Monday, March 14, 2011



Prakata: Menurut saya ini aga kompleks dan isu yang dibahas sepertinya macam-macam. Ingin mencoba mengubek-ubek tema cinta, penghiantan, dosa, agama Shinto, dan apapun yang menurut pembaca bisa temukan disini. Pada akhirnya interpretasi ada dipikiran pembaca masing-masing. Kalau tertarik, boleh didiskusikan di kolom komen :D
(Salah satu isu yang dibahas juga mungkin adalah penulis kebanyakan main "Shin Megami Tensei: Persona 4" *jujur* =__=;)



***


"Teng... Teng..." bunyi giring-giring.


Ia memandang cermin di rumah kosong itu. Rumah yang berantakan dengan barang-barang berserakan. Furnitur dimana-mana. Ruangan itu gelap gulita pula dan air bocor menetes, menjadikannya lembab.Tidak terkoodinir. Dipolusi debu dan kotoran. Tidak indah. Tidak suci.

"Tidak lagi..." ujarnya. Bersahutan dengan giring-giring yang entah berbunyi darimana.

"Ah, perasaan apa ini..." ujarnya seraya memandang wajahnya di cermin retak. Ia merasa bengah dan jenuh. Kosong. Ia tidak lagi bisa marah. Ia tahu setelah bencana itu wajahnya tidak lagi cantik jelita. Sayatan dimana-mana. Ia bisa dengan jelas melihat kerangka dibalik dagingnya. Kalau dulu pipinya merekah, sekarang penuh darah. Ia terluka badan dan hati. Berantakan.

"Kulahirkan anak-anaknya." katanya, "Aku korbankan diriku lebih dari seorang wanita sampai sakit. Aku baginya hanya objek. Rahimku ini hanya tempat bagi organ lebih tubuhnya itu supaya terangsang. Bajingan."

Lalu ia mencoba tersenyum. Tetapi senyum itu malah jadi seringai. Tentu saja karena bibirnya sudah terkoyak habis. Hanya ada otot dan gigi.

Dari memorinya, terpantul bagaikan film di cermin. Terlihat ketika pria itu, yang ia pikir mencintainya. Berkata padanya yang tengah berbaring di bangsal rumah sakit, "Anak-anakmu dan aku tak akan lagi melihatmu. Kau hina dan jelek. Aku akan pergi meninggalkanmu."

"Kusumpahi kau!" balas wanita itu dengan segenap tenaga, "Kusumpahi demi 1000 orang yang mati tiap hari!"

Dan wanita itu tertawa. Tertawa sekeras-kerasnya. Tawanya terpantul keseluruh tembok di rumah tua dan jelek itu. Seperti distorsi. Menusuk-nusuk setiap permukaan. Akhirnya sampai puas ia berhenti dan menyeringai lagi.

"Sedih bukan? Harus terkurung rumah yang ditinggalkan. Yang waktu itu dilanda kebakaran. Seperti menerima beribu-ribu kematian yang tiap hari datang. Kematian-kematian yang sangat tidak menawan."

Sakit dan kecelekaan memang tidak pernah suci. Kematian apalagi. Temannya sekarang hanya serat-serat dendam yang masih menggantung di udara rumah itu. Bersama juga dengan abu-abu hangus yang mengotori tembok rumah, melambangkan rasa jahat dan ketidakmurnian.

"Teng... Teng..." bunyi giring-giring.

Sesosok pria berbadan tegap terpantul juga di cermin itu. Yang telinganya daritadi mendengar desahan dendam wanita tadi. Yang tangannya berada membasuh pipi penuh darah wanita itu. Yang dagingnya berbentur dengan daging wanita itu seperti koyak-koyakan yang bertumpuk.

"Kamu cantik, Nami..." katanya.

Wanita itu diam saja. Kuku-kuku panjang pria itu bisa dirasakannya nyaris mengoyak dagingnya hanya saja kalau ia tidak perlahan-lahan menyentuhnya. Si wanita memejamkan mata.

"Dulu suamiku bilang begitu."

"Dia bukan suamimu lagi," balas pria itu pelan, "Sekarang aku suamimu. Aku yang sama tak menawannya denganmu. Suamimu tak sengaja meninggalkanku disini. Ia tidak tahu betapa menginginkanmu. Ia sudah kalah. Biarkanlah ia menikmati ribuan hidup, kau dan aku lebih kekal."

Suara pria itu begitu dalam. Sedalam kegelapan. Ia tahu ia sudah jatuh kegelapan setelah dirinya jatuh sakit, berubah seperti mayat, lalu dikhianati, dan akhirnya menumbuhkan dendam. Ia tahu ia tidak bisa kembali.

"Pada akhirnya semua orang akan jatuh kedalam tempat seperti ini. Seperti kau dan aku." lanjut pria itu,  "Kau adalah ratu tempat ini, Nami, dan aku akan memberikan bukti padamu. Kau hanya perlu menunggu kematian orang-orang itu. Aku yang akan membuat mereka mati. Mencelakai mereka, menyakiti mereka..."

"Mengapa kau begitu yakin?" tanya wanita itu.

"Karena kalau kau adalah kematian, maka darikulah lahir segala sesuatu yang jahat," jawabnya. Lalu dengan satu gerakan, ia meletakkan lutut penuh korengnya ke lantai dan menghadap wanita itu seolah ia lebih agung. Mengangkat tangan kirinya yang jari manisnya sudah tiada lalu menciumnya.

"Aku dan engkau sama. Kita tidak disukai manusia dan Tuhan. Lihat suamimu, ia meninggalkanmu, bukan? Karena ia masih tinggal di dunia yang normal. Kita sama-sama abnormal. Kulit kita terkoyak digerogoti belatung. Kita meninggali gedung apartemen tua yang dikira berhantu ini. Aku, kamu, tempat ini sama. Sama-sama dijauhi."

Giring-giring berbunyi lagi. Kali ini berirama konstan. Menambah intensitas. Membuat tempat tua dan lusuh itu jadi mengerikan. Mendatangkan ruh-ruh yang membuat perasaan tak enak.

"Aku meninginkanmu, Nami. Biarlah aku yang melengkapi kekuranganmu itu. Di tempat ini... Kita saja..."

"Maga..." panggil wanita itu ke pria yang menghadapnya. Wanita itu meninggalkan cermin. Menggenggam pundak pria itu yang membaringkannya ke lantai lembab yang kotor dan berlumut. Pria itu mulai menciumi luka dan nanahnya. Wanita itu tidak pernah merasa lebih kotor dari ini dan ia merasa puas akan hal itu.

Lonceng berbunyi tiada henti. Wanita itu mendesah bersamanya.

Godaan yang paling cantik adalah godaan yang paling jahat. Karena jahat, maka ia tidak pernah cantik. Karena jahat adalah polusi.

Saturday, March 12, 2011

Pre note: One of the character from my favorite game Soul Calibur, Sophitia is having her birthday today. Geeky happiness aside, let's put her name into this article and aspects of our lives, Divine Wisdom. :)

Singapore, 12 March 2011

My heart is in Japan... ;A;

Well, it's been in Japan before this happened by after all the earthquake and tsunami, I'm getting worried about Japan even more. Not only Japan. The whole world in general.

At first, when I received the news at my Theater Aesthetic class (which totally distracted me when I was in full focus of the class) I thought that, "Oh, it's been a long time since Japan hit by a huge earthquake. They should be ready." Not so long after that, I read Japan's warning issue to several other countries like Hawaii, Philippines, and Indonesia. Then I thought, "That must be bad." I went home, I started looking for news. The very first footage was released by Aljazeera's YouTube account and I swear I started to tremble.

More footage and photos posted on news sites from all over the world. It was the worst since 2004 earthquake and tsunami that hit Aceh. At the time, Aceh was almost drowned from the map literally, and it affected surrounding towns on Northern Sumatra and it almost reached Aceh and Medan's border. This time. Almost the whole Japan is affected and all the Eastern coast are swept away.

I can't even think of "this is the country of my idols and fun are" anymore.

It's downright devastating. The thing is I can count similar "annual" disasters that had been occurred in this past 5-6 years. Aceh tsunami, Katrina (though it caused by the tropical cyclone cycle rather than moving earth plate, still it was the worst in past few years), Haiti, Chile... and I can count several others more in my own home country. Perhaps because Indonesia got too much disasters, I empathize to Japan. It's frightening.


My best friend has a Japanese friend in college. She said that he was just arrived at Jakarta from Japan earlier than planned in order to surprise his friends in Indonesia. The next day, tsunami happened. He is in the difficulty of contacting home right now. I even actually planned a trip to Japan this summer with my classmate. A homestay like program while learning Japanese. I even intended to visit Disneyland and I've been missing that place so much for the whole month.

I suddenly felt very lonely. I don't know. Perhaps, I was being a human for a moment. I seriously can't think of anything and simply thought, "We had too much like this already, and this is one of the worst". I guess what all people say about "Whatever on earth is temporary. When God wishes them away and away they'll be."

I was lonely when the Aceh earthquake occurred too. This time figuratively and literally. Warnings were all over the country. My brother was at a camp, my parents are on pilgrimage and Mecca was flooded on the very Eid'al Adha day. I was with my Grandma at our home on Bandung. Bandung is a high terrain and on the centre of Java so logically it saves us from tsunami. But still...

Some of the US fellows are also haunted by this creepiness since they went through Katrina. And from what I read in the news at the time, Katrina's post-disaster wasn't a very good one either. It's like a little drawings of "what will happen on the apocalypse". That might sounds sort of hyperbolic, but that's the closest term I can find about it.

Yet, Japanese people don't loose their faith. I follow some Japanese musicians on twitter. They spread help. They communicate to one another. They support their victims. They also spread comfort messages about how "don't forget to smile", "please help those in stress/trauma" and all things similar. According to an Indonesian who live in Japan. Japan is also came prepared. They have known their country is vulnerable to disasters since a very, very long time. They worry, they are frightened, but they are not panic. It's touching to see my twitter timeline filled with compassion.

Though damage and victims are still inevitable. It's horrifying to read "hundreds unreported bodies are found along the coast".

Then comes the debate of "Japan deserves it" and such. Hold your horses there. I know Japan did horrible things like guro, hentai, lolicon, AVs, junior idols, Nanking Massacre and Unit 731. But hey... Every country did some shit. It's not just Japan. Maybe the shit were exposed all over the world, maybe only the citizens of the country know about this shit, or maybe the shit is covered as good deed with good publication. But either way, we are humans. At some point we do bad things. Country is a massive land with massive human population. A massive shit will be done.

Then we should remember again that; this is a natural disaster. It can happen to anyone, anywhere. Just think of HIV/AIDS. But in larger scale. We need no prejudice here. We need support.

So... It's not just about Japan. It's about us, humanity. At least we express our concern, even if we can't do anything to help. But if you're willing to, there will always a way to help. Hasn't Mother Earth warn us enough this past few years?

And a note for you fangirls and fanboys, you Japanophiles, especially we know there's the "holy ground" of our entertainment. It's not because "my otaku business is safe or not". It's not the time to think certain ground's safety only.

I think that's for tonight. Let us give our hearts to Japan, to the world.

こんな時もがんばりますよ、日本。ここから自活して。世界の皆さんもこの当事考えてありがとう。
おやすみ~
 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.