Wednesday, April 20, 2011

Jadi pagi ini ceritanya saya baca berita. Bukan ceritanya lah. Emang baca berita. Ada artikel berbunyi "Perlu Cara Khusus Tangani Pesta Seks Bocah di Palembang". Yaiyalah saya syok. "Pesta Seks Bocah"? Maksudnya? BOCAH? BOCAH UDAH MIKIR SAMPE SITU? Kok bisa?

Saya buka beritanya, dan saya baca, ini cuplikannya;


Pas saya baca si anggota DPR ini suggest anak-anak itu "diteliti", saya setuju. "Oh, bener juga. Mungkin psikologinya ada yang salah. Mungkin lingkungan dia dibesarkan kurang bener. Mungkin kurang edukasi soal hal itu."

Tapi pas dia bilang kalau sumber masalahnya dari "HP" dan "internet" dan penggunaannya harus dibatasi/diawasi, sampai menyarankan warnet cuma boleh SMU keatas ini menurut saya salah, SEKALI LAGI.

Yang namanya media informasi itu benar adanya bisa di abuse, tapi BISA JUGA DIGUNAKAN DENGAN BAIK DAN BENAR. Gimana caranya? YAH DIDIKLAH UNTUK DIGUNAKAN DENGAN CARA YANG BAIK DAN YANG BENAR

Tapi sebelum kita menyalahkan media informasi, kenapa ngga kita tarik dulu cikal bakal masalahnya; KURANGNYA PENDIDIKAN SEKSUAL DI INDONESIA, dan saya dari kemaren kayanya ngga berhenti karena sejak kasus Ariel kemaren barulah terlihat jelas kalau Indonesia terlalu cuek atau tidak berani buka pikiran, atau apalah sejuta alasan mereka yang saya ngga tau, intinya mereka mengabaikan pentingnya edukasi seks. Kayanya kita ngga mau belajar dari negara-negara di benua Afrika dimana kasus perkosaan ngga terkontrol karena kurangnya edukasi seks, begitu pula penularan infeksi penyakit seksual merambah gara-gara kurangnya edukasi seks. Sekarang negara-negara hitam di Afrika mulai dan MAU bangkit karena tragedi tersebut. Pendidikan seks disebar ke pelosok-pelosok, ke SD-SD. Pengaman anti pemerkosaan disebar, alat pengaman dianjurkan. Terus kita kapan? Apa kita mau gantiin posisi negara-negara tersebut dalam hal kurangnya pendidikan seks?

Saya tonton disebuah film dokumenter, edukasi seks sudah dijadikan kurikulum di Belanda dan dilakukan sedari SD. Guru-guru yang berpastisipasi dengan baiknya sabar dan telaten. Mindset mereka adalah untuk mendidik anak-anak tersebut supaya tidak terjerumus bahaya seks, dan terbukti kalau ketika dewasa mereka lebih siap dalam perilaku seksual mereka.

Terus seks tabu, dianggap dosa atau apalah. Saya tidak bermaksud menyekulerkan paham agama, tapi seinget saya ngga ada agama yang bilang seks itu tabu. Dipersilahkan tapi ada aturannya, itu aja kok. Nah, gimana supaya kita bisa mengikuti aturan tersebut? Yah kasih tau lah seks itu kaya apa, secara biologis, psikologis, dan ilmu sosial. Seks itu kan bukan cuma berarti aksi mesum. Inilah yang salah sama jalan pikiran orang Indonesia pada umumnya. Seks = mesum, mesum = guilty pleasure.

Dan saya baca komen di link berita tersebut;


Etikanya, yang namanya media informasi formal seperti detik.com ini harusnya bisa jadi media diskusi. Tapi memang pada dasarnya internet itu isinya cuma troll dan orang Indonesia lebih bodoh dari troll-troll pada umumnya, inilah yang tertera di kolom komentar. Budaya troll mo dipelihara toh? Bukannya prihatin atau gimana malah mempos contoh yang kurang layak. Terus yang saya ngga ngerti, apa pula hubungannya sama Amerika Serikat dan Israel? Mo Amerika Serikat dan Israel ngga bikin konspirasi pun, kalau Indonesia memilih untuk tetep cuek dan bodoh ya tetep aja bodoh. Kali mungkin kalau mereka bikin konspirasi beneran, seneng kali mereka Indonesia bisa dibego-begoin. Ini mah masalah moral kita pada dasarnya dan ngga ada hubungannya sama negara lain, bikin konspirasi atau punya konstipasi, atau apalah! Ngga juga hubungannya sama ramalan tentang kaum Yahudi atau apapun. Kalau merasa lebih punya moral dari mereka, kenapa dong begini? Apalagi troll dibawah yang pingin ikut-ikutan "pesta". Becanda? Okelah. Membuat kesan bodoh? Iya juga.

(Yes, troll. I'm troll-flaming you.)

Memalukan lah intinya. Dan saya ngga cape dan pasti selalu terpancing amarah karena hal ini karena kok kayanya sulit banget untuk orang Indonesia buka pikiran sedikit tentang seks, tapi selalu diomongin kaya ngga ada hentinya. Ya, kaya yang saya bilang tadi, karena mesum makanya jadi guilty pleasure dan mereka seneng akan "kemesumannya", bukan esensi atau guna dari seks itu sendiri (reporduksi, harmoni, dan filosofi-filosofinya) plus, mereka bersikap munafik akan kesenengan mereka dari "kemesuman" itu. Ini yang saya ngga suka dan contoh kasusnya udah kebanyakan. Kalau pandangan kaya gini terus yang kita pegang, ga akan ada hentinyalah kasus macem "Pesta Seks Bocah" begitu dan yang jelas dengan begitu generasi penerus kita rusak.

Monday, March 14, 2011



Prakata: Menurut saya ini aga kompleks dan isu yang dibahas sepertinya macam-macam. Ingin mencoba mengubek-ubek tema cinta, penghiantan, dosa, agama Shinto, dan apapun yang menurut pembaca bisa temukan disini. Pada akhirnya interpretasi ada dipikiran pembaca masing-masing. Kalau tertarik, boleh didiskusikan di kolom komen :D
(Salah satu isu yang dibahas juga mungkin adalah penulis kebanyakan main "Shin Megami Tensei: Persona 4" *jujur* =__=;)



***


"Teng... Teng..." bunyi giring-giring.


Ia memandang cermin di rumah kosong itu. Rumah yang berantakan dengan barang-barang berserakan. Furnitur dimana-mana. Ruangan itu gelap gulita pula dan air bocor menetes, menjadikannya lembab.Tidak terkoodinir. Dipolusi debu dan kotoran. Tidak indah. Tidak suci.

"Tidak lagi..." ujarnya. Bersahutan dengan giring-giring yang entah berbunyi darimana.

"Ah, perasaan apa ini..." ujarnya seraya memandang wajahnya di cermin retak. Ia merasa bengah dan jenuh. Kosong. Ia tidak lagi bisa marah. Ia tahu setelah bencana itu wajahnya tidak lagi cantik jelita. Sayatan dimana-mana. Ia bisa dengan jelas melihat kerangka dibalik dagingnya. Kalau dulu pipinya merekah, sekarang penuh darah. Ia terluka badan dan hati. Berantakan.

"Kulahirkan anak-anaknya." katanya, "Aku korbankan diriku lebih dari seorang wanita sampai sakit. Aku baginya hanya objek. Rahimku ini hanya tempat bagi organ lebih tubuhnya itu supaya terangsang. Bajingan."

Lalu ia mencoba tersenyum. Tetapi senyum itu malah jadi seringai. Tentu saja karena bibirnya sudah terkoyak habis. Hanya ada otot dan gigi.

Dari memorinya, terpantul bagaikan film di cermin. Terlihat ketika pria itu, yang ia pikir mencintainya. Berkata padanya yang tengah berbaring di bangsal rumah sakit, "Anak-anakmu dan aku tak akan lagi melihatmu. Kau hina dan jelek. Aku akan pergi meninggalkanmu."

"Kusumpahi kau!" balas wanita itu dengan segenap tenaga, "Kusumpahi demi 1000 orang yang mati tiap hari!"

Dan wanita itu tertawa. Tertawa sekeras-kerasnya. Tawanya terpantul keseluruh tembok di rumah tua dan jelek itu. Seperti distorsi. Menusuk-nusuk setiap permukaan. Akhirnya sampai puas ia berhenti dan menyeringai lagi.

"Sedih bukan? Harus terkurung rumah yang ditinggalkan. Yang waktu itu dilanda kebakaran. Seperti menerima beribu-ribu kematian yang tiap hari datang. Kematian-kematian yang sangat tidak menawan."

Sakit dan kecelekaan memang tidak pernah suci. Kematian apalagi. Temannya sekarang hanya serat-serat dendam yang masih menggantung di udara rumah itu. Bersama juga dengan abu-abu hangus yang mengotori tembok rumah, melambangkan rasa jahat dan ketidakmurnian.

"Teng... Teng..." bunyi giring-giring.

Sesosok pria berbadan tegap terpantul juga di cermin itu. Yang telinganya daritadi mendengar desahan dendam wanita tadi. Yang tangannya berada membasuh pipi penuh darah wanita itu. Yang dagingnya berbentur dengan daging wanita itu seperti koyak-koyakan yang bertumpuk.

"Kamu cantik, Nami..." katanya.

Wanita itu diam saja. Kuku-kuku panjang pria itu bisa dirasakannya nyaris mengoyak dagingnya hanya saja kalau ia tidak perlahan-lahan menyentuhnya. Si wanita memejamkan mata.

"Dulu suamiku bilang begitu."

"Dia bukan suamimu lagi," balas pria itu pelan, "Sekarang aku suamimu. Aku yang sama tak menawannya denganmu. Suamimu tak sengaja meninggalkanku disini. Ia tidak tahu betapa menginginkanmu. Ia sudah kalah. Biarkanlah ia menikmati ribuan hidup, kau dan aku lebih kekal."

Suara pria itu begitu dalam. Sedalam kegelapan. Ia tahu ia sudah jatuh kegelapan setelah dirinya jatuh sakit, berubah seperti mayat, lalu dikhianati, dan akhirnya menumbuhkan dendam. Ia tahu ia tidak bisa kembali.

"Pada akhirnya semua orang akan jatuh kedalam tempat seperti ini. Seperti kau dan aku." lanjut pria itu,  "Kau adalah ratu tempat ini, Nami, dan aku akan memberikan bukti padamu. Kau hanya perlu menunggu kematian orang-orang itu. Aku yang akan membuat mereka mati. Mencelakai mereka, menyakiti mereka..."

"Mengapa kau begitu yakin?" tanya wanita itu.

"Karena kalau kau adalah kematian, maka darikulah lahir segala sesuatu yang jahat," jawabnya. Lalu dengan satu gerakan, ia meletakkan lutut penuh korengnya ke lantai dan menghadap wanita itu seolah ia lebih agung. Mengangkat tangan kirinya yang jari manisnya sudah tiada lalu menciumnya.

"Aku dan engkau sama. Kita tidak disukai manusia dan Tuhan. Lihat suamimu, ia meninggalkanmu, bukan? Karena ia masih tinggal di dunia yang normal. Kita sama-sama abnormal. Kulit kita terkoyak digerogoti belatung. Kita meninggali gedung apartemen tua yang dikira berhantu ini. Aku, kamu, tempat ini sama. Sama-sama dijauhi."

Giring-giring berbunyi lagi. Kali ini berirama konstan. Menambah intensitas. Membuat tempat tua dan lusuh itu jadi mengerikan. Mendatangkan ruh-ruh yang membuat perasaan tak enak.

"Aku meninginkanmu, Nami. Biarlah aku yang melengkapi kekuranganmu itu. Di tempat ini... Kita saja..."

"Maga..." panggil wanita itu ke pria yang menghadapnya. Wanita itu meninggalkan cermin. Menggenggam pundak pria itu yang membaringkannya ke lantai lembab yang kotor dan berlumut. Pria itu mulai menciumi luka dan nanahnya. Wanita itu tidak pernah merasa lebih kotor dari ini dan ia merasa puas akan hal itu.

Lonceng berbunyi tiada henti. Wanita itu mendesah bersamanya.

Godaan yang paling cantik adalah godaan yang paling jahat. Karena jahat, maka ia tidak pernah cantik. Karena jahat adalah polusi.

Saturday, March 12, 2011

Pre note: One of the character from my favorite game Soul Calibur, Sophitia is having her birthday today. Geeky happiness aside, let's put her name into this article and aspects of our lives, Divine Wisdom. :)

Singapore, 12 March 2011

My heart is in Japan... ;A;

Well, it's been in Japan before this happened by after all the earthquake and tsunami, I'm getting worried about Japan even more. Not only Japan. The whole world in general.

At first, when I received the news at my Theater Aesthetic class (which totally distracted me when I was in full focus of the class) I thought that, "Oh, it's been a long time since Japan hit by a huge earthquake. They should be ready." Not so long after that, I read Japan's warning issue to several other countries like Hawaii, Philippines, and Indonesia. Then I thought, "That must be bad." I went home, I started looking for news. The very first footage was released by Aljazeera's YouTube account and I swear I started to tremble.

More footage and photos posted on news sites from all over the world. It was the worst since 2004 earthquake and tsunami that hit Aceh. At the time, Aceh was almost drowned from the map literally, and it affected surrounding towns on Northern Sumatra and it almost reached Aceh and Medan's border. This time. Almost the whole Japan is affected and all the Eastern coast are swept away.

I can't even think of "this is the country of my idols and fun are" anymore.

It's downright devastating. The thing is I can count similar "annual" disasters that had been occurred in this past 5-6 years. Aceh tsunami, Katrina (though it caused by the tropical cyclone cycle rather than moving earth plate, still it was the worst in past few years), Haiti, Chile... and I can count several others more in my own home country. Perhaps because Indonesia got too much disasters, I empathize to Japan. It's frightening.


My best friend has a Japanese friend in college. She said that he was just arrived at Jakarta from Japan earlier than planned in order to surprise his friends in Indonesia. The next day, tsunami happened. He is in the difficulty of contacting home right now. I even actually planned a trip to Japan this summer with my classmate. A homestay like program while learning Japanese. I even intended to visit Disneyland and I've been missing that place so much for the whole month.

I suddenly felt very lonely. I don't know. Perhaps, I was being a human for a moment. I seriously can't think of anything and simply thought, "We had too much like this already, and this is one of the worst". I guess what all people say about "Whatever on earth is temporary. When God wishes them away and away they'll be."

I was lonely when the Aceh earthquake occurred too. This time figuratively and literally. Warnings were all over the country. My brother was at a camp, my parents are on pilgrimage and Mecca was flooded on the very Eid'al Adha day. I was with my Grandma at our home on Bandung. Bandung is a high terrain and on the centre of Java so logically it saves us from tsunami. But still...

Some of the US fellows are also haunted by this creepiness since they went through Katrina. And from what I read in the news at the time, Katrina's post-disaster wasn't a very good one either. It's like a little drawings of "what will happen on the apocalypse". That might sounds sort of hyperbolic, but that's the closest term I can find about it.

Yet, Japanese people don't loose their faith. I follow some Japanese musicians on twitter. They spread help. They communicate to one another. They support their victims. They also spread comfort messages about how "don't forget to smile", "please help those in stress/trauma" and all things similar. According to an Indonesian who live in Japan. Japan is also came prepared. They have known their country is vulnerable to disasters since a very, very long time. They worry, they are frightened, but they are not panic. It's touching to see my twitter timeline filled with compassion.

Though damage and victims are still inevitable. It's horrifying to read "hundreds unreported bodies are found along the coast".

Then comes the debate of "Japan deserves it" and such. Hold your horses there. I know Japan did horrible things like guro, hentai, lolicon, AVs, junior idols, Nanking Massacre and Unit 731. But hey... Every country did some shit. It's not just Japan. Maybe the shit were exposed all over the world, maybe only the citizens of the country know about this shit, or maybe the shit is covered as good deed with good publication. But either way, we are humans. At some point we do bad things. Country is a massive land with massive human population. A massive shit will be done.

Then we should remember again that; this is a natural disaster. It can happen to anyone, anywhere. Just think of HIV/AIDS. But in larger scale. We need no prejudice here. We need support.

So... It's not just about Japan. It's about us, humanity. At least we express our concern, even if we can't do anything to help. But if you're willing to, there will always a way to help. Hasn't Mother Earth warn us enough this past few years?

And a note for you fangirls and fanboys, you Japanophiles, especially we know there's the "holy ground" of our entertainment. It's not because "my otaku business is safe or not". It's not the time to think certain ground's safety only.

I think that's for tonight. Let us give our hearts to Japan, to the world.

こんな時もがんばりますよ、日本。ここから自活して。世界の皆さんもこの当事考えてありがとう。
おやすみ~

Sunday, February 6, 2011

Aku berteriak "Kembalilah!" tapi ia tidak dengar. Di depan kami ada kaca tebal yang daritadi tak berhenti kugedor-gedor. Sudah berkali-kali kucoba pecahkan kaca itu dengan apapun, tetapi aku tetap tidak bisa menggapainya.
Ia sendiri tidak mau, aku tahu itu! Ia tidak mau ditelanjangi dan dijadikan ringan. Lalu diterbangkan ke udara bak balon helium. Cipratan darah dan air mata mengalir disekelilingnya menjadi butir-butir mutiara yang beku oleh waktu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, menangis, mencoba berenang kearahku tetapi bagaimana pun kami tidak bisa saling menggapai.
"Mereka bunuh keluargaku, Ada! Mereka membiarkankanku jadi sendiri, merubahku jadi manusia balon yang bisa terbang melewati waktu." katanya dari balik kaca, "Aku tidak mau ini, Ada. Aku mau keluargaku, aku mau kakakku. Aku mau pulang!"
"Aku mendengarmu, Maya. Tapi apa yang bisa kulakukan. Aku ada dibalik kaca seberat apa aku ingin menolongmu."
Dia menangis semakin kencang. Mengais-ngais kaca yang membatasi kami, menggaruk-garuknya kencang. Rintihannya mulai mengeras ketika ia juga mencoba memukul keras kaca itu dengan tangannya yang begitu rapuh dan seputih bunga bakung. Dia mendorongnya. Tapi tidak bisa. Kaca itu tidak juga pecah. Kadang angin menerbangkan tubuhnya itu, lalu ia harus mengayuh-ayuh tangannya lagi menuju kaca yang membatasi kami.
"Tolonglah aku, Ata! Tolong aku! Aku sungguh ingin pulang ke keluargaku. Seperti yang kau ingat dihatimu. Lakukanlah sesuatu!"
Aku tidak sanggup melihat Maya menangis begitu keras. Maya yang aku kenal dari umur 10. Maya yang manis, naif, dan polos. Maya waktu itu baru 13 tahun. Walau baru beranjak remaja, Maya bisa manja. Terutama pada kakaknya. Kakak perempuannya yang cantik jelita bernama Sanya. Maya selalu bersembunyi dibalik figur Sanya yang semampai, memeluknya dari belakang dan tertawa bersamanya. Sanya mirip sekali dengan Maya, hanya saja lebih dewasa.
Dan aku tidak tahu bagaimana aku harus mengembalikan Sanya dan suaminya, Arman yang telah menjadi figur ayah untuk Maya. Mereka sudah mati dibunuh oleh orang-orang asing dengan seragam hitam dan senapan api. Halaman waktu Sanya meninggal tidak ada di bukuku maupun buku Maya. Sudah kucoba beragam cara untuk mengembalikan Sanya dan Arman. Aku menulis dibuku petuahku, dengan pena ajaibku, menulis dan menggambar bagaimana Sanya dan Arman akan hidup kembali dan menjemput Maya. Tetapi tidak bisa. Tidak berhasil. Maka kuambil zat-zat misterius dari pulau Fuledonia, kugabungkan dengan telur anakonda, dan sayap kupu-kupu. Kuikuti resep dari buku penyihir yang kubeli di Kinokuniya minggu lalu. Kuucapkan mantra dan doa. Berharap ini akan mengembalikan kebahagiaan pada Maya. Tapi tidak bisa juga. Tidak bisa juga.
Kaca itu! Kaca itu harus dipecahkan dulu! Semua sihir dan usaha yang kulakukan pasti akan berhasil jika saja kaca itu tidak membatasiku dan Maya. Aku hanya perlu itu! Tapi apa, apa yang bisa memecahkan kaca ini yang begitu tebal dan cembung. Membatasi aku dan Maya yang sama-sama ada diujung harapan.
"Baiklah, Maya! Aku akan menolongmu. Aku keluargamu juga dan keluargamu adalah keluargaku. Aku akan mengembalikan Sanya dan Arman padamu. Seperti yang pernah ada dihati kita berdua!"
Aku berdiri, kutinggalkan kaca itu. Aku mendengar Maya berteriak memanggil namaku dan bertanya mau kemana. Tenang saja, Maya. Aku akan selalu membelamu. Aku hanya perlu sesuatu.
Aku turun kebawah, melewati sebuah tangga kayu. Aku berbelok ke dapur. Mengambil itu. Parang panjang terbuat dari besi dan kunci inggris raksasa milik Ayah. Ayah pasti akan mengijinkanku. Ayah juga kenal Maya. Ayah tahu Maya adalah teman baikku dan aku tidak akan membiarkan teman baikku tersiksa.
Aku hampiri lagi kaca itu. Kaca kurang ajar yang membatasiku dengan Maya. Dengan semuanya. Dengan kebahagiaanku dan kebahagiaan Maya. Dasar kaca sialan. Sudah cukup! Aku akan membuatnya hilang dan membuat Maya dan aku menjadi tanpa batas dan saat itu juga akan kulakukan lagi satu sihir hebat yang akan membuat Maya pulang ke keluarganya.
Maya masih disitu, melayang-layang diangkasa. Wajahnya bingung meihatku membawa parang. Lalu dengan satu pukulan serius, kubentur kaca itu dengan parang ditangan. Maya terkejut, kaca itu retak kecil. Lalu sekali lagi kubentur. Masih retak kecil. Sampai akhirnya kuambil si kunci inggris yang jauh lebih berat dari parang. Kupukulkan kunci inggris ke kaca. Keras. Keras. Sekeras hidup Maya sekarang. Sekeras keringat dan air mataku. Aku tidak mau Maya sakit hati lagi. Aku tidak mau sakit hati.
"Ada?"
"Tenang saja, Maya! Kalau kupecahkan kaca ini, duniamu akan bocor ke duniaku. Kita akan bersama! Dengan begitu aku bisa mengembalikan Sanya padamu! Aku berjanji!"
Pecah.
Aliran listrik mulai bocor. Sebuah percikan energi elektrik keluar dari pecahan kaca. Ada sebuah cahaya. Sedikit lagi, sedikit lagi Maya akan datang padaku! Sedikit lagi!!!

Hitam.
Mati.
Kaca pecah dan dunia berubah hitam.
Tunggu? Apa ini? Kenapa...
Maya?
Maya? Maya, kamu dimana?
Maya? MAYA!?
"Adinda! Adinda! Kamu ngapain!? Masya Allah! Adinda!"
Apa yang...
"Ya ampun, Ibu! Ibu!! Adinda mecahin TV, bu!"
Apa yang terjadi? Kenapa Mbak Riyem begitu panik? Kenapa--
Kenapa jadi hitam! Mana Maya!? Mana Maya!? Tidak, tidak bisa begini, kembalikan Maya padaku! Aku ingin menolong Maya, aku harus menolong Maya! Aku meronta, aku tidak setuju. Kaca sialan! Kenapa kau menipuku!? Kenapa! Aku benturkan tanganku lagi kepadanya, mengoyaknya dengan tanganku sendiri, aku tidak peduli! Aku mau Maya! Aku mau Maya bahagia! Kembalikan Maya padaku!
"Adinda! Hentikan, Adinda!!!!"
Suara Ibu tidak akan menghentikan aku. Aku cuma mau Maya. Aku cuma mau membuat Maya bahagia, aku sudah hampir berhasil. Tapi kenapa? Kenapa malah begini? Kenapa malah jadi hitam dibalik kaca itu? Kenapa Maya sudah tidak ada lagi? Kenapa ada Ibu dan kenapa Ibu jadi ikut marah dan menangis? Aku yang seharusnya menangis. Aku yang harusnya marah. Aku ngga suka. Aku mau Maya...
"Adinda! Kamu ini apa-apaan sih! Lepasin tanganmu dari TV! Kamu ini dasar anak aneh! TVnya jadi rusak kan!? Lihat tanganmu itu! Sudah berdarah-darah!"
"Ngga mau!!! Aku mau Maya! Aku mau Mayaaa!!!"
Sekuat tenaga aku meronta dari pegangan Ibu. Ibu tidak mengerti, Ibu tidak akan pernah mengerti. Mereka semua tidak mengerti! Semuanya. Orang-orang berbaju hitam dengan senapan itu, kaca, semuanya. Mereka tidak mengerti lagi kalau orang ingin bahagia. Aku jadi sedih. Aku tertekan. Mereka menekanku. Jahat sekali...
"Udah ya kalau begini! Ibu bilang Ayah kamu ngga boleh main PS lagi!"
"Bu, Pak Udin sudah nunggu diluar..."
"Ayo, Adinda! Kita ke rumah sakit! Lukamu itu harus dijahit!"
Maya... Kembalikan aku pada Maya... Maya sendirian. Dia sendirian. Kegelapan itu akan memakan Maya. Menjemput Maya menuju ketiadaan. Maya... Maya...
Maya...
Aku melihatmu.
Selalu melihatmu. Disitu. Menunggu. Dengan wajahmu yang sendu dan senyummu yang sayu. Ya, aku melihat jelas kearah dirimu selalu tanpa kau harus tahu.
Bahwa aku melihatmu.
Aku melihatmu menunggu di kursi taman, duduk sendirian. Aku tahu kau sedang sendirian. Maka kuambil kesempatan itu, untuk menggapaimu, untuk menikmati waktu berdua saja denganmu. Kau menghela nafas. Pikirku ingin kutangkap nafasmu. Bertanya apa yang mengganggumu. Kau bersandar di kursi itu, menatap ke angkasa seperti memanggil rindu. Apakah kau mengingatku ketika kau memanggil rindu itu? Kurasa begitu. Karena aku tahu. Pokoknya aku tahu. Suatu saat aku berjanji akan datang kepadamu. Menggantikan angkasa yang kau tatap penuh harap itu. Menggoda kedua mata birumu sambil membelai-belai rambut panjangmu yang ikal merah itu. Seperti api, merah dan membara. Ah, kau membuatku membara. Hanya dengan membayangkan menyentuh bara rambutmu itu.
Kau sudah berjam-jam duduk di bangku itu. Kau tidak beranjak pergi. Seperti terikat, terikat pada sesatu. Terikat pada janjimu. Terikat padaku. Lalu kau mulai bergerak resah. Mengeluh tanpa kata. Menggeser-geser badanmu tetapi tidak juga berdiri. Kau memeluk tas sekolahmu itu, kau menunduk, kau menggeleng-gelengkan kepalamu. Daritadi kau tidak berhenti melihat jam. Aku menyaksikanmu! Jangan gelisah! Jangan takut! Aku tahu semua gerakanmu dan kau hanya perlu tenang dan duduk saja.
Semuanya sudah kuurus. Tenang saja.
Aku tahu. Harusnya ia datang kan? Ia telah berjanji padamu datang ke taman ini. Kau akan menemuinya di bangku taman itu. Tapi tidakkah kukatan berkali-kali padamu. Kenapa mereka dinamakan langit? Angkasa? Karena mereka hampa. Mereka tidak akan mendengarmu. Harapanmu kosong pada mereka. Tidak ada gunanya hanya menatap langit biru yang hanya berisikan arakan awan. Mereka tidak akan memberikan apapun, sayangku. Mereka tidak akan mengabulkan janji atau mimpimu.
Mereka tidak akan. Tidak akan pernah dapat engkau gapai lagi.
Kau serapuh bunga. Mungkin salah satu alasan mengapa aku selalu melihatmu. Mencintaimu tanpa kau harus tahu. Aku ingin kau, bungaku yang sedang mekar. Aku ingin merasakan semerbakmu persis ketika kau sedang mekar. Aku ingin mekar di dalammu. Aku ingin kau mekar menjadi bungaku dan aku adalah kumbangmu dan akan kubantu taburkan serbuk sarimu. Tidak akan kubiarkan bunga rapuh sepertimu tertiup angin, terkupas kelopaknya, terbang tanpa arah ke angkasa.
Tidak. Tidak akan pernah.
Kau sudah mulai tenang. Akhirnya kau senderkan lagi punggung mulusmu itu ke kursi taman. Dan aku, aku terus menatapmu. Sambil membersihkan tanganku, dari darah dan sisa-sisa rambut pirang. Aku siap menemuimu, sayang. Bungaku. Bungaku yang mekar. Aku yang akan datang padamu, bukan dia. Karena dia sudah tidak akan lagi menepati janjimu atau menjual mimpi padamu. Dia yang hampa sudah kubuang ke angkasa.
Angin berhembus, menggerakan kakiku, mendekatimu. Aku yang sudah bersih, seperti terlahir kembali. Akhirnya datang padamu.
Dan kau disitu, melihatku berjalan dari kejauhan. Aku tersenyum padamu. Ahaha, pastilah kau canggung. Ini pertama kalinya kau bertemu denganku.
Tapi tentu saja, pertemuan ini akan mengikatku dan kau selamanya.
"Halo, Saki. Aku Mina dari kelas 3-2. Kamu ngapain sendirian disini?"
"Me... Menunggu teman... Eng... Pacar."
Aku tertawa kecil. Ah, Saki-ku. Kyuu mu tidak akan datang lagi padamu.
"Ahaha, cowok. Mereka suka ngaret ya... Mau aku temani?"
Kau tersenyum, mengangguk setuju dengan basuhan delima di pipimu. Aku duduk disampingmu. Disamping tubuhmu yang langsing dan anggun dan aku tidak akan pernah bisa lebih bahagia dari ini.
Akhirnya. Akhirnya aku menaklukan angkasa dan menggapaimu. Aku mencintaimu, Saki. Aku mencintaimu dan mulai hari ini aku akan membuatmu tahu.

Thursday, February 3, 2011

Singapore, February 3rd, 2011
Around 7:23 PM
I am bored and ignore what my lecturer said to me to do not procrastinate. Yet I am. It's too fun, I just can't cannot procrastinate!

Note: This is a work of satire and I'm on my period moods so it's best to look for someone to bitch at. Nah, that's a lame excuse. This is a work of satire and if this annoys or insults you, I greatly apologize and don't bother reading it further. Grammar, vocab, and spelling wise, I'm a human too. I can be as stupid as these people I bash here sometimes.

Anyway,

So basically this is yet another trashy entry of this blog and you might as well say that this is a sequel to this previous entry on June 2010.

Hoooo boy, don't Indonesians love porn? Admit it. If you're Indonesian then you LOVE porn or you won't be wasting your time replying hate tweets to that certain minister of ours.

This is getting to the point where discussing porn in Indonesia is so amusing because first, people there are stupid and rather don't understand what purpose porn serves in the first place, and second, yes. This second point; most of our people are downright hypocrites. They're trying a little too hard to point that they aren't really interested in porn but the fact... Yeah. We all know the fact.

So yeah, and I'm human. As an ordinary humans like you are, I love to take misfortune of other people as my pleasure. And that misfortune is people being stupid and hypocrites, I bitch at them.

Let's have some insight on porn itself. Porn. Well yeah, created to serve the satisfaction of our darkest and most depraved sex-induced mind. We all know that. It's natural. We're biological beings, we have the instinct to reproduce and preserve our species. We are programmed to mate at some point of our life. Quoting to Dr. Sigmund Freud, we even subconsciously aware of this sexual necessity at early stages of our lives. So to say, porn = sex. Sex = a normal process everyone gets through in their lives. You get the idea.

Pornography supposed to be a medium to help people, especially married couple to maintain their sex lives and give them sexual education as well as "how to treat your partner right" etc, etc. But apparently... Some of em are too misguided and too shallow to think as such. Which is interesting, because this is just pointing at them on how they're nothing else than perverted and/or stupid.

I watched some videos about how porn is actually made and the people behind them. The business, the obstacles, the hardships you have to went through as a porn star, and such. It isn't fun at all, actually. In fact, you realized, porn nowadays doesn't serve any sexual purpose at all. You might say that porn is a business that strives for power and money. Just like a mafia, running some big cash-cow casino, or even a corrupted corporate and such. Since you cannot take out any rule from the Evil Rule of Three; Power+Money+Sex. So it's much more complicated than that.

But the villainous conspiracy aside, as I said the first purpose of porn is made is to enhance your sexual desire, enrich you to your sexual wisdom, and blah blah blah blah. Good side of it is porn supposed to prevent people from jumping out and hump random people on the street raping people because they're too busy watching their favorite AV idol and enjoy themselves and that "keeping your marriage alive" thing. So yeah. It does some good deeds too actually.

Buuuttt... Apparently people, especially Indonesians since I live in Indonesia most of my life (and that country is so renown from their weird quirkiness and ass-kissing habit) don't quite understand what porn actually is. No. They apparently don't understand that sex is a part of our lives! Okay, maybe they're not that "don't understand" but they deny the fact that sex is a biological thing. They see it as some taboo, gross, yet amusing guilty pleasure that you cannot reach. And that habit towards sex, my friend, is just making you stressed. Really.

I think it is okay to watch porn as long as it doesn't effect your life. Think of it like some... Watching a being humping another being. "Oh, they're copulating." So yeah. It shouldn't affect you much if you use your brain, not your dong.

"Oh... So that how it works!"

But then again. Some people just don't have enough common sense and after they watch the humping action, they decided to go out, prey innocent underage schoolgirls, lure them somewhere secluded, and... try the act. It's downright pathetic. I mean, really. Really. *facepalm* Isn't dating with your palm enough? Don't you have any other hobby? Why must you rape someone? Oh you senseless, insufferable--

And hoping that storing porn videos in your step-daughter's phone makes her wanna hump with you. Are you that desperate?

Note you, whatever there is in porn, IT IS NOT REAL. You cannot actually enact it in real life. Porn has editing. Those porn stars need some body modification which is so horrible I don't wanna start on that. They're professionals. It's their career. You're no porn star. And enact it to some random people you find on the street? Are you nuts? If you're so desperate you need to expose yourself to the real world, you have hands. Or grab a bottle and stick your thing in it. It's your responsibility for getting horny and unable to handle it. Don't drag unwilling people around. See, this is why these Indonesian people are stupid. Claiming that they were inspired by the "Ariel and Luna Porn" they just watched, they have to perform it themselves without thinking basic social human interaction. They just grab random people, freakin' rape them, and just get away with it because they were "inspired" with damn porn. How lame is that?

And what I'm gonna say next is pretty much this:


Apparently, this is the most shallowest thing I can deliver to them on how bad they are, raping people because of porn. Because I think they don't even understand about the psychological trauma their victim must through after they rape her, or they can get trouble with the authorities, or how their family will carry the shame, how this will ruin their life. They're just too stupid to understand these greater aspects of life.

So enough with stupidity (I think my IQ dropped a little bit after discussing on how stupid they are), let's talk about the hypocrites...


Tracking back to our ancestors as Indonesians, we embrace Hinduism and in Hinduism, sex is considered as a sacred thing. They build temples for fertility, they have legend, and citizens wishing for their family to be blessed and harmonious if you know what I mean. They have this "lingga" and "yoni" concept. Hell, even our National Monument is actually a giant penis inserted to a giant vagina (all courtesy of our lecherous first president). So it actually rooted in our culture, don't you think?

Well yeah, most of us now left Hinduism and so to say "we have number one most muslim populated country". In Islam, sex isn't considered a bad thing. They just have rules for it and I'd say all of them are acceptable, rational, and we I think we all should at least based on it. Have sex until married, I said yes of course. It doesn't do any harm to wait for the right time. Avoid adultery? Well of course, because adultery most definitely can causes psychological problems. Psychological problems are way harder to handle than physical problems. You may have more than one wife; well yeah you can but it clearly stated that IF YOU ARE CAPABLE TO GIVE EQUAL AND WISE AMOUNT OF SECURITY (including financial) AND COMPASSION TO YOUR WIVES then... you can. If you can't... Then you fail. If you try and fail... Then you miserably fail and I don't even know what God has in mind with you because you screwed the lives of your poor wives. So it is suggested the point of marrying more than one woman is actually... impossible.

Relating back to porn... Remember those madrasah, the Islam fanatic people, burning down Ariel and Luna's photo? I... Uh... Feel ashamed as fellow Muslim because apparently they have no common sense. Why? They fucking blocked the streets and Indonesian streets aren't that pretty because there are jams every where and what did they do? Made the jam even worse! And second... OH, COME ON. I KNOW YOU SECRETLY WANNA WATCH THE PORN. Why spreading the hate just to block out your hypocrisy? The thing is that most fanatic does this too much, it's just... Okay, I lost my words.

So let's take ourselves back on how the pornography and pornographic action amendment was made. It started with this dangdut musician, Inul with her infamous "drill" dance. Which is... a drilling movement... Ah, see it for yourself.


Well, some might consider this just a dangdut diva, being sexy, strut her stuff, and all that. But nonetheless, this led to protests, pro cons, and everything unpleasant at the moment. And came this Dangdut king turned Imam, Rhoma Irama, bashed Inul for her immodest, shameless, inappropriate, borderline blasphemy! (Okay, I'm exaggerating) dance. Then the parliament took part in that and made the purposed pornography and pornographic action amendment. It think it's legalized recently (I don't know, three or two years ago?) but naaah. It's just fail to exist.
Actually I don't even know that is the exact history of how the porn amendment came up, but that Rhoma and Inul case was one of the process on how it was created.

Oh, say hi to the obscurity of Indonesian law! :D

And anyway, the point here that Rhoma, being an Imam and all, actually had this gossip swirled around on him that he was actually "had it" with several female dangdut stars he once requited. So... You see my point here, don't you? Yeah. Him being extremely hateful to Inul and having that bad reputation around didn't exactly go well. So... Ban porn when you do pretty much the same thing as porn? What's the point?

It's like he tried to corner Inul as in like cornering his dark side that he didn't wanna expose. You just wanna get away with all the kinky stuff you are in and when you see someone that dares to expose it all (despite it's actually nothing compare to your kinky stuff), you have to corner that person because if you manage to do it, it feels like some sort of manifestation that you able to corner your kinky side, but you actually don't.

I think Disney had taught you about this (and screw your mind with it too)...


It's all psychology. We all hate psychology.

And the result for Rhoma bashing Inul? MORE RAUNCHY DANGDUT STARS APPEAR! HORRAY! 8D We got Julia Perez, Dewi Perssik, even pop celebrities follow their skankiness and whoa-hoa-hoa, bless those women for giving us fanservice and to prove that whatever the amendment is doing is not working!
And seriously, if Julia Perez considers porn star career, I will support her. I mean, really. Even her husband looks like one too, so why don't just get on with it?

Speaking of the amendment, law and such, for the recent case, there is this abominable minister that take his hate for porn to the extreme level too and spread morals, religion, across his tweets... The irony is, he is the minister of Technology and Information. Technology and Information? Internet! And you do remember a certain internet rule, right?


That's right, people, rule 34. Oh, come on now. It's a RULE. You can't scrap a RULE. If it exists, there is porn of it. No exceptions. Nowadays, we have all browsing convenience handled. Wanna protect your kids from accessing racy pictures and sites? Just go to browser preference, adjust parental settings, or contact your internet service provider. AS EASY AS THAT. We don't have to go all the way block sites nationally or everything. There are always better way to do so, right?

Well, porn being banned is actually not the real problem here. It's the way how he says, or should I say, tweets about how bad porn is, put extremity to it, yet the irony he is the Technology and Information Minister and there is no way we can escape rule 34 in the internet! Man, this guy still needs a lot to learn about the internet! He just goes on in a knight templar manner on how porn is eeeevuuuul and you will go to heeeeellll in the internet. Huh. Note that internet isn't really a good place for extremist-idealist like him. The thing is, he just based on simply aesop morals that even bore us at some point and take no sense on why porn should be banned and why sex is evil. He even fucking bashed people with HIV and AIDS, blame them for inappropriately "sticking their things in every places". I think that crossed the line.

It's just like our religion teacher back in our elementary school who keenly fucked our mind by saying "Every one who is not in our religion is eeeeeevviiiiiillll~"

So is porn to blame for all him being so obnoxious and irritating? Well... I don't know. Well, if you say porn and sex is bad, how come you are married with children? How do you keep it "warm" with your wife? How do you even-- Ah, fuck it. I don't even wanna know.

Do you really have to be that... unreasonable and senseless to such topic and being so extreme as if porn is still out there, the world will be screwed? I mean, porn is just porn. I told you, it's not real. Yeah, the whole explicit sex scenes might be real, but there are ways, crafted ways, to make it "looks real". It's like movies and film, or anything else that is crafted.  Hell, even before internet is created, peep shows, stripping clubs, brothel, and all of their sisters already exists! Why don't you try to educate people on the good use of the internet rather than spending so much time tweeting on how porn is eeeeeeeeviiiiiil~ Or how to put your common sense while watching porn? Because, if you act banishing and hide all your porn stash, there will be more stupid people who are curious into it and wanna try the act themselves, AGAIN.

We cannot escape rule 34. It's a fact. What we need now is how to prevent rule 34 to taking hold of our lives and/or how to manage it. Do we need another session on sex education for early teenagers regarding sex and the internet? Educate and give reason on WHY, don't just plainly say porn is evil and sex is not right. Sex is part of our life, again. Just, there are rules that we have to follow carefully, and EDUCATE. Sheesh. No wonder why Indonesian people are stupid.

Even I heard the EDUCATION MINISTER said that Sex Education is not important. HA! YOU HIT THE JACKPOT! Now we found a reason why there are stupid and senseless men out there preying on little girls to rape.

See, human has several needs to get them reach purpose of life, physical, psychological, you name it. In fact, Abraham Maslow created this conveniently pyramid-ed.



There, on the lowest part is the physiological needs whereas common physical needs are put there. Think of it like basic survival needs to keep your body intact. Sex is one of it. So yeah! We need sex as human being.

But to note there are higher needs that a human being needs to achieve greater aspect of life SO he can't just live relying on physiological things, so superficial, it doesn't make you any difference with ancient cavemen. Now, this relate to my theory on how Indonesian people lack of education, they don't even know they need upper aspects of the pyramid other than the physiological where they just need to eat, breath, and have fucking sex.

So I think we reached conclusion here. Insufferable extremists and hypocrites handle the greater role in the society, leaving the lower class people like us, the normal citizen, abandoned without proper education whatsoever. Resulting in misinformation, repressed guilty pleasure, and more hypocrisy among us. Porn and sex is just the poor victim of it. I can actually go further. But nah, it's too much too handle and futile because apparently they are just too dimwitted to understand. So to anyone out there who happen to read this blog, don't even dare trying to act like these people I just bitch at. Be something useful, and after that, find people like these people I just talked about and bitch at them too. World will be happier.

Tuesday, January 11, 2011

Sebenernya ini salah satu chapter fanfic... Tapi ya sudahlah. Karena samar-samar tidak terlihat ke fanficannya. 
Sedikit cerita tentang suatu putaran yang mengubah hidup, tentang dua orang yang tidak saling mengenal. Bagaimana kita melanjutkan hidup menuju kepuasan hati dan ekspektasi. Sedikit juga pengalaman ikatan yang pudar tapi tak terlupakan. Selamat dibaca.


“Sudah liat papan nilai tes kemarin?”
“Sudah-sudah… Nilaiku peringkat ke 132 nih… Ibu pasti marah…”
“Iya ya, coba nilaiku sebagus Julia.”
“Julia peringkat satu lagi?”
“Julia yang itu?”
“Iya, si ketua OSIS yang misterius dan pendiam.”
“Dia si kapten klub gymnastic kan?”
“Iya, Julia yang itu.”
“Julia tuh hebat banget ya, renking satu terus, pelajarannya pinter.”
“Dia juga sering juara klub katanya…”
“Itu Julia lewat!”
“Ih, pasti ngga mau liat sini kalau dipanggil…”

Semuanya begitu. Selalu membicarakan Julia. Julia lagi, Julia lagi sampai Julia sendiri sangat membenci dirinya. Membenci lingkungannya yang selalu saja menjadikannya topik pembicaraan. Membenci namanya yang kerap dipanggil berkali-kali. Setiap ada apa-apa selalu Julia yang dipanggil. Selalu Julia yang diandalkan. Dan setelah semuanya beres, dan Julia melakukannya lagi, semua orang selalu membicarakan kehebatannya. Tidak berhenti-berhenti, entah itu pembicaraan buruk atau baik, pokoknya Julia. Julia lagi. Julia terus, Julia, Julia, dan Julia.
Padahal mereka tidak tahu apa-apa tentang Julia. Julia tahu itu dan Julia benci akan hal itu. Seandainya ada hal yang dapat Julia lakukan, Julia akan menghapus keberadaannya dari bumi ini dan tidak ingin dikenal orang.

Julia, walau jenius dan kelewat pintar, selalu diam. Tegas, rasional, sarkastik, dan langsung ke point. Hal yang menjadi trademark dirinya dan itulah yang membuat Julia selalu sendiri setiap melakukan kegiatannya. Julia boleh bergaul, tetapi hanya sebatas kepentingan semata. Julia lebih senang sendirian, dengan sendirian tidak akan ada yang dapat mengomentari gerak-geriknya, memuji kebenarannya, dan mengoreksi kesalahannya. Semua orang menganggap Julia sombong, susah digapai, dan sedikit mengerikan. Semata-mata karena mereka tidak mengerti keinginan Julia, tidak mengerti apa yang terjadi dengan Julia.

Julia, 18 tahun, berambut pirang kotor panjang dan bermata coklat. Sepintas seperti anak normal lainnya. Julia hanya berusaha bertahan, itu yang selalu ia pikirkan. Semua ini semata cuma pertahanan dan yang kuatlah yang akan hidup. Itu sudah prinsip Julia dari kecil dahulu. Julia tidak percaya ikatan dan simpati. Yang Julia tahu hanyalah bagaimana caranya berada di piramida makanan paling atas dengan cara yang terhormat.

Julia sering berpikir sendirian, apakah di dunia ini ada yang jauh lebih berharga dari sekedar menjadi yang paling kuat. Julia bosan selalu harus berada diatas, tetapi sendirian. Julia sebenarnya benci sendirian. Tapi pikirnya mungkin ini adalah konsekuensi menjadi yang paling kuat.

Kali ini Mr. Jenkins sudah ada di depan gerbang sekolah lagi, rapi, dengan seragamnya seperti biasa menjemput Julia. Walau bisa dibilang sekolahnya adalah sekolah untuk orang yang sangat mampu, Julia masih tetap jadi sorotan aneh orang-orang. Julia hanya bisa diam, menganggap mereka rumput, dan berlalu.

"Bagaimana sekolah hari ini, Nona?" tanya Mr. Jenkins di kursi supir.

"Masih tetap seperti sekolah. Duduk, diam, diceramahi..." jawab Julia dari kursi belakang sambil menatap jalan dari jendela.

Mr. Jenkins mengangguk-angguk. Ia mengerti Julia.

"Mr. Jenkins." ujar Julia lagi, "Apa benar... Di dunia ini ada yang jauh lebih berharga dari sekedar menjadi yang terbaik?"

"Ya... Tentu saja, Nona."

"Apa itu?"

"Teman... Orang-orang yang kita sayangi... Dunia yang aman..." jawab Mr. Jenkins sesantai mungkin. Julia mengernyitkan dahi. Seperti itukah yang lebih berharga?

"Hah." Julia menghela nafas, "Sepertinya Ayah dan Ibu tidak merasa hal itu yang berharga ya?"

Julia memandang langit dan berpikir sendiri. Hal ini sudah ia pikirkan berkali-kali, tapi ia tidak pernah menemukan jawabannya. Apakah benar, memaksakan kehendak agar Julia jadi sama seperti orang tuanya yang kaya raya dan sukses itu bahagia? Tapi Julia tidak pernah merasa mereka hadir untuknya. Mereka hanya tahu kirim uang yang berlimpah megah sampai Julia muak dan menanti hasil terbaik dari Julia. Julia merenung. Konklusi yang selalu Julia dapat adalah, hidupnya sudah ditentukan. Dan Julia harus menghadapinya sendirian.

***

Kali ini kelas selesai lebih cepat. Hari itu hujan. Julia sudah merencanakan harinya. Hari ini dia tidak ada meeting di klub atau OSIS. Dia tahu guru matematika, Mr. Young akan membubarkan kelas lebih awal. Hari ini dia akan mencoba sesuatu yang ia belum pernah coba sebelumnya.

Hati Julia berdebar-debar saat ia keluar dari koridor sekolah yang klinis licin itu dan menginjak tanah di halaman belakang sekolah. Julia perlahan dan mengendap-endap, mengitari lapangan rugby dan menuju taman belakang sekolah dimana disitu terdapat pintu keluar yang Julia dan imajinasinya sekarang menganggapnya sebagai gerbang kebebasan. Bagaimanapun ia harus sembunyi karena satu sekolah mengenalinya dan kalau Mr. Jenkins sudah menghubungi orang dalam karena tidak menemukannya, itu bisa jadi gawat. Maka itu Julia harus cepat keluar sebelum hal itu terjadi.

Di taman belakang sekolah yang sempit dan penuh semak belukar, tapi tanamannya begitu indah, mekar, dan tumbuh penuh kebebasan. Julia menjadi sentimentil. Ia merasa taman itu seperti melambangkannya dan mengguyuhnya ke pintu belakang sekolah. Diambilnya jepit rambutnya dan dikoreknya gembok kunci taman itu. Untuk Julia yang jenius, tidak perlu sampai beberapa menit, pintu itu terbuka. Bahkan ia sudah memikirkan cara untuk menguncinya kembali. Dan itu berhasil. Julia pun keluar. Ke jalanan belakang sekolah. Hari ini ia akan pergi menuju destination unknown. Kemanapun ia pergi, kali ini hatinya yang membawanya.

Julia mulai melangkah, berjalan setapak jalan itu. Sampai akhirnya ia menemukan jalan besar dan orang berlalu lalang. Ada yang menunggu bus, ada yang yang berjalan kearah pertokoan. Ada yang berlari menghindari hujan dan Julia merasa derapan kaki yang berdecik dengan air terdengar indah. Julia lalu menikmati langkahnya sendiri dan untuk pertama kalinya ia merasa konyol dan sangat bodoh. Ia teringat film "Singing in the Rain" yang menurutnya konyol, tapi mungkin kenapa film itu indah adalah karena kekonyolan nya yang tidak dapat dijelaskan dengan logika. Julia tersenyum di dalam hatinya. Julia merasa seperti orang biasa yang menghilang dikeremunannya. Tidak pernah disorot, tidak pernah dilihat. Tidak juga pernah dibicarakan. Sendirian, tetapi diantara keramaian.

Sampai akhirnya Julia menuju ke jalanan yang jauh lebih sepi. Jalanan yang menurutnya menuju ke pemukiman menengah kebawah di selatan kota. Julia sendiri tidak tahu mau kemana tetapi lobang di gerbang kayu itu seperti mengundangnya masuk ke tempat baru. Dengan cuek, Julia terus berjalan, melewati gerbang, sambil memperhatikan tembok penuh grafiti yang dibasuh hujan.

Julia sekarang merasa menghilang. Tetapi ia tidak keberatan. Ia lebih baik menghilang daripada disorot. Julia terus berjalan sampai ia menemukan gang sempit yang sepertinya menuju ke jalan besar lain. Sambil mengikat blazer sekolahnya dipinggang dan menggulung kemejanya, Julia yang tangguh berjalan.

Tapi mungkin kebebasan Julia saat itu menjadi kelemahannya. Julia lupa akan skema dan logika yang selalu ia pegang sampai ia baru saja sadar bahaya telah menantinya. Di gang itu terdapat dua orang besar yang matanya tertuju pada Julia. Tatapan penuh keinginan busuk. Julia tersadar. Ia tahu ia terlambat tetapi kali ini Julia menyiapkan ancang-ancangnya. Ia tidak ingin dua pria yang tak berotak ini mengganggu perjalanannya.

"Cewek... Darimana? Sendirian? Hujan-hujan..." katanya yang satu dengan nafas dalam yang berembun ketika ia bicara.

"Bagaimana kalau kita ke tempat yang lebih hangat?" kata yang satunya lagi.

Julia sebenarnya takut, tapi Julia harus bisa menanganinya. Julia menyembunyikannya baik di dalam wajahnya yang miskin ekspresi, "Yah. Kalian saja duluan. Pergi ke neraka."

Mereka tertawa. Julia merasa dihina. Kali ini kesombongannya muncul lagi. Seenaknya saja mereka memandang rendah seorang Julia. Julia tahu ia tidak akan mungkin bisa adu otot dengan kedua pria ini. Julia mencoba menggunakan otaknya.

Mereka melangkah dekat kearah Julia. Julia mundur. Ia lebih baik lari di kejar dan membawanya ke jalanan besar. Yak. Betul sekali. Ada celah. Dan Julia adalah anak gymnastik, dan yang paling baik pula. Julia merasa bisa melakukannya. Ia hanya butuh celah itu, lompat agak jauh, dan berlalri kencang menuju jalanan ramai diseberang dan kedua otak udang itu akan terlihat sekali mau mencelakainya di kerumunan umum. Mereka tidak akan punya kesempatan.

Julia menyipitkan matanya. Dan ketika dua orang itu mulai merentangkan tangan untuk mencapai Julia, Julia menunduk, merosot kebawah, dan menggunakan celah itu untuk berlari kearah jalan besar.

Satu hal yang Julia lupa perkirakan hanyalah hujan. Julia salah perhitungan. Rupanya permukaan itu terlalu licin untuk diinjak dan Julia sudah berat karena daritadi basah karena hujan.

"UGH!" Julia terkulai jatuh. Lututnya luka. Julia pikir ia menang, tetapi kedua lelaku itu menjadi semakin mudah untuk menggeratnya.

"Hahahaha, gadis kecil jatuh!" kata si nafas berat, "Kamu pikir kamu bisa mencoba lari?"

"Makanya, turuti saja kami dan kita pergi bareng."

Julia tersekap di situasi tersebut. Ia sakit hati karena ia sudah berada diujung kekalahan walau keras kepalanya menuntut ia untuk bertindak sesuatu.

Tetapi diluar dugaan Julia, salah satu dari mereka tumbang, jatuh dan terseret keras ke aspal. Tiba-tiba seorang dari mereka sudah ada di sebelah Julia, lebih tidak berdaya lagi. Lalu terdengar suara baku hantam. Dan ketika Julia melihat ke atas, si pria besar itu pukul-memukul dengan pemuda lain. Dari perawakannya dia lebih muda dari si besar itu, tetapi sepertinya ia 2-3 tahun lebih tua dari Julia.

Apa ini? Julia ditolong orang lain. Ini bukan Julia sama sekali. Dan sekejap mati si pria besar yang satu lagi jatuh. Lalu pemuda itu berteriak, "Tunggu apa lagi kau, ayo lari!"

"Tapi--"

"Cepat, ayo lari!" Pemuda itu mencengkram lengan Julia lalu memboyongnya pergi ke jalanan besar. Dan ketika mereka akhirnya sampai ke keramaian, keduanya berhenti dan menghela nafas. Si pemuda mencengecek sekitarnya apakah kedua pria itu masih ada. Lalu ia menghadap Julia dan bilang, "5 menit dari sini ada halte bus. Sebaiknya mari segera kesana!"

Keduanya pergi menuju halte bus. Julia hanya mengikuti pemuda itu. Dia memang telah menolong Julia, tetapi Julia penasaran. Entah kenapa dia merasa pemuda ini punya aura petualangan besar yang memikat Julia. Ketika mereka sampai di halte, Julia yang melihat tempat duduk langsung merebahkan diri lalu melihat lukanya. Sepertinya pemuda itu memperhatikannya.

"Kau terluka." katanya.

"Yah. Begitulah." jawab Julia.

"Cepat diperban." katanya lagi.

Julia tertawa, "Hah, tidak tahu harus kuperban pakai apa. Aku tidak punya P3K."

Si pemuda menggelengkan kepalanya. Percikan air sedikit muncul dari rambut pirang berantakan si pemuda itu. "Heh, kau ini," katanya. "Anak manja ya? Ngga perlu P3K."

Ia mengeluarkan sapu tangan miliknya dari jaket kulit yang ia pakai. Untuk seorang pemuda, sapu tangan itu kelihatan sangat feminin dan manis. Julia jadi bingung. Darimana pemuda yang baru saja memukul jatuh dua pria yang lebih besar darinya dapat sapu tangan macam itu. Julia geli sendiri. Tanpa sadar tawanya pecah sambil pemuda itu berlutut dan membantu membalut lukanya.

"Hahaha! Real men wear pink, yah?" kata Julia usil.

"Ini punya adikku." katanya.

"Oh." Julia berhenti tertawa. Tapi ia sadar, sudah lama ia tidak tertawa lepas dan santai seperti ini.

Julia memperhatikan pemuda itu. Perawakannya benar tidak bohong, ia tidak jauh lebih tua darinya. Ia masih sangat muda tapi dari raut mukanya sudah terlihat banyak beban. Matanya biru dan dalam. Seperti yang sedih. Pria yang aneh, ujarnya dalam hati. Sebenarnya Julia ingin tahu apa yang telah Pria ini alami. Tapi urusan amat sama hidupnya. Julia merasa dia tidak punya hak untuk bertanya demikian. Jadi ia terka-terka saja bagaimana kira-kira ceritanya.

"Hey, makasih ya. Aku berhutang padamu." kata Julia pelan.

"Ya. Sama-sama. Lebih baik kau cepat pulang. Tidak baik siswi SMA sepertimu itu keluyuran sendirian di tengah hujan..." katanya. Lalu dia geram sendiri, "Lagipula, apa sih yang membuatmu sampai ke gang seperti itu!?"

"Bukan urusanmu." jawab Julia enteng. Si pemuda itu geleng-geleng kepala.

"Yah terserahlah. Aku agak sensitif melihat wanita terluka akhir-akhir ini." katanya.

"Jadi kau ini semacam ksatria gentleman rupanya? Tapi aku hargai lho." balas Julia.

"Yah..." kata si pemuda sambil menghela nafas, "Senang kau berpikir begitu... Aku hanya butuh waktu..."

Bicara apa pria ini, Julia tidak tahu. Julia berpikir kalau dia orang stress yang banyak beban. Tapi sepertinya memang benar. Dia seperti dibebani sesuatu yang sangat besar yang Julia tidak tahu apa. Dari kelihatannya, ia punya beban besar akan sesuatu tentang hidup. Sorotan matanya dapat Julia kenali. Sorotan mata setiap Julia kesepian.

"Jadi... Ibu dan adikku baru saja meninggal."

"Hah!?"

Kenapa tiba-tiba pemuda ini curhat? Julia kaget. Julia mungkin penasaran tapi tidak sebegitunya ingin tahu apalagi dicurhatin. Julia hanya bisa menjatuhkan kepalanya sedikit kesamping sambil memperhatikan pria itu lebih lanjut.

"Mereka... Dibunuh. Oleh semacam orang-orang seperti tadi." lanjutnya.

Julia hanya bisa menjawab, "Hah, kurasa sebaiknya kamu yang pulang ke rumah. Kamu banyak beban. Ngga bagus buatmu hujan-hujan begini memikirkan hal seperti itu."

"Aku tidak punya rumah lagi" katanya.

"Oh."

Sambil menatap bengong jalanan di halte yang sepi itu, si pemuda berkata lagi "Kamu, masih gadis. Sekolah, punya orang tua, bahagia, kamu sebaiknya jangan buang itu."

"Heh. Aku hampir tidak pernah punya orang tua." Julia menggelengkan kepalanya, "Kalau mereka tidak mengirimkan uang setiap bulan, mungkin aku tidak pernah tahu mereka ada."

Lalu keduanya bersatu dengan hening. Hanya diiringi desiran hujan.

Jujur di dalam hatinya, Julia mungkin merasa kalau ini terdengar aneh. Tapi semakin si pemuda ini emosional, Julia merasa semakin santai disebelahnya. Akhirnya Julia buka mulut, "Lalu. Ibu dan Adikmu tiada, kamu mau bawa hidupmu kemana?"

Mendengar Julia yang kurang ramah menutur kata-kata, pemuda itu berbalik kearah Julia yang duduk dibelakangnya, "Hey! Apa maksudmu!?"

"Maksudku..." Julia masih kalem, "Kau tidak punya siapa-siapa lagi. Aku juga. Orang tuaku cuma peduli urusan mereka. Orang-orang seperti kita ini harus mencari kehidupan."

Pemuda itu terdiam. Ia mengoreksi maksud Julia. Lalu ia menyimpulkan, "Jadi kau keluyuran di gang itu sebagai bentukmu mencari kehidupan?"

"Mungkiiiiin..." jawab Julia kurang jelas. "Yang pasti, tadi benar-benar seru. Mungkin aku sudah jadi makanan mereka kalau kau tidak datang dan menolongku."

Julia memandang keatas langit. Matanya menyambut turunnya hujan. Mata coklatnya seperti berkilau. "Mungkin... Disaat seperti itu kita menemukan hidup ya? Selama ini hidup hanya penuh pertanyaan rutinitas. Sampai akhirnya sesuatu terjadi padamu dan kau berusaha mengoreksinya."

Pemuda itu memandangi Julia dan mencoba menerka maksud anak itu. Lalu Julia meneruskan, "Lihat, hidupku terlalu lurus dan aku menemukan petualangan. Kau. Kau punya panggilan ingin melindungi orang setelah ditinggal keluargamu. Kalau kita jadi tim, mungkin kita akan jadi yang hebat."

Seketika keduanya hening. Tapi sama-sama tersenyum.

Gerimis pun mereda dan dari awan-awan mendung mulai tampak langit biru dan secercah cahaya matahari sore. Julia bangkit dari duduknya. Lalu menghampiri pemuda itu kesebelahnya.

"Sebaiknya aku kembali ke rumah, atau tidak pelayan-pelayan di rumahku itu bakal memanggil polisi. Aku tidak mau kau jadi tersangka." kata Julia santai.

"Kau ini... Mulutmu itu tidak seperti gadis." jawab si pemuda. Tapi ia terhibur dengan cara bicara Julia.

"Hey..." kata Julia lagi, "Lukaku sepertinya belum sembuh. Kubawa sapu tangan ini ya. Kujaga baik-baik. Akan kuanggap sebagai tanda hutangku padamu."

"Silahkan saja." jawab si pemuda tersenyum.
Sebuah bis datang. Julia tahu bis ini mempunyai rute yang bisa mengantar ke rumahnya. Walau diantar supir sehari-harinya, kejeniusan Julia bisa membantunya menghafal sebagian rute kota. Bis berhenti, dan Julia memberikan pamitnya pada pemuda yang baru saja ditemuinya.

"Senang berhutang padamu. Suatu hari nanti akan kubalas."

Pemuda itu tersenyum. "Sama-sama."

Julia pun berjalan menaiki bus. Lalu si pemuda menyahut, "Hey!"

Julia menoleh kearahnya. Pemuda itu tersenyum padanya. Senyum yang menurut Julia aneh karena baru kali ini sepertinya ia bisa nyambung dengan senyum itu.

"Terima kasih." katanya.

Julia membalas senyuman itu dan mengangguk.

Seiring bis berjalan, Julia merasa hidupnya sedikit berubah. Kali ini hatinya mantap dan sepertinya ia mulai bisa melihat tujuan hidup. Sambil berpegangan di bis, ia melihat ke lutut yang dibalut sapu tangan imut itu. Ia tersenyum.

Rambut panjangnya yang basah karena hujan ikut terurai kebawah. Warnanya kelihatan tambah lusuh karena kena air. Julia jadi berpikir, mungkin pembaharuan ini akan ia mulai dari rambutnya. Julia tersenyum samar.

"Hh, rambutku akan kucat merah." katanya dalam hati.
 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.