Sunday, February 6, 2011

Aku berteriak "Kembalilah!" tapi ia tidak dengar. Di depan kami ada kaca tebal yang daritadi tak berhenti kugedor-gedor. Sudah berkali-kali kucoba pecahkan kaca itu dengan apapun, tetapi aku tetap tidak bisa menggapainya.
Ia sendiri tidak mau, aku tahu itu! Ia tidak mau ditelanjangi dan dijadikan ringan. Lalu diterbangkan ke udara bak balon helium. Cipratan darah dan air mata mengalir disekelilingnya menjadi butir-butir mutiara yang beku oleh waktu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, menangis, mencoba berenang kearahku tetapi bagaimana pun kami tidak bisa saling menggapai.
"Mereka bunuh keluargaku, Ada! Mereka membiarkankanku jadi sendiri, merubahku jadi manusia balon yang bisa terbang melewati waktu." katanya dari balik kaca, "Aku tidak mau ini, Ada. Aku mau keluargaku, aku mau kakakku. Aku mau pulang!"
"Aku mendengarmu, Maya. Tapi apa yang bisa kulakukan. Aku ada dibalik kaca seberat apa aku ingin menolongmu."
Dia menangis semakin kencang. Mengais-ngais kaca yang membatasi kami, menggaruk-garuknya kencang. Rintihannya mulai mengeras ketika ia juga mencoba memukul keras kaca itu dengan tangannya yang begitu rapuh dan seputih bunga bakung. Dia mendorongnya. Tapi tidak bisa. Kaca itu tidak juga pecah. Kadang angin menerbangkan tubuhnya itu, lalu ia harus mengayuh-ayuh tangannya lagi menuju kaca yang membatasi kami.
"Tolonglah aku, Ata! Tolong aku! Aku sungguh ingin pulang ke keluargaku. Seperti yang kau ingat dihatimu. Lakukanlah sesuatu!"
Aku tidak sanggup melihat Maya menangis begitu keras. Maya yang aku kenal dari umur 10. Maya yang manis, naif, dan polos. Maya waktu itu baru 13 tahun. Walau baru beranjak remaja, Maya bisa manja. Terutama pada kakaknya. Kakak perempuannya yang cantik jelita bernama Sanya. Maya selalu bersembunyi dibalik figur Sanya yang semampai, memeluknya dari belakang dan tertawa bersamanya. Sanya mirip sekali dengan Maya, hanya saja lebih dewasa.
Dan aku tidak tahu bagaimana aku harus mengembalikan Sanya dan suaminya, Arman yang telah menjadi figur ayah untuk Maya. Mereka sudah mati dibunuh oleh orang-orang asing dengan seragam hitam dan senapan api. Halaman waktu Sanya meninggal tidak ada di bukuku maupun buku Maya. Sudah kucoba beragam cara untuk mengembalikan Sanya dan Arman. Aku menulis dibuku petuahku, dengan pena ajaibku, menulis dan menggambar bagaimana Sanya dan Arman akan hidup kembali dan menjemput Maya. Tetapi tidak bisa. Tidak berhasil. Maka kuambil zat-zat misterius dari pulau Fuledonia, kugabungkan dengan telur anakonda, dan sayap kupu-kupu. Kuikuti resep dari buku penyihir yang kubeli di Kinokuniya minggu lalu. Kuucapkan mantra dan doa. Berharap ini akan mengembalikan kebahagiaan pada Maya. Tapi tidak bisa juga. Tidak bisa juga.
Kaca itu! Kaca itu harus dipecahkan dulu! Semua sihir dan usaha yang kulakukan pasti akan berhasil jika saja kaca itu tidak membatasiku dan Maya. Aku hanya perlu itu! Tapi apa, apa yang bisa memecahkan kaca ini yang begitu tebal dan cembung. Membatasi aku dan Maya yang sama-sama ada diujung harapan.
"Baiklah, Maya! Aku akan menolongmu. Aku keluargamu juga dan keluargamu adalah keluargaku. Aku akan mengembalikan Sanya dan Arman padamu. Seperti yang pernah ada dihati kita berdua!"
Aku berdiri, kutinggalkan kaca itu. Aku mendengar Maya berteriak memanggil namaku dan bertanya mau kemana. Tenang saja, Maya. Aku akan selalu membelamu. Aku hanya perlu sesuatu.
Aku turun kebawah, melewati sebuah tangga kayu. Aku berbelok ke dapur. Mengambil itu. Parang panjang terbuat dari besi dan kunci inggris raksasa milik Ayah. Ayah pasti akan mengijinkanku. Ayah juga kenal Maya. Ayah tahu Maya adalah teman baikku dan aku tidak akan membiarkan teman baikku tersiksa.
Aku hampiri lagi kaca itu. Kaca kurang ajar yang membatasiku dengan Maya. Dengan semuanya. Dengan kebahagiaanku dan kebahagiaan Maya. Dasar kaca sialan. Sudah cukup! Aku akan membuatnya hilang dan membuat Maya dan aku menjadi tanpa batas dan saat itu juga akan kulakukan lagi satu sihir hebat yang akan membuat Maya pulang ke keluarganya.
Maya masih disitu, melayang-layang diangkasa. Wajahnya bingung meihatku membawa parang. Lalu dengan satu pukulan serius, kubentur kaca itu dengan parang ditangan. Maya terkejut, kaca itu retak kecil. Lalu sekali lagi kubentur. Masih retak kecil. Sampai akhirnya kuambil si kunci inggris yang jauh lebih berat dari parang. Kupukulkan kunci inggris ke kaca. Keras. Keras. Sekeras hidup Maya sekarang. Sekeras keringat dan air mataku. Aku tidak mau Maya sakit hati lagi. Aku tidak mau sakit hati.
"Ada?"
"Tenang saja, Maya! Kalau kupecahkan kaca ini, duniamu akan bocor ke duniaku. Kita akan bersama! Dengan begitu aku bisa mengembalikan Sanya padamu! Aku berjanji!"
Pecah.
Aliran listrik mulai bocor. Sebuah percikan energi elektrik keluar dari pecahan kaca. Ada sebuah cahaya. Sedikit lagi, sedikit lagi Maya akan datang padaku! Sedikit lagi!!!

Hitam.
Mati.
Kaca pecah dan dunia berubah hitam.
Tunggu? Apa ini? Kenapa...
Maya?
Maya? Maya, kamu dimana?
Maya? MAYA!?
"Adinda! Adinda! Kamu ngapain!? Masya Allah! Adinda!"
Apa yang...
"Ya ampun, Ibu! Ibu!! Adinda mecahin TV, bu!"
Apa yang terjadi? Kenapa Mbak Riyem begitu panik? Kenapa--
Kenapa jadi hitam! Mana Maya!? Mana Maya!? Tidak, tidak bisa begini, kembalikan Maya padaku! Aku ingin menolong Maya, aku harus menolong Maya! Aku meronta, aku tidak setuju. Kaca sialan! Kenapa kau menipuku!? Kenapa! Aku benturkan tanganku lagi kepadanya, mengoyaknya dengan tanganku sendiri, aku tidak peduli! Aku mau Maya! Aku mau Maya bahagia! Kembalikan Maya padaku!
"Adinda! Hentikan, Adinda!!!!"
Suara Ibu tidak akan menghentikan aku. Aku cuma mau Maya. Aku cuma mau membuat Maya bahagia, aku sudah hampir berhasil. Tapi kenapa? Kenapa malah begini? Kenapa malah jadi hitam dibalik kaca itu? Kenapa Maya sudah tidak ada lagi? Kenapa ada Ibu dan kenapa Ibu jadi ikut marah dan menangis? Aku yang seharusnya menangis. Aku yang harusnya marah. Aku ngga suka. Aku mau Maya...
"Adinda! Kamu ini apa-apaan sih! Lepasin tanganmu dari TV! Kamu ini dasar anak aneh! TVnya jadi rusak kan!? Lihat tanganmu itu! Sudah berdarah-darah!"
"Ngga mau!!! Aku mau Maya! Aku mau Mayaaa!!!"
Sekuat tenaga aku meronta dari pegangan Ibu. Ibu tidak mengerti, Ibu tidak akan pernah mengerti. Mereka semua tidak mengerti! Semuanya. Orang-orang berbaju hitam dengan senapan itu, kaca, semuanya. Mereka tidak mengerti lagi kalau orang ingin bahagia. Aku jadi sedih. Aku tertekan. Mereka menekanku. Jahat sekali...
"Udah ya kalau begini! Ibu bilang Ayah kamu ngga boleh main PS lagi!"
"Bu, Pak Udin sudah nunggu diluar..."
"Ayo, Adinda! Kita ke rumah sakit! Lukamu itu harus dijahit!"
Maya... Kembalikan aku pada Maya... Maya sendirian. Dia sendirian. Kegelapan itu akan memakan Maya. Menjemput Maya menuju ketiadaan. Maya... Maya...
Maya...

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.