu gue yang bikin. Tita juga ngga ngomong.
Gue ngga sebel sih sama Wilma, cuma kadang jijik kalau udah ngeliat dia flailing sama Justin Bieber. Horor gila. Tita sama Super Junior ngefan-nya kaya gitu aja ngga lebay kaya Wilma. Tau deh, orang beda-beda kali.


Si Desi sama Martin berantem. Gue malah girang. Ada drama. Gue malah manas-manasin dua-duanya. Kok gue bego ya? Abisnya gue kesel dan enek sendiri. Mungkin karena gue melarikan diri dari kasus mereka, gara-gara gue ngga mo disalahin. Walau bukan salah gue juga sih, tapi kadang suka kepikiran ini semua gara-gara gue.


GUE TAU! INI SEMUA GARA-GARA R**N! Hahaha, ngga lah, gue cuma nyari "kaburan" dari guilty gue lagi aja. Tapi gue baca di cracked.com kalau kita putus, orang-orang di deket kita bisa putus juga. Tapi ga tau lah.


Intinya Desi dan Martin panas gue heboh kaya orang nonton sinetron. Abis gue kesel. Sebenernya gue mungkin kesel sama Martin... dan Ua Dito. Abisnya... Padahal Emak gue udah bikin stand point belain Desi, tapi mereka kayanya ngga mau denger. Terus emang dasar cowok kali ya... Kalau salah ngga mau disalahin... Gue tuh bete banget Desi kaya orang bego mencoba mendukung Martin tapi kaya ga dihargain juga. Lama-lama gue yang heboh sendiri kan "PUTUS! PUTUS! PUTUS! 8D"


Tapi Desi juga emo sih, gue jadi sebel. Masa beratnya turun sampe 40 dia bangga. Terus katanya mo nurunin lagi. Jadi ranting aja sana, lu! Bukannya gue ngga mau dukung, tapi justru gue di hororkan dengan kalimat dia yang kaya gitu. Harusnya, ngapain juga ya gue peduli. Tapi gimana dong? Gue sama Desi dan Tita kan udah dari kecil... Payah juga ya gue.


Tapi ngga papa sih. Alhamdulillah, Desi udah baikan.


Tapi gue masih sebel sama Martin. Asli. Terus nanti lebaran mau ketemu. Mo pasang tampang kaya apa dia ketemu gue dan emak gue? Pede aja kali ya ntar dia? Kaya badut as usual. Dia kan ngga ngerasa salah (menurut gue sih).


Tau lah, peduli amat lah gue ama Martin. Paling gue aga sedikit kampret di depan dia. Gue prefer bikin fondant cake ama Wicak deh lebaran nanti.


Abis akhir-akhir ini kejadiannya ngga enak mulu sih. Si Tita ama si cowok berengsek itu lah, yang namanya kaya cewek... Siapa? Tara...? Idih, kasian amat namanya kaya cewek. Terus gue putus lah, barengan ama Yuli pula putusnya, kasusnya mirip-mirip pula. Yuli kayanya lebih parah sih. Tapi kita temen-temennya bodo amat sama tuh cowo. Yang kasian yang gue ini. Ampe Emak gue ilang respek sama dia. Hebat banget ya tuh cowo bisa bikin keluarga+kerabat gue marah. Yah, tapi gue rasa ini emang udah makanan remaja kali ya? Cuma kasian aja temen-temen gue gitu. Ga mungkin ya "udah gue aja sini yang bermasalah". Apa sih gue emo banget hahahaha.


Kata Babe, ya masalah Desi dan Martin sih masalah mereka aja. Kita paling kasih dukungan. Cuma gue masih merasa kan gara-gara gue ketemunya. Kasian si Desi. Uwalah. Bingung ah.


Terus si Lebay kok udah ngga pernah ngetweet ya? Sebenernya gue merasa aga dosa juga sih sama dia. Kelakuan dia semuanya kelakuan yang gue sebel banget dan suka gue sindir di media lain. Tapi abisan dia gitu sih.


Intinya PMS kemaren kerjaan gue mengkritik orang terus. Kemaren gue baru saja bikin sekumpulan alay mengamuk karena gue hina-hina bahasa Inggris dan tulisannya. Jadilah saya Putri Inggris yang dibenci sekumpulan anak-anak sok berambut emo. Dan semakin mereka terpancing, semakin sombong dan senang gue jadinya.


Tau ah. Gue mo bikin fondant cake ajalah, sama chili con carne.


Mbak, kenapa harus disimpan di meja saya? Kenapa ngga beli diari sih? Ah, kuempel-empel kertas curhatan itu lalu saya buang. Sia-sia saja jadinya.

Wednesday, August 18, 2010

Normal itu hanya metakonsep.

Sampai sekarang saya belum tahu definisi "normal". Saya mencarinya kemana-mana. Saya cari di lapangan rumput kosong di depan rumah. Saya cari di sekolah. Saya cari di toilet dan di halte bus. Bakan saya mencari "normal" sampai ke luar negri. Saya tidak juga menemukan arti "normal". Mungkin normal itu hanya ilusi.

Kamus berkata pada saya arti normal adalah "Berada pada standar atau ekspektasi yang biasanya". Lalu saya membalas Kamus, "Bagaimana jika ekspektasi dan standar orang berbeda-beda? Apakah akan ada normal yang sesungguhnya?"

Kamus diam saja dan tidak bisa menjawab lagi. Dari dengan kesunyiannya, saya sudah punya jawaban.

Tapi manusia tetap saja menginginkan sesuatu yang normal. Tapi yang normal itu seperti apa tidak ada yang tahu persis. Tapi satu hal mengapa manusia kerap memaksakan diri untuk mendapatan normal. Normal adalah ekspektasi, standar. Dan dengan serakahnya, mereka ingin standar-standar itu terwujud. Sayangnya standar mereka berbeda-beda dan berbenturan satu sama lain. Sama seperti ego.

Lagi-lagi lahir sebuah konsep dari satu ego.

Dan kadang standar yang sama dijadikan satu ego yang sangat besar dan terbentuklah ilusi bernama normal. Jika ada satu hal yang berbeda dengan standar besar tersebut maka disebut abnormal.

Saya masih ingat waktu itu saya berada di jok belakang, sehabis dari pesta jamuan oleh atasan Ayah. Ayah menyetir, Ibu disampingnya. Lalu Ayah bicara pada saya;
"Kamu itu berbakat sekali, nak. Kami bahkan berpikir untuk mengkolaborasikanmu dengan anak-anak teman-teman Ayah itu dan buat usaha kecil. Alangkah baiknya untuk bakat kalian. Tapi satu hal, mereka berbakat tapi tidak pernah bicara sendiri. Mereka mampu berkhayal tapi tidak bicara pada diri mereka sendiri dengan khayalan mereka. Mengapa kamu tidak bisa?"

Singkatnya, Ayah berkata "Kenapa kamu tidak bisa normal?" pada saya.

Di sekolah saya juga dijauhi karena katanya saya tidak normal. Masih suka kartun, kayaknya. Saya suka budaya lain dan dibilang tidak normal juga. Atau mungkin alasan mereka saja karena melihat badan saya yang harus disangga penyangga tulang belakang. Secara fisik itu sudah tidak normal.

Jadi, apakah berhak mereka memutuskan hal yang "normal" untuk saya? Seabnormal saya, saya juga punya standar dan ekspektasi. Sama seperti mereka. Maka itu saya juga punya batas untuk hal yang dapat saya bilang normal.

Lagi pula saya tidak percaya akan konsep normalitas. Absolut normal itu tidak ada. Saya bahkan bisa bilang kalau normal lah jika seorang pasien rumah sakit jiwa berkelakuan abnormal. Apa Anda merasakan anomali kalimat tersbut? Jadi, apa itu normal?

Sama seperti fetsih dan topik tabu seperti seks. Atau trauma psikologi atas kejadian mengerikan. Atau mungkin pikiran jelimet seorang pembunuh dan kriminal lainnya. Kata mereka yang mengalaminya, itu normal. Kata yang lain, itu abnormal. 

Dan mereka memaksa untuk membuktikan apa itu "normal".

Pada akhirnya kita semua tahu dalam diri masing-masing bahwa benarlah normal itu hanya ilusi. Dia tidak pernah ada, sampai kita menciptakannya. Karena kita tahu bahwa dunia ini semuanya abnormal dan kita punya ekspektasi untuk hal yang sebaliknya.

Monday, August 16, 2010

Kami selalu punya suara. Tiap waktu. Tiap hari, tiap detik. Suara kami tak pernah habis. Kami tidak pernah serak, tidak pernah sesak. Bunyinya merdu sekalipun teriak. Panas hujan kami akan selalu berbunyi berkumandang. Selalu ada yang bisa kami suarakan.

Suara terus. Kapan geraknya?

Kami bergerak kok. Kami bergerak gemulai penuh amarah. Untuk memperjuangkan suara kami, ada satu cara yang yang tidak akan penah bosan kami eksekusi. Cara yang sama sejak tahun 1945. Tapi itu sudah ciri khas kami. Karena kami impulsif. Keras kepala dan tidak dewasa. Cara kami hanya satu. Marah-marah, menutup jalan raya dengan suara-suara kami, lalu mencari sesuatu untuk dibakar. Ada api, ada drama.

Kalau begitu, bagaimana bisa kalian didengar dan dipertimbangkan?

Lah! Tentu bisa dong! Kami akan mengacam mereka untuk duduk manis mendengarkan kami. Kami akan membuat mereka mendengarkan kami sampai tertunduk dan tertidur bosan. Pada akhirnya kami akan memenangkan telinga dan pikiran mereka. Dengan cara kami yang begitu mengikat.

Lalu semua yang kita perjuangkan ini sia-sia pada akhirnya dan terwujud dengan cara yang lagi-lagi terpaksa. Ah, saya capek diombang ambing sejak tahun 1945. Kami tidak pernah merdeka. Kita merdeka karena terpaksa.

Saturday, August 7, 2010

Buat @writingsession malam ini. Temanya: "Intrepertasi Lagu"
http://writingsessionclub.blogspot.com/

"Here, There, and Everywhere" milik The Beatles.
Mungkin standar. Tapi saya lagi mood sentimental dan penuh memoria.
Barbie™ © Mattel
Selamat dinikmati (:


Ah. Ketika itu. Ketika itu aku menyisir rambutmu. Rambutmu keras. Sisir kecil pink itu menyangkut disela-sela tebal rambut pirangmu. Tapi entah kenapa aku bahagia kalau aku menyisir rambutmu. Rambutmu panjang. Aku ingin rambut panjang tapi kata Ibu rambut panjang itu repot. Rambutku harus selalu pendek. Ah, seandainya saja rambutku panjang. Atau mungkin rambutmu saja kali yang kubuat pendek.

Aku selalu memperhatikan tukang salon itu ketika aku dibawa Ibu. Gayanya hebat sekali. Cekras-cekris sana sini. Lalu jadilah rambut yang rapi. Mungkin aku bisa melakukan itu juga. Tentu saja aku bisa. Ketika itu, aku bisa segalanya termasuk potong rambut.

Lalu aku memotong rambut pirangmu yang tebal itu. Jadi pendek dan tidak rata. Mungkin saat itu Ibu marah padaku, aku tidak mengerti kenapa. Tapi katanya, "Astaga! Aku membelikanmu itu bukannya tidak pakai uang! Kenapa rambutnya kau potong?"

Tapi kamu tetap tersenyum. Kau suka rambut barumu kan?

Aku juga ingat ketika itu. Ketika itu kita sedang bermain bersama di halaman belakang rumah. Main piknik-pinikan bersama kain bekas adik waktu bayi dulu. Lalu aku melihat bajumu. Bajumu sudah usang dan cobot-copot. Pengaitnya sudah tak rekat lagi. Tapi baju ungumu itu begitu indah dan cocok untukmu. Aku ingin membelikanmu yang baru. Aku selalu minta ibu untuk beli baju baru tapi Ibu tidak pernah mau membelikannya.

Aku melihat kain bekas itu. Lalu rapihkan piknik kita dan kubisikan ke telingamu.

"Barbie, aku akan membuatkanmu baju baru."

Kuambil kotak jahitan dari dapur. Kulilit kain bekas itu ke badanmu. Kujahit. Disini, dimana, dan dimana-mana sampai akhirnya tubuhmu tertutup sepenuhnya. Jahitan itu asal. Yang penting kainnya menempel. Ayah hanya geleng-geleng kepala melihatku melakukannya padamu. Tapi akhirnya jadilah sebuah baju. Kau punya rambut baru dan baju baru dan aku semakin sayang padamu.

Aku pikir ketika itu aku adalah gadis paling bahagia di dunia. Aku rasa kamu temanku yang paling setia. Kau selalu ada di rumah, menungguku sepulang sekolah.

Mungkin teman-temanku yang lain memililki kamu dalam jumlah yang lebih banyak. Tapi hubungan mereka dengan barbie-barbie itu tidak seperti hubunganmu denganku. Kita sahabat selamanya.

Menyesal sekali tapi apa dayaku, Barbie. Seandainya ketika itu aku tidak telat pulang sekolah karena jemputanku mogok. Ketika seandainya aku bisa menyelamatkanmu, yang masih mengenakan baju buatanku dari gelapnya kresek sampah. Ketika seandainya aku bisa meyakinkan Ibu, kalau kau dan aku bahagia walu mungkin kau tidak secantik ketika ku beli di dalam box. Aku benar-benar kehilanganmu. Aku tidak peduli kamu jelek, tua, dan tidak secantik barbie-barbie temanku. Aku sayang padamu, kau sayang padaku, dan kita berdua sama-sama tahu hal itu.

---

"Kayanya gue bakal beli Barbie deh..." ujarku ketika aku memasuki bagaian mainan di mal itu. Hari ini memang kusiapkan untuk menambah koleksi mainanku.

"Aku ngga ngerti sama lu, Fin. Kok kayanya lu seneng amat koleksi mainan? Lu udah 20 dan mainan itu... Ya... cuma mainan."

Aku cuma tersenyum dengan komentar Arina tadi. Aku juga tidak mengerti. Mungkin aku terlalu sentimental, mungkin aku bodoh. Tapi aku merasa, hanya dengan mereka berada bersamaku, mereka sedang mendukung setiap kegiatanku. Yang baik dan belajar untuk jadi yang lebih baik lagi.

"Tapi... Barbie berbeda."

Bukan karena ia cantik, bukan karena ia role model, atau mungkin tepatnya versi utopis dari imej seorang gadis seharusnya.

Tapi karena dia pernah jadi sahabatku. Dan aku ingin membangun persahabatan dengannya lagi. Persahabatan yang akan awet dan tidak akan pernah termakan dengan keresek sampah. Dari sini ketika kubeli lagi engkau, sampai disana kita akan bermain lagi seperti dulu. Tak peduli berapa jumlah usiaku. Dimana-mana, kau akau bersamaku dan mendukungku. Kurasa itu yang kubutuhkan.

Lalu kuambil box pink itu. Sama seperti ketika aku diajak Ibu membelimu dulu.

Friday, August 6, 2010

Kaya pelem aja pake teaser segala. Cerita yang saya buat untuk cinta saya pada mainan dan rumah saya di Bandung.


Mudah-mudahan benar ini kuncinya karena aku yang sudah habis termakan penasaran ini ingin pintunya terbuka.

Pokoknya,

"KREK."

...Harus,

"KLEK-KLEK."

...Kebuka!

"Krieeeeet...."

Ah! Benar terbuka! Dari celah aku bisa mengintip lantai kayu yang sama dengan lantai-lantai kamar lainnya. Catnya seperti putih, krem-krem... pink? Entahlah. Tapi begitu aku buka lebih lebar dari semilir udara ruangan itu aku dapat mencium semacam bau aroma terapi... Baunya semerbak, halus, creamy, seperti sirup...

"Mawar?"

Akhirnya kubuka lebar pintu itu dan dihadapanku tersusun rapi sebuah tampak kamar anak perempuan.

"Aaaah..." Aku ngga bisa bohong untuk berdecak kagum dengan suaraku. Aku melangkah ke dalam kamar, "Cewek banget..." pikirku keluar. Tirainya putih susu berenda-renda, tembok putihnya dikemas wallpaper cantik ke pink-pink-an bergambar peri. Mejanya meja kayu antik berwarna putih. Tempat tidurnya juga putih berenda-renda. Semuanya renda. Tapi yang paling jelas dari isi kamar itu adalah boneka dan mainan.

Ada satu lemari sendiri berisikan mainan dari mulai boneka porselen yang serem wajahnya, barbie, bonekanya Mr. Bean, figur-figur imut, ada juga figur-figur dari kartun Jepang. Hebat sekali yang punya kamar ini. Ini semua sudah seperti toko mainan! Ah, rasanya aku ingin buka lemari antik dengan pintu kaca ini, tetapi hatiku sendiri enggan membukannya karena entah mengapa aku merasa mainan-mainan ini sudah seperti pajangan museum. Di atas meja belajar ada lagi mainan-mainan yang berjejer bersama beberapa pajangan seperti cawan dan tas rotan kecil.

Di tempat tidur banyak sekali plush toy -- boneka-boneka yang empuk dan bisa di peluk. Teddy bear banyak sekali dan aku yakin ini teddy bear yang bisa dibilang cukup mahal. Ada plush toy lain seperti kucing, anjing, boneka karakter lucu, polar bear, panda, ah, aku mungkin bisa menyebutkan satu kebun binatang melihat semua yang berjejer di tempat tidur putih itu.

Di ujung kamar itu juga ada rumah boneka yang cukup besar. Berjejer di dalamnya barbie dengan dress renda-renda digabung dengan koleksi Sylvanian Families. Boleh juga kombinasinya. Perabotannya juga lengkap. Aku meraih dan melihat satu-satu yang ada di sekeliling rumah boneka itu.

Kamar macam apa ini? Milik siapa? Ini mimpi bagi anak perempuan manapun. Mungkin usiaku sudah tidak lagi, tapi jujur, sedari kecil aku ingin sekali, sekali saja memiliki kamar cantik seperti ini. Belum lagi kamar ini wangi. Tapi kenapa dikunci? Kenapa kamar yang jelas-jelas kelihatan tiap hari dibersihkan dibilang gudang!?

Lalu mataku menangkap sesuatu. Diatas meja rias ada sebuah figura keramik bertolehkan ukiran mawar. Di dalamnya ada sebuah foto. Foto seorang gadis. Gadis yang sama dengan foto yang ada dibawah.

Kamar miliknya kah?

Aku menghampiri meja rias dan duduk di depannya. Kuambil figura itu dan memandangi fotonya. Benar. Itu gadis yang fotonya juga ada di bawah. Gadis berambut ikal yang sama. Siapa gadis ini sebenarnya? Apa dia pemilik rumah ini sebelum keluarga Pohan. Tapi masa iya? Kalau iya masa fotonya masih ada di rumah ini. Apa mungkin masih keluarga dengan si pemilik? Ah, mungkin itu. Tapi siapa? Ketika Papa Mama membawaku ke rumah keluarga Pohan untuk menandatangi surat sewa rumah ini tidak ada foto gadis ini di rumah itu. Atau mungkin saja aku tidak memperhatikan, tapi harusnya kelihatan. Lagipula anak keluarga itu cuma satu dan laki-laki. Sudah menikah pula dan istrinya ngga kaya begini. Mungkin anak mereka... Tapi bukannya anaknya masih bayi? Apa mereka punya anak lagi?

Kutaruh lagi figura itu di atas meja setelah puas mengingat-ingat wajah gadis di foto itu. Lalu mataku beralih ke cermin di depan meja rias dengan otomatis. Dan aku bisa melihat ke lemari mainan di belakangku.

Mata mereka melihat ke arahku!

"HAH!"

Aku segera menoleh. Tentu saja! Aku kaget! Ilusi? Ilusi. Tidak mungkin mainan-mainan itu memelototiku seperti yang kulihat sesaat di cermin tadi. Mungkin karena aku termakan penasaranku, tentu saja. Tidak mungkin, Rashel, ngga mungkin.

Sepertinya aku harus segera keluar dan mengunci lagi pintu ini sebelum Pak Asep pulang membawa jalan-jalan Sergei. Aku buru-buru berdiri dan berniat beranjak keluar.

"Neng Rashela!?"

"HAH!"

Aku nyaris melompat. Pak Asep di depan pintu. Astaga! Aku nyaris kaget. Aduh ketahuan! Mudah-mudahan Pak Asep tidak bermasalah aku masuk kesini...

"Eh, Pak Asep. Udah pulang toh?" tanyaku basa-basi dengan senyum yang masih agak canggung.

Tapi... Kuperhatikan wajah Pak Asep. Itu wajah bermasalah. Ia tidak suka aku kesini. Tidak mungkin wajah seperti itu bohong.

"Neng, maaf ya, Neng. Tapi kan saya sudah bilang jangan dekat-dekat kamar ini."

Nadanya serius, aku jadi tak enak. Tapi aku memaksakan diriku untuk ngeles; "A- Aku pikir ini beneran gudang, Pak..."

"KELUAR."

Aku tersentak. Itu jelas sekali. Itu seperti bentakan. Aku takut. Itu bukan amarah seperti ketika Ibu menangkapku basah tidak belajar ujian besok atau mengerjakan PR. Itu seperti... Peringatan. Peringatan akan sesuatu yang tegas... Bukan. Bahaya.

Kakiku mulai bergetar melihat wajah ramah Pak Asep yang biasanya jadi begitu tajam.

"Punten, Neng. Tapi saya minta Neng keluar sekarang dan jangan sekali-kali lagi dekati kamar ini." tutur Pak Asep dengan nada yang mulai menurun.

Aku tidak berani membantah. Aku melangkah keluar. Dari tenggorokanku berhasil keluar sebuah "Maaf" kecil yang samar-samar tapi sepertinya Pak Asep mendengarnya. Aku segera berlari ke bawah, ke ruang keluarga. Aku tidak mau melihat atau mendengar hal semacam itu tadi, entah mengapa. Aku mau mencoba melupakannya saja.

Lalu ketika aku jatuhkan badanku di sofa depan TV, aku mendengar pintu kamar itu ditutup keras dan dikunci rapat-rapat oleh Pak Asep.

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.