Thursday, January 24, 2013

Malam ini saya dikritik oleh seorang kolega karena katanya saya terlalu banyak protes kepada negara ini dan menolak untuk melihat hal yang baik dari negara ini. Tadinya saya dongkol; "Eh! Tunggu dulu! Maksud Anda apa bicara begitu sama saya?" Lama-kelamaan, ketika akhirnya saya mencoba berbicara dengan si kolega ini, saya jadi bingung. "Kenapa dia mengkritik saya terlalu terbawa akan topik krusial seperti ini? Yang saya bicarakan ini kan sangat mendasar? Kalau kamu peduli, bukannya seharusnya kamu ikut prihatin?"

Mungkin pertamanya sih salah saya, pake ngomong di twitter segala. Udah tau cuma 140 karakter. Benar, 140 karakter memang sebenarnya tidak cukup untuk menjelaskan apa sebenarnya maksud dan wacana asli dari apa yang ingin kita sampaikan. Sebenarnya simpel, seminggu yang lalu saya baru saja diporotin orang pajak untuk hal yang tidak masuk akal; buku dan Video Game. Masa harga pajaknya setengah dari harga barang + biaya pengriman? Yah, kan tidak sepadan dong, tidak masuk akal. Orang dari jasa pengirimnya saja sampai kaget kok ketika saya perlihatkan tagihan dan jenis barangnya. Memangnya mengeluarkan duit itu hal yang mudah? Saya belum punya penghasilan, dan justru itulah salah satu alasan yang memberatkan saya juga. Orang tua saya harus membayar si harga pajak yang sejuta lebih tadi untuk hal yang bahkan tidak bisa dibilang barang mewah juga. Kan duitnya bisa disimpan untuk yang lain. Belum lagi, semua orang tahu birokrasi perpajakan di Indonesia itu kaya apa. Ini sih bukan rahasia. Kita warganya cuma bisa makan hati. Lihat aja ntar ada petugas pajak bawa mobl mewah baru, itu hasil malak pajak buku gue tuh! Kan ujungnya selalu begitu. Anak negri mana sih yang tidak berharap uang pajak itu dipakai untuk memperbaiki saluran air di Jakarta supaya tidak terus banjir? Anak ngeri mana yang tidak mau uang pajak itu benar-benar dipakai pembangunan, bukan dikantongi sebagian sama yang seharusnya berwenang?

Belum lagi, dihangat-hangatnya menuju eleksi kepresidenan, pakai ada badut-badut yang mengaku dirinya pantas jadi pemimpin negara. Pakai ada yang bisa-bisanya bilang "Oh, saya mencalonkan diri jadi presiden cuma untuk meramaikan saja." Pasti tahu dong, ini siapa oknumnya. Ditengah Indonesia yang sedang susah begini, bisa-bisanya dia bicara kaya begitu. Kok bisa ya? Apa ia tidak berpikir kalau jadi pemimpin negara itu adalah tanggung jawab besar dan bukan posisi yang enak? Kita tahu oknum ini pasti tidak akan ada pengikutnya juga, tapi ketika ia bilang "meramaikan", menurut saya ia seperti menghina jabatan presiden itu sendiri. Kan ketahuan bahwa ia menganggap eleksi kepresidenan hanyalah sesuatu yang serupa bagai pesta pora yang siapa saja boleh serta.

Hah, itu cuma sebagian kecil, kalau kita bicara, banyak lagi berita-berita yang tidak enak didengar. DPR asal ngomong lah, pejabat jujur dicemooh lah, belum lagi yang menurut headline-nya TV One; Jakarta Tenggelam. Wajar dong kalau kadang kita ingin menimpali dan ikut mengekspresikan keprihatinan kita?

Tapi ya salah saya tadi; ngomongnya di twitter.

Salah pahamlah kawan saya ini dan ia bilang saya teralalu terbawa dan tidak bisa melihat sisi baiknya negara ini. Katanya saya telalu banyak protes dan marah-marah seolah saya tidak menghargai apa yang sebenarnya ada.

Hmmmm... Memang sih saya kelihatannya ngomong doang, tapi kan situ tak tahu saya telah berbuat apa.

Tapi, jika kita tidak pernah melihat sisi baik; akankah kita sekesal ini melihat orang pajak yang meraup apa yang sepantasnya bisa membuat negri ini lebih baik? Akankah kita prihatin melihat orang-orang yang seenaknya saja ingin memiliki kursi kepresidenan? Justru karena kita tahu; negri ini pernah baik dan sebenarnya negri ini sangat baik. Kita pernah melihat kalau banyak anak negri yang pernah berkaya atau ingin sekali sekolah. Kita banyak melihat seni dan nilai budaya yang ingin kita jaga. Kita ingin memperbaiki negri kita sendiri. Aneh kalau justru kita tidak pernah terbawa atau tidak ingin berbicara ketika orang-orang yang mengaku anak negri tapi merusak negrinya sendiri. Tentu saja saya sempat marah sama kolega saya tadi. Kenapa dia tidak paham? Kenapa saya dibilang marah dan terlalu terbawa suasana? Bagaimana tidak jadi terbawa suasana kalau faktanya begini yang kejadian?

Karena ngomongnya di twitter... (jadi reccuring joke-lah ini...)

Yah, mungkin saya kelihatan cuma sekedar bicara tapi tak berbuat. Atau mungkin teman dekat saya kebanyakan anak sosial politik, jadi kadang-kadang ini jadi standard lunch topic. Mungkin ya itu tadi, saya salah medium. Tapi menurut saya, justru aneh jika tidak ada yang mengekspresikan keprihatinan, karena ini hal yang mendasar menyangkut negri ini. Walaupun saya ini hanyalah seniman muda, yang belum banyak berpengalaman, tapi setidaknya saya bisa berbicara dan hal itulah yang akan selalu saya lakukan. Saya setidaknya bersyukur, saya masih mau tahu apa yang terjadi di negri ini, sekalipun itu hal yang buruk. Karena dengan tahu akan hal yang buruk, kita selalu bisa belajar untuk bagaimana jadi lebih baik.
 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.