Sunday, February 6, 2011

Aku melihatmu.
Selalu melihatmu. Disitu. Menunggu. Dengan wajahmu yang sendu dan senyummu yang sayu. Ya, aku melihat jelas kearah dirimu selalu tanpa kau harus tahu.
Bahwa aku melihatmu.
Aku melihatmu menunggu di kursi taman, duduk sendirian. Aku tahu kau sedang sendirian. Maka kuambil kesempatan itu, untuk menggapaimu, untuk menikmati waktu berdua saja denganmu. Kau menghela nafas. Pikirku ingin kutangkap nafasmu. Bertanya apa yang mengganggumu. Kau bersandar di kursi itu, menatap ke angkasa seperti memanggil rindu. Apakah kau mengingatku ketika kau memanggil rindu itu? Kurasa begitu. Karena aku tahu. Pokoknya aku tahu. Suatu saat aku berjanji akan datang kepadamu. Menggantikan angkasa yang kau tatap penuh harap itu. Menggoda kedua mata birumu sambil membelai-belai rambut panjangmu yang ikal merah itu. Seperti api, merah dan membara. Ah, kau membuatku membara. Hanya dengan membayangkan menyentuh bara rambutmu itu.
Kau sudah berjam-jam duduk di bangku itu. Kau tidak beranjak pergi. Seperti terikat, terikat pada sesatu. Terikat pada janjimu. Terikat padaku. Lalu kau mulai bergerak resah. Mengeluh tanpa kata. Menggeser-geser badanmu tetapi tidak juga berdiri. Kau memeluk tas sekolahmu itu, kau menunduk, kau menggeleng-gelengkan kepalamu. Daritadi kau tidak berhenti melihat jam. Aku menyaksikanmu! Jangan gelisah! Jangan takut! Aku tahu semua gerakanmu dan kau hanya perlu tenang dan duduk saja.
Semuanya sudah kuurus. Tenang saja.
Aku tahu. Harusnya ia datang kan? Ia telah berjanji padamu datang ke taman ini. Kau akan menemuinya di bangku taman itu. Tapi tidakkah kukatan berkali-kali padamu. Kenapa mereka dinamakan langit? Angkasa? Karena mereka hampa. Mereka tidak akan mendengarmu. Harapanmu kosong pada mereka. Tidak ada gunanya hanya menatap langit biru yang hanya berisikan arakan awan. Mereka tidak akan memberikan apapun, sayangku. Mereka tidak akan mengabulkan janji atau mimpimu.
Mereka tidak akan. Tidak akan pernah dapat engkau gapai lagi.
Kau serapuh bunga. Mungkin salah satu alasan mengapa aku selalu melihatmu. Mencintaimu tanpa kau harus tahu. Aku ingin kau, bungaku yang sedang mekar. Aku ingin merasakan semerbakmu persis ketika kau sedang mekar. Aku ingin mekar di dalammu. Aku ingin kau mekar menjadi bungaku dan aku adalah kumbangmu dan akan kubantu taburkan serbuk sarimu. Tidak akan kubiarkan bunga rapuh sepertimu tertiup angin, terkupas kelopaknya, terbang tanpa arah ke angkasa.
Tidak. Tidak akan pernah.
Kau sudah mulai tenang. Akhirnya kau senderkan lagi punggung mulusmu itu ke kursi taman. Dan aku, aku terus menatapmu. Sambil membersihkan tanganku, dari darah dan sisa-sisa rambut pirang. Aku siap menemuimu, sayang. Bungaku. Bungaku yang mekar. Aku yang akan datang padamu, bukan dia. Karena dia sudah tidak akan lagi menepati janjimu atau menjual mimpi padamu. Dia yang hampa sudah kubuang ke angkasa.
Angin berhembus, menggerakan kakiku, mendekatimu. Aku yang sudah bersih, seperti terlahir kembali. Akhirnya datang padamu.
Dan kau disitu, melihatku berjalan dari kejauhan. Aku tersenyum padamu. Ahaha, pastilah kau canggung. Ini pertama kalinya kau bertemu denganku.
Tapi tentu saja, pertemuan ini akan mengikatku dan kau selamanya.
"Halo, Saki. Aku Mina dari kelas 3-2. Kamu ngapain sendirian disini?"
"Me... Menunggu teman... Eng... Pacar."
Aku tertawa kecil. Ah, Saki-ku. Kyuu mu tidak akan datang lagi padamu.
"Ahaha, cowok. Mereka suka ngaret ya... Mau aku temani?"
Kau tersenyum, mengangguk setuju dengan basuhan delima di pipimu. Aku duduk disampingmu. Disamping tubuhmu yang langsing dan anggun dan aku tidak akan pernah bisa lebih bahagia dari ini.
Akhirnya. Akhirnya aku menaklukan angkasa dan menggapaimu. Aku mencintaimu, Saki. Aku mencintaimu dan mulai hari ini aku akan membuatmu tahu.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.