Thursday, April 22, 2010

Prolog Untuk Lagu

Tumpangtindihtumpangtindihtumpangtindih...
Pikiransayatumpangtindih.
Sedaritadipagidaritadipagidaritadipagi... Kicau... Stop. Hujan. Lalu cerah kembali.
Lalu saya ada disini.
Bertanya pada diri saya sendiri.
"Mengapa saya dilahirkan?"

Klasik! Semua manusia bertanya hal yang sama. Ibu dan Ayahmu, bahkan tetangga diseberang sana. Lagipula kami semua, menangis sesal di hari ketika Bunda lahirkan kami ke dunia.

Entah sejak kapan, ketika saya ingin berbicara, orang selalu tidak ada yang mendengarkan. Ketika saya bicara dengan teman-teman di makan siang. Ketika saya bicara tenang kepada teman yang mengganggu kesabaran. Ketika saya berbicara dan suara saya baru didengarkan ketika dicuri orang.

Sampai kapan?

Ah saya lelah. Lelah mendengarkan orang sekarang.

---------------------------------------------------

Mudah Dendam

Karena katanya, dendam itu mudah diingat.
Dendam mudah disimpan dan dilipat.
Dendam masuk kedalam kantong, kedalam dompet, dan ke dalam kaos kaki.
Dan tidak akan luntur ketika kaos kaki dicuci.
Dendam itu bahkan luput, dari batang-batang kecil kasat mata.
Atau ranjau yang jutaan jumlahnya.

Karena Ikhlas terlalu besar.
Terlalu besar untuk disimpan di satu rumah.
Apalagi di tempat sampah.
Ikhlas jarang ada yang membeli.
Karena tidak mudah dibawa pergi, masuk koper atau lemari.

Tentu saja orang memilih dendam!
Dendam praktis seperti uang logam.
Dendam dapat hidup tujuh turunan, atau di padang pasir, atau di hutan.

Maka untuk itu, saya selalu menyimpan dendam.
Di kantong kemeja kiri saya.
Agar selalu bisa saya bawa kemana-mana.
Dari sini sampai akhir masa.

---------------------------------------------------

Penebang Kayu Mencari Kalbu

Ketika saya bicara Bunda, Bunda berkata pada saya, "Kamu tidak punya Kalbu, Penebang Kayu Kecilku. Carilah Kalbumu itu!"

"Tapi harus dimana kucari Kalbu, Bunda? Oz itu hanya ada dibuku cerita. Bahkan Sang Penyihir tidak benar-benar memberikan saya Kalbu."

"Temukan lah sendiri anakku. Ibu tidak dapat membantumu. Kami sedari lahir sudah punya Kalbu. Kamu lahir dari besi dan baut. Kamu Putra Bunda yang paling pintar. Tapi sudah saatnya Kamu mencari Kalbu agar kepintaranmu itu tidak menyusahkan orang."

Maka Bunda pun membuka sebuah album foto. Milik Almarhum Kakek, katanya. Album itu usang dan penuh debu. Tidak ada foto yang tidak lusuh di dalamnya. Ada foto seorang Pria dengan dahi yang berlipat ganda. Kumisnya persegi panjang dan matanya setajam elang. Lalu Bunda berkata pada saya,

"Penebang Kayu Kecilku, inilah contoh yang tidak punya Kalbu. Ia tidak pernah mencari Kalbunya. Makanya akalnya saja yang berjalan. Akalnya berjalan terlalu sering, setiap waktu, seperti mesin tank yang hangus. Ia menciptakan sebuah dunia. Dunia imajinasi dimana Ia rajanya. Dunia cantik yang rakyatnya cinta padanya. Tapi nyatanya, ia membantai siapapun yang bukan rakyatnya."

"Semengerikan itukah kalau kita tak berKalbu, Bunda?"

Bunda mengangguk. Lalu Bunda menunjukkan salah satu foto lagi. Kali ini wajahnya putih bersih. Masa iya dia tidak punya Kalbu. Ia tidak seperti saya, atau Paman Berkumis yang keilhatan sekali kakunya. Ia tersenyum manis seperti manusia lainnya. Tetapi Bunda berkata,

"Kalau dia... Dia adalah manusia yang menyalahgunakan Kalbunya. Sayangnya, ia juga menggunakan akalnya. Ia membunuh lebih banyak korban lagi kalau kata Bunda. Ah, Penebang Kayu Kecilku. Mungkin iya akan membantai orang-orang tak berdosa seperti kamu juga. Untuk keadilan yang tidak sesuai dengan Kalbunya. Ia tidak seperti Raja yang tidak suka melihat rakyat kerajaan lain, Anakku. Ia tidak suka melihat... Orang yang ia pikir tidak semanusia dia. Dia merasa, dialah manusia yang manusia."

"Jadi Kalbunya ada dimana, Bunda?"

"Kalbunya dulu ada. Tapi sirna jadi abu. Kalau yang pertama memang tidak punya Kalbu, yang ini pernah punya Kalbu. Ah, sayang sekali Kalbunya itu."

"Begitu ya, Bunda?"

"Iya, Anakku. Maka itu Bunda ingin kau seperti Aku dan Ayahmu. Penebang Kayu yang punya Kalbu. Yang menebang kayu bukan karena diperintah. Yang menebang kayu bukan karena haarus menolong orang. Tetapi yang menebang kayu karena tahu kita sebagai makhluk di dunia ini harus saling bahu membahu. Agar Sang Pencipta tahu, sudah seberapa jauh kau laksanakan amanahmu..."

"Aku tidak mengerti Bunda..."

Lalu Bunda terseyum padaku. Dirangkulnya Aku oleh Bunda dan Bunda meneruskan ceritanya padaku siang itu.

Lalu ketika kulihat wajah Bundaku dan lengannya yang merangkulku, betapa sedihnya aku melihat diriku. Bunda yang manusia, punya kulit, lapisan lemak, otot, jaringan syaraf, darah, dan tulang masih mau mendidikku yang benar-benar dari besi dan baut.
Ya, Tuhan. Mungkinkah yang kurasakan ini adalah sebuah Kalbu? Mungkinkah ketika aku bersyukur memiliki Bunda dan cintanya padaku padaMu, adalah sebuah hal yang hanya bisa diberikan Kalbu?

----------------------------------------------------

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.