Tuesday, January 11, 2011

Sebenernya ini salah satu chapter fanfic... Tapi ya sudahlah. Karena samar-samar tidak terlihat ke fanficannya. 
Sedikit cerita tentang suatu putaran yang mengubah hidup, tentang dua orang yang tidak saling mengenal. Bagaimana kita melanjutkan hidup menuju kepuasan hati dan ekspektasi. Sedikit juga pengalaman ikatan yang pudar tapi tak terlupakan. Selamat dibaca.


“Sudah liat papan nilai tes kemarin?”
“Sudah-sudah… Nilaiku peringkat ke 132 nih… Ibu pasti marah…”
“Iya ya, coba nilaiku sebagus Julia.”
“Julia peringkat satu lagi?”
“Julia yang itu?”
“Iya, si ketua OSIS yang misterius dan pendiam.”
“Dia si kapten klub gymnastic kan?”
“Iya, Julia yang itu.”
“Julia tuh hebat banget ya, renking satu terus, pelajarannya pinter.”
“Dia juga sering juara klub katanya…”
“Itu Julia lewat!”
“Ih, pasti ngga mau liat sini kalau dipanggil…”

Semuanya begitu. Selalu membicarakan Julia. Julia lagi, Julia lagi sampai Julia sendiri sangat membenci dirinya. Membenci lingkungannya yang selalu saja menjadikannya topik pembicaraan. Membenci namanya yang kerap dipanggil berkali-kali. Setiap ada apa-apa selalu Julia yang dipanggil. Selalu Julia yang diandalkan. Dan setelah semuanya beres, dan Julia melakukannya lagi, semua orang selalu membicarakan kehebatannya. Tidak berhenti-berhenti, entah itu pembicaraan buruk atau baik, pokoknya Julia. Julia lagi. Julia terus, Julia, Julia, dan Julia.
Padahal mereka tidak tahu apa-apa tentang Julia. Julia tahu itu dan Julia benci akan hal itu. Seandainya ada hal yang dapat Julia lakukan, Julia akan menghapus keberadaannya dari bumi ini dan tidak ingin dikenal orang.

Julia, walau jenius dan kelewat pintar, selalu diam. Tegas, rasional, sarkastik, dan langsung ke point. Hal yang menjadi trademark dirinya dan itulah yang membuat Julia selalu sendiri setiap melakukan kegiatannya. Julia boleh bergaul, tetapi hanya sebatas kepentingan semata. Julia lebih senang sendirian, dengan sendirian tidak akan ada yang dapat mengomentari gerak-geriknya, memuji kebenarannya, dan mengoreksi kesalahannya. Semua orang menganggap Julia sombong, susah digapai, dan sedikit mengerikan. Semata-mata karena mereka tidak mengerti keinginan Julia, tidak mengerti apa yang terjadi dengan Julia.

Julia, 18 tahun, berambut pirang kotor panjang dan bermata coklat. Sepintas seperti anak normal lainnya. Julia hanya berusaha bertahan, itu yang selalu ia pikirkan. Semua ini semata cuma pertahanan dan yang kuatlah yang akan hidup. Itu sudah prinsip Julia dari kecil dahulu. Julia tidak percaya ikatan dan simpati. Yang Julia tahu hanyalah bagaimana caranya berada di piramida makanan paling atas dengan cara yang terhormat.

Julia sering berpikir sendirian, apakah di dunia ini ada yang jauh lebih berharga dari sekedar menjadi yang paling kuat. Julia bosan selalu harus berada diatas, tetapi sendirian. Julia sebenarnya benci sendirian. Tapi pikirnya mungkin ini adalah konsekuensi menjadi yang paling kuat.

Kali ini Mr. Jenkins sudah ada di depan gerbang sekolah lagi, rapi, dengan seragamnya seperti biasa menjemput Julia. Walau bisa dibilang sekolahnya adalah sekolah untuk orang yang sangat mampu, Julia masih tetap jadi sorotan aneh orang-orang. Julia hanya bisa diam, menganggap mereka rumput, dan berlalu.

"Bagaimana sekolah hari ini, Nona?" tanya Mr. Jenkins di kursi supir.

"Masih tetap seperti sekolah. Duduk, diam, diceramahi..." jawab Julia dari kursi belakang sambil menatap jalan dari jendela.

Mr. Jenkins mengangguk-angguk. Ia mengerti Julia.

"Mr. Jenkins." ujar Julia lagi, "Apa benar... Di dunia ini ada yang jauh lebih berharga dari sekedar menjadi yang terbaik?"

"Ya... Tentu saja, Nona."

"Apa itu?"

"Teman... Orang-orang yang kita sayangi... Dunia yang aman..." jawab Mr. Jenkins sesantai mungkin. Julia mengernyitkan dahi. Seperti itukah yang lebih berharga?

"Hah." Julia menghela nafas, "Sepertinya Ayah dan Ibu tidak merasa hal itu yang berharga ya?"

Julia memandang langit dan berpikir sendiri. Hal ini sudah ia pikirkan berkali-kali, tapi ia tidak pernah menemukan jawabannya. Apakah benar, memaksakan kehendak agar Julia jadi sama seperti orang tuanya yang kaya raya dan sukses itu bahagia? Tapi Julia tidak pernah merasa mereka hadir untuknya. Mereka hanya tahu kirim uang yang berlimpah megah sampai Julia muak dan menanti hasil terbaik dari Julia. Julia merenung. Konklusi yang selalu Julia dapat adalah, hidupnya sudah ditentukan. Dan Julia harus menghadapinya sendirian.

***

Kali ini kelas selesai lebih cepat. Hari itu hujan. Julia sudah merencanakan harinya. Hari ini dia tidak ada meeting di klub atau OSIS. Dia tahu guru matematika, Mr. Young akan membubarkan kelas lebih awal. Hari ini dia akan mencoba sesuatu yang ia belum pernah coba sebelumnya.

Hati Julia berdebar-debar saat ia keluar dari koridor sekolah yang klinis licin itu dan menginjak tanah di halaman belakang sekolah. Julia perlahan dan mengendap-endap, mengitari lapangan rugby dan menuju taman belakang sekolah dimana disitu terdapat pintu keluar yang Julia dan imajinasinya sekarang menganggapnya sebagai gerbang kebebasan. Bagaimanapun ia harus sembunyi karena satu sekolah mengenalinya dan kalau Mr. Jenkins sudah menghubungi orang dalam karena tidak menemukannya, itu bisa jadi gawat. Maka itu Julia harus cepat keluar sebelum hal itu terjadi.

Di taman belakang sekolah yang sempit dan penuh semak belukar, tapi tanamannya begitu indah, mekar, dan tumbuh penuh kebebasan. Julia menjadi sentimentil. Ia merasa taman itu seperti melambangkannya dan mengguyuhnya ke pintu belakang sekolah. Diambilnya jepit rambutnya dan dikoreknya gembok kunci taman itu. Untuk Julia yang jenius, tidak perlu sampai beberapa menit, pintu itu terbuka. Bahkan ia sudah memikirkan cara untuk menguncinya kembali. Dan itu berhasil. Julia pun keluar. Ke jalanan belakang sekolah. Hari ini ia akan pergi menuju destination unknown. Kemanapun ia pergi, kali ini hatinya yang membawanya.

Julia mulai melangkah, berjalan setapak jalan itu. Sampai akhirnya ia menemukan jalan besar dan orang berlalu lalang. Ada yang menunggu bus, ada yang yang berjalan kearah pertokoan. Ada yang berlari menghindari hujan dan Julia merasa derapan kaki yang berdecik dengan air terdengar indah. Julia lalu menikmati langkahnya sendiri dan untuk pertama kalinya ia merasa konyol dan sangat bodoh. Ia teringat film "Singing in the Rain" yang menurutnya konyol, tapi mungkin kenapa film itu indah adalah karena kekonyolan nya yang tidak dapat dijelaskan dengan logika. Julia tersenyum di dalam hatinya. Julia merasa seperti orang biasa yang menghilang dikeremunannya. Tidak pernah disorot, tidak pernah dilihat. Tidak juga pernah dibicarakan. Sendirian, tetapi diantara keramaian.

Sampai akhirnya Julia menuju ke jalanan yang jauh lebih sepi. Jalanan yang menurutnya menuju ke pemukiman menengah kebawah di selatan kota. Julia sendiri tidak tahu mau kemana tetapi lobang di gerbang kayu itu seperti mengundangnya masuk ke tempat baru. Dengan cuek, Julia terus berjalan, melewati gerbang, sambil memperhatikan tembok penuh grafiti yang dibasuh hujan.

Julia sekarang merasa menghilang. Tetapi ia tidak keberatan. Ia lebih baik menghilang daripada disorot. Julia terus berjalan sampai ia menemukan gang sempit yang sepertinya menuju ke jalan besar lain. Sambil mengikat blazer sekolahnya dipinggang dan menggulung kemejanya, Julia yang tangguh berjalan.

Tapi mungkin kebebasan Julia saat itu menjadi kelemahannya. Julia lupa akan skema dan logika yang selalu ia pegang sampai ia baru saja sadar bahaya telah menantinya. Di gang itu terdapat dua orang besar yang matanya tertuju pada Julia. Tatapan penuh keinginan busuk. Julia tersadar. Ia tahu ia terlambat tetapi kali ini Julia menyiapkan ancang-ancangnya. Ia tidak ingin dua pria yang tak berotak ini mengganggu perjalanannya.

"Cewek... Darimana? Sendirian? Hujan-hujan..." katanya yang satu dengan nafas dalam yang berembun ketika ia bicara.

"Bagaimana kalau kita ke tempat yang lebih hangat?" kata yang satunya lagi.

Julia sebenarnya takut, tapi Julia harus bisa menanganinya. Julia menyembunyikannya baik di dalam wajahnya yang miskin ekspresi, "Yah. Kalian saja duluan. Pergi ke neraka."

Mereka tertawa. Julia merasa dihina. Kali ini kesombongannya muncul lagi. Seenaknya saja mereka memandang rendah seorang Julia. Julia tahu ia tidak akan mungkin bisa adu otot dengan kedua pria ini. Julia mencoba menggunakan otaknya.

Mereka melangkah dekat kearah Julia. Julia mundur. Ia lebih baik lari di kejar dan membawanya ke jalanan besar. Yak. Betul sekali. Ada celah. Dan Julia adalah anak gymnastik, dan yang paling baik pula. Julia merasa bisa melakukannya. Ia hanya butuh celah itu, lompat agak jauh, dan berlalri kencang menuju jalanan ramai diseberang dan kedua otak udang itu akan terlihat sekali mau mencelakainya di kerumunan umum. Mereka tidak akan punya kesempatan.

Julia menyipitkan matanya. Dan ketika dua orang itu mulai merentangkan tangan untuk mencapai Julia, Julia menunduk, merosot kebawah, dan menggunakan celah itu untuk berlari kearah jalan besar.

Satu hal yang Julia lupa perkirakan hanyalah hujan. Julia salah perhitungan. Rupanya permukaan itu terlalu licin untuk diinjak dan Julia sudah berat karena daritadi basah karena hujan.

"UGH!" Julia terkulai jatuh. Lututnya luka. Julia pikir ia menang, tetapi kedua lelaku itu menjadi semakin mudah untuk menggeratnya.

"Hahahaha, gadis kecil jatuh!" kata si nafas berat, "Kamu pikir kamu bisa mencoba lari?"

"Makanya, turuti saja kami dan kita pergi bareng."

Julia tersekap di situasi tersebut. Ia sakit hati karena ia sudah berada diujung kekalahan walau keras kepalanya menuntut ia untuk bertindak sesuatu.

Tetapi diluar dugaan Julia, salah satu dari mereka tumbang, jatuh dan terseret keras ke aspal. Tiba-tiba seorang dari mereka sudah ada di sebelah Julia, lebih tidak berdaya lagi. Lalu terdengar suara baku hantam. Dan ketika Julia melihat ke atas, si pria besar itu pukul-memukul dengan pemuda lain. Dari perawakannya dia lebih muda dari si besar itu, tetapi sepertinya ia 2-3 tahun lebih tua dari Julia.

Apa ini? Julia ditolong orang lain. Ini bukan Julia sama sekali. Dan sekejap mati si pria besar yang satu lagi jatuh. Lalu pemuda itu berteriak, "Tunggu apa lagi kau, ayo lari!"

"Tapi--"

"Cepat, ayo lari!" Pemuda itu mencengkram lengan Julia lalu memboyongnya pergi ke jalanan besar. Dan ketika mereka akhirnya sampai ke keramaian, keduanya berhenti dan menghela nafas. Si pemuda mencengecek sekitarnya apakah kedua pria itu masih ada. Lalu ia menghadap Julia dan bilang, "5 menit dari sini ada halte bus. Sebaiknya mari segera kesana!"

Keduanya pergi menuju halte bus. Julia hanya mengikuti pemuda itu. Dia memang telah menolong Julia, tetapi Julia penasaran. Entah kenapa dia merasa pemuda ini punya aura petualangan besar yang memikat Julia. Ketika mereka sampai di halte, Julia yang melihat tempat duduk langsung merebahkan diri lalu melihat lukanya. Sepertinya pemuda itu memperhatikannya.

"Kau terluka." katanya.

"Yah. Begitulah." jawab Julia.

"Cepat diperban." katanya lagi.

Julia tertawa, "Hah, tidak tahu harus kuperban pakai apa. Aku tidak punya P3K."

Si pemuda menggelengkan kepalanya. Percikan air sedikit muncul dari rambut pirang berantakan si pemuda itu. "Heh, kau ini," katanya. "Anak manja ya? Ngga perlu P3K."

Ia mengeluarkan sapu tangan miliknya dari jaket kulit yang ia pakai. Untuk seorang pemuda, sapu tangan itu kelihatan sangat feminin dan manis. Julia jadi bingung. Darimana pemuda yang baru saja memukul jatuh dua pria yang lebih besar darinya dapat sapu tangan macam itu. Julia geli sendiri. Tanpa sadar tawanya pecah sambil pemuda itu berlutut dan membantu membalut lukanya.

"Hahaha! Real men wear pink, yah?" kata Julia usil.

"Ini punya adikku." katanya.

"Oh." Julia berhenti tertawa. Tapi ia sadar, sudah lama ia tidak tertawa lepas dan santai seperti ini.

Julia memperhatikan pemuda itu. Perawakannya benar tidak bohong, ia tidak jauh lebih tua darinya. Ia masih sangat muda tapi dari raut mukanya sudah terlihat banyak beban. Matanya biru dan dalam. Seperti yang sedih. Pria yang aneh, ujarnya dalam hati. Sebenarnya Julia ingin tahu apa yang telah Pria ini alami. Tapi urusan amat sama hidupnya. Julia merasa dia tidak punya hak untuk bertanya demikian. Jadi ia terka-terka saja bagaimana kira-kira ceritanya.

"Hey, makasih ya. Aku berhutang padamu." kata Julia pelan.

"Ya. Sama-sama. Lebih baik kau cepat pulang. Tidak baik siswi SMA sepertimu itu keluyuran sendirian di tengah hujan..." katanya. Lalu dia geram sendiri, "Lagipula, apa sih yang membuatmu sampai ke gang seperti itu!?"

"Bukan urusanmu." jawab Julia enteng. Si pemuda itu geleng-geleng kepala.

"Yah terserahlah. Aku agak sensitif melihat wanita terluka akhir-akhir ini." katanya.

"Jadi kau ini semacam ksatria gentleman rupanya? Tapi aku hargai lho." balas Julia.

"Yah..." kata si pemuda sambil menghela nafas, "Senang kau berpikir begitu... Aku hanya butuh waktu..."

Bicara apa pria ini, Julia tidak tahu. Julia berpikir kalau dia orang stress yang banyak beban. Tapi sepertinya memang benar. Dia seperti dibebani sesuatu yang sangat besar yang Julia tidak tahu apa. Dari kelihatannya, ia punya beban besar akan sesuatu tentang hidup. Sorotan matanya dapat Julia kenali. Sorotan mata setiap Julia kesepian.

"Jadi... Ibu dan adikku baru saja meninggal."

"Hah!?"

Kenapa tiba-tiba pemuda ini curhat? Julia kaget. Julia mungkin penasaran tapi tidak sebegitunya ingin tahu apalagi dicurhatin. Julia hanya bisa menjatuhkan kepalanya sedikit kesamping sambil memperhatikan pria itu lebih lanjut.

"Mereka... Dibunuh. Oleh semacam orang-orang seperti tadi." lanjutnya.

Julia hanya bisa menjawab, "Hah, kurasa sebaiknya kamu yang pulang ke rumah. Kamu banyak beban. Ngga bagus buatmu hujan-hujan begini memikirkan hal seperti itu."

"Aku tidak punya rumah lagi" katanya.

"Oh."

Sambil menatap bengong jalanan di halte yang sepi itu, si pemuda berkata lagi "Kamu, masih gadis. Sekolah, punya orang tua, bahagia, kamu sebaiknya jangan buang itu."

"Heh. Aku hampir tidak pernah punya orang tua." Julia menggelengkan kepalanya, "Kalau mereka tidak mengirimkan uang setiap bulan, mungkin aku tidak pernah tahu mereka ada."

Lalu keduanya bersatu dengan hening. Hanya diiringi desiran hujan.

Jujur di dalam hatinya, Julia mungkin merasa kalau ini terdengar aneh. Tapi semakin si pemuda ini emosional, Julia merasa semakin santai disebelahnya. Akhirnya Julia buka mulut, "Lalu. Ibu dan Adikmu tiada, kamu mau bawa hidupmu kemana?"

Mendengar Julia yang kurang ramah menutur kata-kata, pemuda itu berbalik kearah Julia yang duduk dibelakangnya, "Hey! Apa maksudmu!?"

"Maksudku..." Julia masih kalem, "Kau tidak punya siapa-siapa lagi. Aku juga. Orang tuaku cuma peduli urusan mereka. Orang-orang seperti kita ini harus mencari kehidupan."

Pemuda itu terdiam. Ia mengoreksi maksud Julia. Lalu ia menyimpulkan, "Jadi kau keluyuran di gang itu sebagai bentukmu mencari kehidupan?"

"Mungkiiiiin..." jawab Julia kurang jelas. "Yang pasti, tadi benar-benar seru. Mungkin aku sudah jadi makanan mereka kalau kau tidak datang dan menolongku."

Julia memandang keatas langit. Matanya menyambut turunnya hujan. Mata coklatnya seperti berkilau. "Mungkin... Disaat seperti itu kita menemukan hidup ya? Selama ini hidup hanya penuh pertanyaan rutinitas. Sampai akhirnya sesuatu terjadi padamu dan kau berusaha mengoreksinya."

Pemuda itu memandangi Julia dan mencoba menerka maksud anak itu. Lalu Julia meneruskan, "Lihat, hidupku terlalu lurus dan aku menemukan petualangan. Kau. Kau punya panggilan ingin melindungi orang setelah ditinggal keluargamu. Kalau kita jadi tim, mungkin kita akan jadi yang hebat."

Seketika keduanya hening. Tapi sama-sama tersenyum.

Gerimis pun mereda dan dari awan-awan mendung mulai tampak langit biru dan secercah cahaya matahari sore. Julia bangkit dari duduknya. Lalu menghampiri pemuda itu kesebelahnya.

"Sebaiknya aku kembali ke rumah, atau tidak pelayan-pelayan di rumahku itu bakal memanggil polisi. Aku tidak mau kau jadi tersangka." kata Julia santai.

"Kau ini... Mulutmu itu tidak seperti gadis." jawab si pemuda. Tapi ia terhibur dengan cara bicara Julia.

"Hey..." kata Julia lagi, "Lukaku sepertinya belum sembuh. Kubawa sapu tangan ini ya. Kujaga baik-baik. Akan kuanggap sebagai tanda hutangku padamu."

"Silahkan saja." jawab si pemuda tersenyum.
Sebuah bis datang. Julia tahu bis ini mempunyai rute yang bisa mengantar ke rumahnya. Walau diantar supir sehari-harinya, kejeniusan Julia bisa membantunya menghafal sebagian rute kota. Bis berhenti, dan Julia memberikan pamitnya pada pemuda yang baru saja ditemuinya.

"Senang berhutang padamu. Suatu hari nanti akan kubalas."

Pemuda itu tersenyum. "Sama-sama."

Julia pun berjalan menaiki bus. Lalu si pemuda menyahut, "Hey!"

Julia menoleh kearahnya. Pemuda itu tersenyum padanya. Senyum yang menurut Julia aneh karena baru kali ini sepertinya ia bisa nyambung dengan senyum itu.

"Terima kasih." katanya.

Julia membalas senyuman itu dan mengangguk.

Seiring bis berjalan, Julia merasa hidupnya sedikit berubah. Kali ini hatinya mantap dan sepertinya ia mulai bisa melihat tujuan hidup. Sambil berpegangan di bis, ia melihat ke lutut yang dibalut sapu tangan imut itu. Ia tersenyum.

Rambut panjangnya yang basah karena hujan ikut terurai kebawah. Warnanya kelihatan tambah lusuh karena kena air. Julia jadi berpikir, mungkin pembaharuan ini akan ia mulai dari rambutnya. Julia tersenyum samar.

"Hh, rambutku akan kucat merah." katanya dalam hati.
 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.