Sunday, July 18, 2010

Saya kemarin datang ke tempat itu lagi. Menguak semua intisarinya kepada saya dan memutar bersih memori saya lagi. Yang baik, maupun yang buruk. Yang baik itu akan selamanya terkenang sangat baik bagi saya, tetapi yang buruk juga begitu.

Saya terbawa mimpi buruk saya lagi ketika saya masih mengenakan seragam putih-biru. Anak-anak itu datang bersama kesombongan mereka yang kokoh bagai bata. Siap memandang rendah saya, siap mempermalukan saya. Dan perasaan itu masih tetap ada. Ketika sudah lima tahun lewat setelah kejadiannya, bekas-bekasnya masih ada.

Mereka duduk di belakang saya, mungkin karena disebelah saya adalah teman baik yang memang disukai semua orang. Mereka tentu saja duduk di dekat teman baik itu karenanya, bukan karena saya. Saya jijik berada di dekat mereka dengan mereka berjumlah lebih banyak dibanding saya yang hanya satu. Saya entah mengapa yakin mereka juga jijik dekat disebelah saya. Saya merasa mereka tidak lama lagi akan menghina-hina saya seperti lima tahun lalu, seperti tiga tahun yang saya habiskan di tempat itu dulu, tetapi tidak. Itu rupanya hanya khayalan jelek saya. Tapi rasa takutnya menggelora. Saya ingin cepat pergi, saya sudah muak berada di sekeliling tempat itu.

Kerap kali ketika kejadian itu berlangsung saya melihat dalam-dalam diri saya. Saya mengakui, saya memang berbeda dari anak yang lainnya. Tapi apakah hanya karena saya berbeda mereka tidak mau menghormati saya sebagai individu? Salahkah jika saya berada diantara mereka? Jika para guru-guru mau menerima saya, kenapa mereka tidak?

Apakah saya salah ketika itu saya sedikit lebih kekanakan dari yang lain?
Apakah saya salah karena saya gemuk?
Apakah salah karena saya suka menggambar sendiri di kelas?
Apakah saya salah karena saya suka baca komik dan mendiskusikan novel berat?
Apakah saya salah karena saya suka mencoba hal baru dan jarang disukai orang banyak?
Apakah saya salah karena berbicara lebih dari dua bahasa?
Apakah saya salah karena saya suka budaya negara lain dan memahaminya?
Apakah saya salah karena saya harus memakai penyangga tulang belakang di sekolah?
Apakah saya salah karena saya suka bernyanyi?
Apakah saya salah karena saya punya ambisi saya sendiri yang tidak sama dengan yang lain?
Apakah saya salah karena saya tidak pernah menggumbar-umbar status sosial saya?
Apakah saya salah karena saya tidak bersikap sok dewasa?
Apakah saya salah karena saya tidak terlalu pandai berbicara dengan orang lain?
Apakah saya salah karena saya bisa bernyanyi?
Apakah saya salah karena non akademis saya lebih baik dari akademis saya?
Saya salah.
Saya salah.
Saya bisa menyebutkan jutaan alasan lain yang membuktikan kalau sayalah yang salah.
Saya yang salah. Mereka yang benar. Kadang saya percaya begitu walau teorinya bilang mereka yang salah.

Katanya orang yang kesulitan menerima perbedaan itu adalah orang yang menyedihkan hidupnya. Tapi sepertinya di mata mereka yang menyedihkan itu saya karena saya berbeda dari mereka. Selalu begitu.

Mereka tidak pernah mau menerima saya, saya takut. Ketakutan itu begitu besar, kadang dihadapan orang selain mereka saya juga jadi begitu. Saya takut sekali. Saya takut tidak dapat pengakuan, saya takut tidak mendapat penghormatan hanya karena sedikit ketidak sempurnaan yang sebenarnya tidak terlalu berpengaruh bagi dunia luar. Ketakutan yang laur biasa dan sulit sekali dihilangkan. Terutama setelah bertemu dengan orang-orang itu lagi. Saya ingin sekali lupa dan membuang semua itu lalu bersikap seperti hal itu tidak pernah terjadi. Tapi saya tidak bisa. Pasti datang lagi dan datang lagi. Saya takut sekali.

Saya jadi teringat ketika saya datang kemarin ke tempat itu, teman saya ada yang menangis. Menangis teringat karena telah difitnah salah satu orang-orang itu. Ia sampai menangis. Saya juga tadinya hampir menangis karena duduk bersebelahan dengan orang-orang itu. Saya pikir saya harus berpura-pura kuat, tetapi saya disadarkan olehnya kalau luka itu tidak hanya ada pada saya saja. Saya jadi malu karena menahan luka saya sendiri. Saya seharusnya jujur kalau saya memang takut.

Sampai sekarang saya belum tahu caranya untuk melarikan diri dari ketakutan saya, masa lalu saya, trauma saya. Saya ingin sekali dihargai sebagaimana mestinya. Sulit mengais harga diri kalau di mata mereka harga saya tidak ada. Lalu kalau kembali ke tempat itu, saya takut tiba-tiba mereka menyergap saya. Menghina saya seperti sedahulu kala. Merusak wajah saya sampai harga diri saya habis lagi.
 

Copyright 2010 Sejuta Huruf Jatuh Habis Tersapu.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.