Thursday, April 22, 2010

Dear Old Friend

What happened to you, dear old friend?
We were much wiser back then.
You never seem to shout your point out,
about something you thought everyone else's fault.
Banging walls and shields and front doors.
For something everybody seem to ignore.
Oh, my dear old friend don't you know,
doing that is only going to hurt you more.

Perhaps I haven't played a role on a stage,
with huge crowd, applause, and prominence.
All I used to know when we were together.
You showered me with thousands of innocent laughter.
We don't need something to prove the existence,
for being a person that joys over sorrows.
All I know you back then, my dear old friend.
We loved our life and we were content.

------------------------------------------------------

Kontra

Adukan saja! Adukan saja! Adukan saja!
Katanya.
Tapi... Tapi... Tapi...
Kata saya.
Adukan saja!
Bentaknya.
Itu salah dia!
Katanya
Kamu tidak bersalah, kamu tidak bersalah.
Kata siapa?
Buktinya? Buktinya? Buktinya?
Saya cuma ingin... Tidak jadi lagi.
Karena saya telalu banyak meringis.
Dia pikir dia anak manis.
Mereka semua diam-diam teriris-iris.

Sepertinya.
Saya tidak tahu.
Karena hati saya jadi ambigu.
Saya benci dan dibenci.
Oleh arah angin, bahkan matahari.
Saya munafik, munafik sekali.
Saya rasa ini bukan sekalinya lagi.
Saya pasang muka malaikat saya,
lalu menipu mereka.
Iya juga.
Saya ingin jadi seperti itu!
Tetapi kenapa saya tidak suka?
Sakit ternyata.

Cinta pilih-pilih pada saya.
Saya pilih-pilih pada cinta.
Maka itu adukan saja.
Adukan saja semua amarah saya.

-----------------------------------------------
Prolog Untuk Lagu

Tumpangtindihtumpangtindihtumpangtindih...
Pikiransayatumpangtindih.
Sedaritadipagidaritadipagidaritadipagi... Kicau... Stop. Hujan. Lalu cerah kembali.
Lalu saya ada disini.
Bertanya pada diri saya sendiri.
"Mengapa saya dilahirkan?"

Klasik! Semua manusia bertanya hal yang sama. Ibu dan Ayahmu, bahkan tetangga diseberang sana. Lagipula kami semua, menangis sesal di hari ketika Bunda lahirkan kami ke dunia.

Entah sejak kapan, ketika saya ingin berbicara, orang selalu tidak ada yang mendengarkan. Ketika saya bicara dengan teman-teman di makan siang. Ketika saya bicara tenang kepada teman yang mengganggu kesabaran. Ketika saya berbicara dan suara saya baru didengarkan ketika dicuri orang.

Sampai kapan?

Ah saya lelah. Lelah mendengarkan orang sekarang.

---------------------------------------------------

Mudah Dendam

Karena katanya, dendam itu mudah diingat.
Dendam mudah disimpan dan dilipat.
Dendam masuk kedalam kantong, kedalam dompet, dan ke dalam kaos kaki.
Dan tidak akan luntur ketika kaos kaki dicuci.
Dendam itu bahkan luput, dari batang-batang kecil kasat mata.
Atau ranjau yang jutaan jumlahnya.

Karena Ikhlas terlalu besar.
Terlalu besar untuk disimpan di satu rumah.
Apalagi di tempat sampah.
Ikhlas jarang ada yang membeli.
Karena tidak mudah dibawa pergi, masuk koper atau lemari.

Tentu saja orang memilih dendam!
Dendam praktis seperti uang logam.
Dendam dapat hidup tujuh turunan, atau di padang pasir, atau di hutan.

Maka untuk itu, saya selalu menyimpan dendam.
Di kantong kemeja kiri saya.
Agar selalu bisa saya bawa kemana-mana.
Dari sini sampai akhir masa.

---------------------------------------------------

Penebang Kayu Mencari Kalbu

Ketika saya bicara Bunda, Bunda berkata pada saya, "Kamu tidak punya Kalbu, Penebang Kayu Kecilku. Carilah Kalbumu itu!"

"Tapi harus dimana kucari Kalbu, Bunda? Oz itu hanya ada dibuku cerita. Bahkan Sang Penyihir tidak benar-benar memberikan saya Kalbu."

"Temukan lah sendiri anakku. Ibu tidak dapat membantumu. Kami sedari lahir sudah punya Kalbu. Kamu lahir dari besi dan baut. Kamu Putra Bunda yang paling pintar. Tapi sudah saatnya Kamu mencari Kalbu agar kepintaranmu itu tidak menyusahkan orang."

Maka Bunda pun membuka sebuah album foto. Milik Almarhum Kakek, katanya. Album itu usang dan penuh debu. Tidak ada foto yang tidak lusuh di dalamnya. Ada foto seorang Pria dengan dahi yang berlipat ganda. Kumisnya persegi panjang dan matanya setajam elang. Lalu Bunda berkata pada saya,

"Penebang Kayu Kecilku, inilah contoh yang tidak punya Kalbu. Ia tidak pernah mencari Kalbunya. Makanya akalnya saja yang berjalan. Akalnya berjalan terlalu sering, setiap waktu, seperti mesin tank yang hangus. Ia menciptakan sebuah dunia. Dunia imajinasi dimana Ia rajanya. Dunia cantik yang rakyatnya cinta padanya. Tapi nyatanya, ia membantai siapapun yang bukan rakyatnya."

"Semengerikan itukah kalau kita tak berKalbu, Bunda?"

Bunda mengangguk. Lalu Bunda menunjukkan salah satu foto lagi. Kali ini wajahnya putih bersih. Masa iya dia tidak punya Kalbu. Ia tidak seperti saya, atau Paman Berkumis yang keilhatan sekali kakunya. Ia tersenyum manis seperti manusia lainnya. Tetapi Bunda berkata,

"Kalau dia... Dia adalah manusia yang menyalahgunakan Kalbunya. Sayangnya, ia juga menggunakan akalnya. Ia membunuh lebih banyak korban lagi kalau kata Bunda. Ah, Penebang Kayu Kecilku. Mungkin iya akan membantai orang-orang tak berdosa seperti kamu juga. Untuk keadilan yang tidak sesuai dengan Kalbunya. Ia tidak seperti Raja yang tidak suka melihat rakyat kerajaan lain, Anakku. Ia tidak suka melihat... Orang yang ia pikir tidak semanusia dia. Dia merasa, dialah manusia yang manusia."

"Jadi Kalbunya ada dimana, Bunda?"

"Kalbunya dulu ada. Tapi sirna jadi abu. Kalau yang pertama memang tidak punya Kalbu, yang ini pernah punya Kalbu. Ah, sayang sekali Kalbunya itu."

"Begitu ya, Bunda?"

"Iya, Anakku. Maka itu Bunda ingin kau seperti Aku dan Ayahmu. Penebang Kayu yang punya Kalbu. Yang menebang kayu bukan karena diperintah. Yang menebang kayu bukan karena haarus menolong orang. Tetapi yang menebang kayu karena tahu kita sebagai makhluk di dunia ini harus saling bahu membahu. Agar Sang Pencipta tahu, sudah seberapa jauh kau laksanakan amanahmu..."

"Aku tidak mengerti Bunda..."

Lalu Bunda terseyum padaku. Dirangkulnya Aku oleh Bunda dan Bunda meneruskan ceritanya padaku siang itu.

Lalu ketika kulihat wajah Bundaku dan lengannya yang merangkulku, betapa sedihnya aku melihat diriku. Bunda yang manusia, punya kulit, lapisan lemak, otot, jaringan syaraf, darah, dan tulang masih mau mendidikku yang benar-benar dari besi dan baut.
Ya, Tuhan. Mungkinkah yang kurasakan ini adalah sebuah Kalbu? Mungkinkah ketika aku bersyukur memiliki Bunda dan cintanya padaku padaMu, adalah sebuah hal yang hanya bisa diberikan Kalbu?

----------------------------------------------------

Wednesday, April 14, 2010

Selamat malam, wahai wanita terutama pria.

Saya bukan wanita yang biasanya mengisi blog ini. Wanita itu sedang tertidur pulas di dalam keheningan malam di kasur empuknya dalam balutan selimut tebal yang langsung mengusap-usap kulit karamelnya. Bibirnya yang merah merekah padat itu setengah terbuka dan menggoda saya untuk mendaratkan sebuah ciuman selamat malam kepadanya. Pasti Anda akan terkejut sekali betapa lantangnya saya mengucapkan hasrat birahi saya bukan. Hihihi, tentu saja. Tidak ada makhluk yang lebih erotis daripada saya, Lilith si succubus.

Bahkan Tuhan pun menamai saya demikian. Lilith. Dari Bahasa Arab 'Lail' yang berarti malam. 'Lilitu' adalah objek pelaku yang diambil dari kata 'malam' dengan adjektif feminin. Jadi secara etimologi, saya ini adalah "wanita malam". Nama yang begitu berarti. Saya datang ke dunia ini, hidup di hati tiap manusia. Dan ketika manusia ingin mengeluarkan hasrat birahinya, saya akan muncul dan berdiri, memakan semua energi yang dikeluarkannya sampai ia terkulai lemas. Bahkan orang Perancis menamai istilah penghisapan energi saya ini 'La Petite Morte' atau 'Kematian Kecil'. Jadi sekarang Anda tahu seberapa bahaya saya kan?

Sayangnya, manusia seringkali menyangkal kalau saya ini ada. Mereka terus saja bersikap munafik dan sok suci. Memang apanya yang suci dari mereka? Saya ini dilahirkan bersama-sama dengan mereka, di dalam hati mereka yang paling dalam. Saya ini adalah suatu bagian penting dari seutuhnya manusia. Jika saya tak ada, tidak akan ada lagi manusia yang lahir. Manusia akan punah! Mereka butuh saya. Tapi bagaimanapun juga mereka menyangkal kalau saya ini ada. Bahkan, Bapak dari ilmu Psikologi pun diam-diam menginginkan saya. Hanya sayalah yang dapat memberi satu kenikmatan yang elemen lain di dalam seorang manusia tidak dapat berikan. Sebuah kenikmatan langka yang tiada tandingannya. Sebuah surga dunia.

Mungkin mereka menganggap saya berdosa karena saya bersembunyi di balik malam, mencari mangsa, berliuk dan menari diantara kegelapan. Ketika saya menemukan seseorang dengan hasrat birahi yang berkobar, saya hisap semua energinya. Membuat ia akhirnya lemas dan sedikit lepas dari kenyataan. Begitu kuatnya tarikan saya hampir berpengaruh seperti obat terlarang pada manusia. Saya membuat mereka bertekuk, terbaring lesu seperti mayat. Saya membunuh hampir semua manusia di dunia ini tetapi tidak ada satupun yang bisa memenjarakan saya. Tidak pula para Imam. Tidak pula para santri dan orang suci. Saya akan tetap membunuh mereka dari kemunafikan yang mereka sembunyikan. Saya hidup di dalam mereka juga. Saya hidup di dalam Anda, wahai manusia.

Orang-orang barat melepas saya begitu saja. Mereka membiarkan saya seutuhnya menjadi bagian dari manusia. Orang-orang timur memuja saya. Tanyakanlah para petinggi Hindu dan Shinto. Mereka memuja saya karena saya bagian dari manusia. Saya ini alami. Saya tidak akan datang dengan paksaan. Saya datang dengan sendirinya. Membawa berbagai macam stimulasi dan godaan. Membelai halus setiap inci kulit luar manusia lalu berbisik dalam ke telinga mereka. Mereka pasti akan membawa saya ke dalam tidur-tidur mereka. Dan mereka yang melepas dan memuja saya mempercayai hal itu. Mereka mengerti akan kehadiran saya. Lalu, mengapa Anda masih saja tidak mau mengakui saya?

Saya sudah bilang kepada Anda janji-janji saya. Saya menyertakan kepuasan yang tidak bisa Anda teguk atau telan... Kecuali Anda tidak menanggapinya literal. Saya adalah makhluk yang selalu Anda inginkan dan disini saya memberi tahu Anda bahwa saya ada di dalam Anda. Apakah Anda sekarang mau percaya pada saya?

Tidak, wahai cintaku manusia. Tidak ada salahnya. Tidak ada salahnya menelusuri seluk bekuk tubuh Anda dan mereka manusia lainnya. Tidak ada salahnya mencicipi tembok-tembok kotor yang mengellilingi tubuh manusia. Tidak ada salahnya menghirup sedikit aroma birahi dan mengintip apa yang dilakukan mereka. Tidak ada bedanya juga apakah Anda wanita atau pria. Manusia harus bisa menyayangi manusia lainnya, bukan? Maka koyaklah kulit-kulit lusuh itu dan keluarkan saya dari Anda. Saya mencintai Anda manusia. Tidak ada yang akan membenci Anda jika Anda pada akhirnya menggigil basah dan terkulai tak berdaya.

Cium saya, manusia! Cium saya! Kulam saya dengan bibir-bibir Anda! Jangan ingkari saya lagi. Jangan lepaskan saya dari genggaman Anda! Ah! Iya! Seperti itu! Cium saya seutuhnya. Saya akan memberikan Anda kebahagiaan. Anda ingin itu bukan? Anda menyukainya kan? Sekali saja Anda membebaskan saya, maka Anda seutuhnya manusia. Makhluk yang sempurna. Makhluk yang tidak munafik dan jujur pada dirinya.

Monday, April 12, 2010

Jadi saya baru mengalami kejadian buruk tentang aplikasi perilaku manusia yang sangat benar-benar mengecewakan. Saya bingung apakah harus belajar untuk menjadi manusia yang "melupakan sakit hati" saya sajakah seperti yang Ibu bilang atau malah menganut pelajaran bahwa "manusia itu semuanya busuk dan lebih baik tidak usah dipercaya".

Tergoda sekali saya menganut aesop yang kedua, "manusia itu semuanya busuk dan lebih baik tidak usah dipercaya". Begitu bisik Nemesis ke telinga saya. "Jangan dengarkan Ibumu, dengarkan saya saja. Kamu kesal kan? Dendam kan? Marah sekali kan atas hakmu sebagai manusia yang seutuhnya disalahgunakan oleh manusia lain yang punya tanggung jawab besar? Bukan hanya nyawamu, lho!" katanya pada saya, "Nyawa orang lain juga! HELL, HE HAS THE OFFICIAL CERTIFICATE TO DO SO!"

Terus, terus, Nemesis berbisik pada saya perlahan-lahan dengan penuh kesabaran dan saya mengangguk-angguk terlena dengan bis. Sementara di telinga kanan saya Ibu saya berkata "Kak, jangan dipikirin sakit hatinya, ya. Ibu juga kesel. Kita ngga usah periksa di situ lagi. Kamu urusin aja yang lebih penting dulu. Ngga usah marah... Janji ya..."

"Iya, Kakak janji." jawab saya. Sambil menyilangkan jari. Hati saya ada pada Nemesis.

Jadi Nemesis mengingatkan saya bahwa betapa mudah sekali menyebarkan kekesalan dan dendam saya dengan teknologi sekarang. Facebook, twitter, semuanya. Informasi jadi tidak ada harganya dan saya rasa saya ingin menikmati hal itu sekarang. Maka itulah saya katakan bahwa saya dendam sekali bahwa saya telah dipermainkan melalui diagnosa oleh seorang dokter.

Pintar sekali, Pak Dokter. Pintar! Saya salut pada Anda karena pertama, Anda sudah menjalankan tugas Anda sebagai dokter, mengubah-ubah diagnosa Anda yang kecil jadi besar, besar jadi kecil kepada seorang gadis yang sudah sakit sedari 7 tahun yang lalu. Mulia sekali hati Anda membesarkan hati saya bahwa saya ini punya penyakit kronis dan membuat saya luntang-lantung dan ketat sekali menjaga kesehatan saya lalu dengan santai bilang "Eh, cuma sakit flu ah". Betul sekali, Pak Dokter. Saya ini sama seperti Tante Prita. Saya sama seperti "Batang Kayu" yang dokter-dokter Jepang itu bedah di Manchuria pada Perang Dunia II. Saya ini hanya sebagian kecil dari manipulasi orgnisasi komersil Pak Dokter saja kan?

Jadi dipikir-pikir, untuk apa Pak Dokter, apalagi saya, untuk memikirkan kesehatan saya sendiri sedari sekarang. Betul kan? Karena diagnosa dan penyakit saya bisa berubah-berubah. Bahkan mungkin ini semua sekedar fantasi saya dan Pak Dokter saja.

Saya jadi merasa berat di hati. Takut saya serupa orang dewasa pada umumnya. Sakit. Perawatan. Biaya. Masa depan. Pengaruh apa nantinya. Tetapi tangisan dan sakit hati saya serupa anak kecil. Saya merasa ditipu, dijahatin, ditinggal teman yang ia pikir bisa ia percaya. Mungkin Pak Dokter sedang menikmati uang Ibu saya sekarang berikut konsultasi kami hari ini dan hari sebelumnya dimana Bapak mendiagnosa saya dengan ceria kalau saya punya penyakit kronis. Saya tahu penyakit kronis itu tidak berarti besar, tetapi hanya ada pada jangka waktu yang lama. Pak Dokter tidak tahu kan betapa mudah ilmu pengetahuan bocor sekarang dan perasaan sombong Bapak tidak ada gunanya lagi pada kami semua. Tapi jangan seenaknya merubah penyakit saya yang capek-capek saya pikir ini adalah akar dari semua keluhan saya yang tidak berhenti-henti dari usia 13 tahun menjadi sesuatu yang baru saja saya dapat kemarin.

Saya juga iba pada Ibu saya lho, Pak. Bapak pasti punya istri dan anak saya rasa. Tahu perasaan istri bapak kalau anaknya terus-terusan mengeluh? Apa sih yang seorang ibu rumah tangga yang bisa lakukan selain berusaha? Susahkah menolong si Ibu?

Mudah-mudahan Bapak dapat bayarannya yang jauh lebih besar dari uang yang Bapak hasilkan dari pasien-pasien Bapak sekarang. Untung bapak jadi lebih besar, dan mudah-mudah saya memang hanya masuk angin saja tanpa sinusitis, dysphagia, batuk kronis, atau maag yang terus-terusan. Mudah-mudahan saya bisa sembuh ya, Pak besok. Kan sakit saya tidak parah. CUMA MASUK ANGIN SAJA.

Payah sekali memang saya ini. Sudah 20 tahun tetapi masih tidak bisa membedakan yang mana yang bisa dipercaya yang mana yang tidak. Lalu, setelah dikhianati menangis seperti layaknya umur 6 tahun. Bodoh sekali saya. Bodoh sekali. Kasihan sekali teman saya yang dikhianati pacarnya. Kasihan sekali tante saya yang dikhianati suaminya. Kasihan sekali kami. Kasihan sekali Tante Prita yang dikhianati habis-habisan oleh orang yang ia pikir bisa ia percaya.

Mungkin kasus saya tidak sebesar Tante Prita tapi, lagipula, amanah dari kami hampir sama.
Tidak ada manusia yang benar-benar bisa kita percaya.
 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.